“Dialah satu-satunya orang yang paling pluralis dan sanggup
menerima kehadiran orang lain yang berbeda keyakinan,” ujar Romo Alfons dengan
nada takzim.
Pernyataan itu bukan basa-basi. Ia lahir dari pengalaman
nyata, dari perjumpaan lintas iman yang tulus, dan dari pengakuan bahwa Gus Dur
bukan hanya milik umat Islam, tetapi milik seluruh bangsa.
Bagi banyak orang, Gus Dur adalah presiden keempat Republik
Indonesia. Namun bagi sebagian besar rakyat kecil, kaum minoritas, dan mereka
yang terpinggirkan, Gus Dur adalah suara yang membela, tangan yang merangkul,
dan hati yang memahami.
Ia tidak hanya berbicara tentang pluralisme. Ia
menghidupinya. Ia tidak hanya mengutip ayat-ayat toleransi. Ia menjadikannya
napas dalam setiap kebijakan dan tindakan. Dari membela etnis Tionghoa,
menghapus diskriminasi terhadap Ahmadiyah, hingga membuka ruang dialog
antaragama—Gus Dur menjadikan keberagaman sebagai kekuatan, bukan ancaman.
Sebagai aktivis kerasulan awam, saya melihat bahwa semangat
Gus Dur sangat sejalan dengan ajaran sosial Gereja Katolik. Dalam dokumen Nostra
Aetate, Konsili Vatikan II menegaskan bahwa Gereja menghormati segala yang
benar dan suci dalam agama-agama lain, dan mendorong dialog serta kerja sama
demi kebaikan bersama.
Gus Dur adalah wajah nyata dari semangat itu. Ia membuktikan
bahwa iman tidak harus eksklusif. Bahwa menjadi Muslim yang taat tidak berarti
menutup diri dari yang berbeda. Bahwa menjadi pemimpin berarti melindungi
semua, bukan hanya yang sepaham.
Dalam Misa Natal itu, Romo Alfons tidak hanya mengenang. Ia
juga menegaskan bahwa semangat Gus Dur masih hidup—di hati umat, di ruang-ruang
doa, dan di jalan-jalan perjuangan.
“Beliau orang hebat. Semangat perjuangannya dapat dirasakan
siapa pun orang yang cinta damai,” tambahnya.
Ia juga menyebut nama Emha Ainun Najib—Cak Nun—sebagai sosok
lain yang mewarisi semangat pluralisme. Orang-orang seperti mereka, kata Romo
Alfons, adalah teladan bagi bangsa ini. Mereka tidak hanya berbicara tentang
kebhinekaan. Mereka menjaganya, merawatnya, dan memperjuangkannya.
Sebagai umat Katolik, kita dipanggil untuk menjadi garam dan
terang dunia. Dalam konteks Indonesia, itu berarti menjadi jembatan di tengah
perbedaan. Menjadi suara kasih di tengah kebisingan kebencian. Menjadi
pelindung bagi yang lemah, bukan hanya dalam doa, tetapi juga dalam tindakan.
Gus Dur telah menunjukkan bahwa iman dan kebangsaan bisa
berjalan bersama. Bahwa cinta kepada Tuhan harus diwujudkan dalam cinta kepada
sesama—terutama yang berbeda.
Hari ini, kita tidak hanya mengenang wafatnya Gus Dur. Kita
mengenang hidupnya. Kita mengenang keberaniannya. Kita mengenang cintanya
kepada Indonesia yang majemuk.
Dan kita berdoa, semoga semangat itu terus hidup—di gereja,
di masjid, di rumah-rumah ibadah, dan di hati setiap anak bangsa.
✍️ Oleh: Darius Leka, S.H., M.H., Advokat &
Aktivis Kerasulan Awam Gereja Katolik
#gusdur #pluralismeindonesia
#kerasulanawam #gerejakatolik #wartakasih #imanyanghidup #dialoglintasiman
#cintadalamtindakan #nataldankebhinekaan #indonesiarumahbersama #shdariusleka #reels #foryou #fyp #jangkauanluas @semuaorang

Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin