Kamis, 09 Februari 2017

Gus Dur dan Warisan Pluralisme; Sebuah Refleksi Iman dan Kebangsaan

KOTA DEPOK
- Sabtu, 26 Desember 2017. Di Gereja Katolik Santo Paulus, Depok, umat Kristiani tengah merayakan Natal dalam suasana syukur dan damai. Namun ada yang berbeda sore itu. Di tengah liturgi yang khusyuk, Romo Alfons Suhardi, salah satu imam paroki, menyisipkan sebuah refleksi yang menggugah: mengenang sosok KH Abdurrahman Wahid—Gus Dur—yang wafat pada tanggal yang hampir bersamaan.

“Dialah satu-satunya orang yang paling pluralis dan sanggup menerima kehadiran orang lain yang berbeda keyakinan,” ujar Romo Alfons dengan nada takzim.

Pernyataan itu bukan basa-basi. Ia lahir dari pengalaman nyata, dari perjumpaan lintas iman yang tulus, dan dari pengakuan bahwa Gus Dur bukan hanya milik umat Islam, tetapi milik seluruh bangsa.

Bagi banyak orang, Gus Dur adalah presiden keempat Republik Indonesia. Namun bagi sebagian besar rakyat kecil, kaum minoritas, dan mereka yang terpinggirkan, Gus Dur adalah suara yang membela, tangan yang merangkul, dan hati yang memahami.

Ia tidak hanya berbicara tentang pluralisme. Ia menghidupinya. Ia tidak hanya mengutip ayat-ayat toleransi. Ia menjadikannya napas dalam setiap kebijakan dan tindakan. Dari membela etnis Tionghoa, menghapus diskriminasi terhadap Ahmadiyah, hingga membuka ruang dialog antaragama—Gus Dur menjadikan keberagaman sebagai kekuatan, bukan ancaman.

Sebagai aktivis kerasulan awam, saya melihat bahwa semangat Gus Dur sangat sejalan dengan ajaran sosial Gereja Katolik. Dalam dokumen Nostra Aetate, Konsili Vatikan II menegaskan bahwa Gereja menghormati segala yang benar dan suci dalam agama-agama lain, dan mendorong dialog serta kerja sama demi kebaikan bersama.

Gus Dur adalah wajah nyata dari semangat itu. Ia membuktikan bahwa iman tidak harus eksklusif. Bahwa menjadi Muslim yang taat tidak berarti menutup diri dari yang berbeda. Bahwa menjadi pemimpin berarti melindungi semua, bukan hanya yang sepaham.

Dalam Misa Natal itu, Romo Alfons tidak hanya mengenang. Ia juga menegaskan bahwa semangat Gus Dur masih hidup—di hati umat, di ruang-ruang doa, dan di jalan-jalan perjuangan.

“Beliau orang hebat. Semangat perjuangannya dapat dirasakan siapa pun orang yang cinta damai,” tambahnya.

Ia juga menyebut nama Emha Ainun Najib—Cak Nun—sebagai sosok lain yang mewarisi semangat pluralisme. Orang-orang seperti mereka, kata Romo Alfons, adalah teladan bagi bangsa ini. Mereka tidak hanya berbicara tentang kebhinekaan. Mereka menjaganya, merawatnya, dan memperjuangkannya.

Sebagai umat Katolik, kita dipanggil untuk menjadi garam dan terang dunia. Dalam konteks Indonesia, itu berarti menjadi jembatan di tengah perbedaan. Menjadi suara kasih di tengah kebisingan kebencian. Menjadi pelindung bagi yang lemah, bukan hanya dalam doa, tetapi juga dalam tindakan.

Gus Dur telah menunjukkan bahwa iman dan kebangsaan bisa berjalan bersama. Bahwa cinta kepada Tuhan harus diwujudkan dalam cinta kepada sesama—terutama yang berbeda.

Hari ini, kita tidak hanya mengenang wafatnya Gus Dur. Kita mengenang hidupnya. Kita mengenang keberaniannya. Kita mengenang cintanya kepada Indonesia yang majemuk.

Dan kita berdoa, semoga semangat itu terus hidup—di gereja, di masjid, di rumah-rumah ibadah, dan di hati setiap anak bangsa.

️ Oleh: Darius Leka, S.H., M.H., Advokat & Aktivis Kerasulan Awam Gereja Katolik

 

#gusdur #pluralismeindonesia #kerasulanawam #gerejakatolik #wartakasih #imanyanghidup #dialoglintasiman #cintadalamtindakan #nataldankebhinekaan #indonesiarumahbersama #shdariusleka #reels #foryou #fyp #jangkauanluas @semuaorang


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin