Selasa, 14 April 2015

Roh Kudus dalam Wajah Merpati; Simbol Kesetiaan, Kelembutan, dan Damai yang Menghidupkan Gereja

KOTA DEPOK - Dalam lanskap spiritual Gereja Katolik, Roh Kudus bukan sekadar doktrin, melainkan napas kehidupan. Ia adalah Pribadi Ilahi yang menyertai, membimbing, dan menghidupkan Gereja dari zaman para nabi hingga era digital ini. Namun, bagaimana kita memahami kehadiran-Nya yang tak kasatmata? Alkitab, dengan kebijaksanaan simboliknya, menghadirkan Roh Kudus dalam rupa yang paling lembut dan penuh makna: seekor burung merpati.

Metafora ini bukan sekadar ornamen teologis. Ia adalah jendela rohani yang membuka pemahaman kita akan karakter, karya, dan kehadiran Roh Kudus dalam kehidupan umat beriman dan dalam kerasulan awam yang terus bergerak di tengah dunia.

Burung merpati dikenal karena kesetiaannya. Mereka hanya memiliki satu pasangan seumur hidup. Kesetiaan ini menjadi cermin dari relasi Allah dengan umat-Nya—relasi yang tak tergoyahkan, penuh kasih, dan eksklusif.

Dalam Kidung Agung 5:2, Raja Salomo menulis, “Bukalah pintu, dinda, manisku, merpatiku, idam-idamanku…” Sebuah puisi cinta yang oleh para Bapa Gereja ditafsirkan sebagai gambaran kasih mesra antara Allah dan umat-Nya. Kita adalah Israel rohani, mempelai Kristus, yang dipanggil untuk setia seperti merpati.

Namun, kesetiaan ini diuji. Dunia menawarkan banyak “tuan” lain—kekuasaan, harta, popularitas. Yakobus 4:4-5 memperingatkan bahwa persahabatan dengan dunia adalah permusuhan dengan Allah. Roh Kudus, yang tinggal dalam diri kita, menginginkan kita dengan cemburu ilahi. Ia tidak akan tinggal dalam hati yang terbagi.

Yesus berkata, “Hendaklah kamu cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati” (Mat. 10:16). Merpati adalah simbol kelembutan, ketulusan, dan kedamaian. Roh Kudus, yang turun ke atas Yesus dalam rupa merpati saat pembaptisan-Nya, membawa sifat-sifat ini ke dalam hidup kita.

Dalam kerasulan awam, kelembutan bukan kelemahan. Ia adalah kekuatan yang menyembuhkan. Ia hadir dalam advokasi hukum yang berbelas kasih, dalam pelayanan sosial yang tidak menghakimi, dalam ekonomi yang berkeadilan. Roh Kudus membentuk kita menjadi pribadi yang tidak memadamkan api yang redup, tetapi mengobarkannya kembali.

Dalam banyak budaya, merpati dilepaskan sebagai lambang perdamaian. Demikian pula Roh Kudus adalah Roh Damai. Ia mendamaikan manusia dengan Allah, dan manusia dengan sesamanya. Dalam Efesus 2, Paulus menulis bahwa melalui Roh, orang Yahudi dan non-Yahudi dipersatukan dalam satu tubuh: Gereja.

Damai adalah buah Roh. Tanpa Roh Kudus, kita mudah terpecah oleh perbedaan. Tetapi dengan-Nya, kita mampu hidup dalam harmoni, saling memahami, dan melayani dalam kesatuan. Inilah wajah Gereja yang sejati: bukan institusi yang kaku, tetapi komunitas yang hidup, penuh kasih, dan terbuka.

Kisah Nuh dan burung merpati (Kej. 8) bukan sekadar cerita anak-anak. Ia adalah alegori mendalam tentang karya Roh Kudus sepanjang sejarah keselamatan:

  1. Pertama, merpati kembali karena belum ada tempat yang layak—simbol zaman Perjanjian Lama, ketika Roh hanya datang sesaat untuk memperlengkapi para nabi.
  2. Kedua, merpati kembali dengan daun zaitun—simbol karya para rasul yang membawa kabar damai dan keselamatan.
  3. Ketiga, merpati tidak kembali—simbol zaman Gereja, ketika Roh Kudus tinggal menetap dalam umat Allah hingga kedatangan Kristus yang kedua.

Kita hidup di zaman ketiga ini. Zaman Roh Kudus. Zaman di mana Gereja dipanggil untuk bangkit, bersaksi, dan menjadi terang dunia.

Sebagai aktivis kerasulan awam, saya percaya bahwa setiap orang Katolik dipanggil untuk menjadi “merpati” di tengah dunia yang gaduh. Kita dipanggil untuk setia dalam kasih, lembut dalam pelayanan, dan menjadi pembawa damai dalam masyarakat yang terpecah.

Dalam bidang hukum, kita hadir untuk menegakkan keadilan dengan belas kasih. Dalam ekonomi, kita memperjuangkan kesejahteraan bersama. Dalam sosial dan kemasyarakatan, kita menjadi jembatan, bukan tembok. Semua ini hanya mungkin jika kita dipenuhi dan digerakkan oleh Roh Kudus.

Burung merpati terakhir dalam kisah Nuh tidak kembali. Ia menemukan tempat tinggalnya. Demikian pula Roh Kudus kini tinggal dalam Gereja. Pertanyaannya: apakah Ia juga tinggal dalam hati kita?

Mari kita buka hati, izinkan Roh Kudus membentuk kita menjadi pribadi yang setia, lembut, dan penuh damai. Karena hanya dengan-Nya, kita dapat menjadi saksi kasih Allah yang hidup—di rumah, di kantor, di jalanan, dan di seluruh dunia.

️ Oleh: Darius Leka, S.H., M.H., Advokat & Aktivis Kerasulan Awam Gereja Katolik

 

#rohkudus #simbolmerpati #kerasulanawam #gerejakatolik #imanyanghidup #damaisejahtera #pentakosta #keluargakatolik #cintaallah #merpatirohani #kekuatandalamkelembutan #gerejayanghidup #panggilanawam #shdariusleka #reels #foryou #fyp #jangkauanluas @semuaorang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin