KOTA DEPOK - Hari ini, Rabu, 1 Maret 2017, bukanlah Rabu biasa. Ia adalah Rabu Abu—titik awal dari perjalanan rohani umat Katolik selama 40 hari menuju Paskah. Sebuah masa tobat, puasa, dan pantang yang mengajak kita untuk kembali ke dalam diri, menata ulang relasi dengan Allah, sesama, dan ciptaan. Namun, sebelum Rabu Abu, ada satu hari yang dulu dirayakan dengan gegap gempita: Selasa Besar, atau yang dikenal dalam tradisi Barat sebagai Mardi Gras.
Mardi Gras, secara harfiah berarti “Selasa Lemak” dalam
bahasa Prancis, adalah hari terakhir sebelum dimulainya masa Prapaskah. Dalam
tradisi Katolik Eropa, hari ini menjadi momen untuk menghabiskan semua
persediaan daging dan makanan lezat yang tidak akan dikonsumsi selama masa
puasa. Daging—dalam bahasa Latin disebut “caro”—menjadi simbol kenikmatan
duniawi yang harus ditanggalkan demi pertobatan. Dari kata “caro” inilah lahir
istilah “carnaval”—pesta daging.
Di masa lampau, ketika teknologi penyimpanan makanan belum
secanggih sekarang, daging yang tidak segera dikonsumsi akan rusak. Maka,
masyarakat berkumpul, berpesta, dan menghabiskan semua yang tersisa. Pesta ini
bukan sekadar pelampiasan, tetapi juga bentuk persiapan spiritual: melepaskan
yang fana untuk menyambut yang kekal.
Sayangnya, seiring waktu, makna religius dari karnaval mulai
memudar. Di beberapa negara seperti Brasil, karnaval berubah menjadi pesta
jalanan yang meriah, bahkan liar. Arak-arakan, kostum mencolok, dan hiburan
massal menggantikan semangat tobat dan refleksi. Di Belanda, saya pernah
menyaksikan karnaval yang disiarkan langsung di televisi nasional, lengkap
dengan pembagian manisan dari jendela-jendela rumah. Lucu, meriah, tapi juga
menyisakan tanya: ke mana perginya makna spiritual dari semua ini?
Di Indonesia, kata “karnaval” telah menyempit maknanya. Ia
identik dengan arak-arakan keliling kompleks, lomba kostum, atau panggung
hiburan. Tidak ada lagi jejak Mardi Gras sebagai bagian dari kalender liturgi.
Selasa sebelum Rabu Abu kini hanya menjadi hari biasa—paling banter, hari
latihan koor untuk misa esok hari.
Namun, justru di tengah kesenyapan itulah, Rabu Abu
memanggil kita untuk kembali pada inti. Abu yang dioleskan di dahi bukan
sekadar simbol, melainkan deklarasi iman: “Ingatlah, engkau berasal dari debu
dan akan kembali menjadi debu.” Ia adalah pengingat akan kefanaan, sekaligus
undangan untuk bertobat dan percaya kepada Injil.
Dalam terang ajaran Gereja, masa Prapaskah adalah “Retret
Agung” umat beriman. Sebuah perjalanan batin yang mengajak kita untuk berpuasa
bukan hanya dari makanan, tetapi dari egoisme, keserakahan, dan kebisingan
dunia. Kita diajak untuk memberi, bukan hanya dari kelimpahan, tetapi dari
kekurangan. Kita diajak untuk berdoa, bukan hanya dengan kata-kata, tetapi
dengan hidup yang diubah.
Sebagai aktivis kerasulan awam, saya percaya bahwa tradisi
memiliki nilai jika ia mengantar kita pada transformasi. Mardi Gras, karnaval,
dan Rabu Abu bukanlah sekadar ritual tahunan. Mereka adalah bagian dari narasi
iman yang mengajak kita untuk menyeimbangkan antara merayakan hidup dan
memurnikan hati.
Mungkin kita tidak lagi berpesta daging seperti di Eropa.
Tapi kita bisa menjadikan hari-hari menjelang Prapaskah sebagai momen untuk
menata ulang hidup. Mungkin kita tidak lagi berarak di jalan dengan payung
terbuka ke langit. Tapi kita bisa membuka hati kita untuk menerima abu
pertobatan.
Abu adalah sisa dari sesuatu yang terbakar. Tapi dalam iman,
abu bukan akhir. Ia adalah awal. Abu Rabu Abu adalah nyala kecil yang mengantar
kita pada cahaya Paskah. Mari kita jalani masa Prapaskah ini dengan kesungguhan
hati. Bukan sekadar menahan diri dari daging, tetapi dari sikap yang
mengeraskan hati. Bukan sekadar menundukkan kepala, tetapi juga membungkukkan
hati di hadapan Allah.
Selamat memasuki masa Prapaskah. Semoga abu di dahi kita menjadi
tanda pertobatan yang nyata dalam hidup sehari-hari.
✍️ Oleh: Darius Leka, S.H., M.H., Advokat & Aktivis
Kerasulan Awam Gereja Katolik
#kerasulanawam #gerejakatolik #rabuabu #mardigras #prapaskah #pertobatan #carnaval #imanyanghidup #peradabankasih #wartakasih #liturgikatolik #masatobat #shdariusleka #reels #foryou #fyp #jangkauanluas @semuaorang

Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin