Kamis, 11 Desember 2025

Kolekte Kedua, Kasih Pertama; Aksi Sosial Umat Paroki Santo Paulus Depok untuk Korban Bencana Alam Sumatera

KOTA DEPOK — Di tengah derasnya arus informasi dan hiruk-pikuk kehidupan urban, ada kisah sunyi namun menggugah yang lahir dari altar sederhana di sebuah gereja di pinggiran Jakarta. Paroki Santo Paulus Depok, yang selama ini dikenal sebagai komunitas yang aktif secara liturgis dan pastoral, kembali menegaskan jati dirinya sebagai Gereja yang hidup dan peduli.

Pada Minggu lalu, 7 Desember 2025, dalam suasana misa yang khusyuk, Pastor Paroki Santo Paulus Depok, RP. Agustinus Anton Widarto, OFM, umat diajak untuk membuka hati dan tangan mereka dalam bentuk kolekte kedua—sebuah bentuk solidaritas nyata bagi saudara-saudari kita yang terdampak bencana alam di berbagai wilayah Indonesia secara khusus bagi korban banjir di Sumatera. Tidak ada paksaan. Tidak ada sorotan kamera. Hanya suara hati yang digerakkan oleh kasih.

Kolekte kedua bukanlah hal baru dalam tradisi Gereja Katolik. Namun di Paroki Santo Paulus Depok, kolekte ini bukan sekadar rutinitas. Ia adalah perwujudan nyata dari ajaran sosial Gereja: bahwa iman tanpa perbuatan adalah mati (Yakobus 2:17). Dana yang terkumpul dari kolekte kedua ini akan disalurkan melalui Caritas Indonesia dan jaringan keuskupan setempat untuk membantu para korban bencana alam—baik dalam bentuk logistik, layanan kesehatan, maupun pendampingan psikososial.

Menurut data yang dihimpun dari panitia sosial paroki, kolekte kedua kali ini berhasil mengumpulkan dana yang signifikan, berkat partisipasi aktif umat dari berbagai wilayah dan lingkungan. Namun lebih dari jumlah, yang menyentuh adalah semangat kebersamaan yang terbangun: anak-anak menyisihkan uang jajan, lansia menyumbang dari pensiunan, dan keluarga-keluarga muda ikut terlibat dalam penggalangan dana ini.

Sebagai aktivis kerasulan awam, saya melihat inisiatif ini sebagai contoh konkret bagaimana umat awam dapat menjadi motor penggerak kasih di tengah masyarakat. Kerasulan awam bukan hanya tentang berkegiatan di dalam tembok gereja, tetapi tentang bagaimana kita membawa terang Kristus ke tengah dunia yang gelap oleh penderitaan.

Dalam konteks bencana alam, kerasulan awam hadir sebagai tangan panjang Gereja: mengorganisir bantuan, mengadvokasi hak-hak korban, dan menjadi pendamping yang setia dalam proses pemulihan. Ini adalah bentuk nyata dari diakonia—pelayanan kasih yang tak mengenal batas.

Aksi sosial ini juga menjadi cermin dari Gereja yang relevan: Gereja yang tidak hanya bicara tentang surga, tetapi juga hadir dalam luka dunia. Dalam dokumen “Evangelii Gaudium”, Paus Fransiskus menegaskan bahwa Gereja harus menjadi rumah terbuka, tempat di mana yang terluka disembuhkan, yang tersingkir dirangkul, dan yang menderita diberi harapan.

Paroki Santo Paulus Depok telah menjawab panggilan itu. Dengan kolekte kedua, mereka tidak hanya mengumpulkan dana, tetapi juga menabur harapan. Mereka menunjukkan bahwa iman yang hidup adalah iman yang bergerak—yang tidak tinggal diam saat saudara menderita.

Kisah ini bukan untuk dipuji, tetapi untuk diteladani. Karena setiap paroki, setiap komunitas, setiap pribadi dipanggil untuk menjadi bagian dari solusi. Dunia kita sedang terluka. Bencana alam, krisis iklim, dan ketimpangan sosial adalah realitas yang tak bisa diabaikan.

Mari kita jadikan kolekte kedua sebagai simbol dari kasih pertama: kasih yang lahir dari perjumpaan dengan Kristus di altar, dan yang kemudian menjelma menjadi aksi nyata di jalanan dunia.

 

Oleh: Darius Leka, S.H., M.H. —Advokat & Aktivis Kerasulan Awam Katolik

#shdariusleka #reels #foryou #fyp #jangkauanluas #katolikindonesia #kerasulanawam #gerejakatolik #aksisosial #kolektekedua #caritas #bencanaanam #kasihAllah #gerejabergerak #solidaritasumat #parokisantopaulusdepok

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin