VATICAN - Di balik simbol sederhana yang bertengger di kepala para perawat perempuan—topi putih yang kini jarang terlihat—tersimpan kisah panjang tentang pelayanan, pengorbanan, dan cinta kasih yang berakar dari tradisi Gereja Katolik. Topi perawat, atau nurse cap, bukan sekadar atribut seragam, melainkan jejak sejarah dari para biarawati yang menjadi pionir dalam dunia keperawatan modern.
Sejarah mencatat bahwa pada era Kristen awal, para diakones—perempuan
yang melayani umat dalam Gereja perdana—mengenakan penutup kepala sebagai
simbol kesucian dan dedikasi. Tradisi ini kemudian diwarisi oleh para biarawati
Katolik, khususnya dari ordo-ordo religius seperti Sisters of Charity dan
Sisters of Mercy, yang sejak abad ke-17 hingga ke-19 aktif merawat orang sakit,
miskin, dan terlantar.
Ketika Florence Nightingale merevolusi dunia keperawatan pada abad ke-19,
banyak biarawati Katolik telah lebih dulu menjalankan pelayanan serupa. Di masa
kolonial, termasuk di Hindia Belanda, banyak rumah sakit dijalankan oleh
kongregasi religius perempuan. Istilah “suster” sendiri berasal dari bahasa
Belanda zuster, yang berarti “saudari”, merujuk langsung pada para
biarawati.
Topi perawat awalnya berfungsi praktis: menjaga rambut tetap rapi dan
higienis. Namun lebih dari itu, ia menjadi simbol komitmen moral dan spiritual.
Dalam tradisi Katolik, penutup kepala adalah tanda penyerahan diri kepada
kehendak Allah. Maka, ketika topi ini dikenakan oleh para perawat, ia membawa
serta semangat pelayanan tanpa pamrih, sebagaimana Kristus membasuh kaki
murid-murid-Nya.
Capping Day—upacara pemasangan topi bagi mahasiswa keperawatan—menjadi momen
sakral yang menandai kesiapan mereka untuk melayani dengan cinta kasih. Ini
bukan sekadar seremoni, melainkan pewarisan nilai: bahwa merawat bukan hanya
profesi, tapi panggilan.
Sebagai seorang rasul awam, saya melihat bahwa warisan ini bukan hanya milik
para religius. Umat awam pun dipanggil untuk mewartakan kasih Allah melalui
karya nyata. Dalam bidang sosial, hukum, dan kemasyarakatan, kita dapat menjadi
“perawat” bagi dunia yang terluka: membela yang lemah, mengadvokasi keadilan,
dan menghadirkan harapan.
Komunitas-komunitas kerasulan awam di berbagai keuskupan telah bergerak
dalam pelayanan kesehatan, bantuan hukum, pemberdayaan ekonomi, hingga
pendampingan korban kekerasan. Semua ini adalah bentuk nyata dari diakonia—pelayanan
kasih yang menjadi jantung Injil.
Topi perawat mungkin telah jarang terlihat di rumah sakit modern. Namun
semangat yang melahirkannya tetap hidup: semangat pelayanan, pengorbanan, dan
cinta kasih yang tak mengenal lelah. Mari kita, sebagai umat Katolik, terus
menghidupi warisan ini dalam setiap bidang kehidupan.
Karena pada akhirnya, dunia tidak hanya membutuhkan profesional yang terampil,
tetapi juga hati yang penuh belas kasih.
Oleh Darius
Leka, S.H., M.H. – Advokat dan Aktivis Rasul Awam Gereja Katolik
#shdariusleka
#reels #foryou #fyp #jangkauanluas @semuaorang #katolik #kerasulanawam
#kasihAllah #sejarahgereja #nursecap #biarawati #pelayanan #gerejakatolik

Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin