Jumat, 27 Januari 2012

Warga Keturunan Tionghoa St. Paulus Depok; Menyelenggarakan Misa Perdana di Tahun Naga Air

Misa Imlek 2563, Senin (23/1/2012) di Gereja St. Paulus - Depok
Sejak kepemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, masyarakat keturunan Tionghoa di Indonesia, kembali mendapatkan kebebasan dalam merayakan tahun baru Imlek pada tahun 2000. Dimana, Presiden Abdurrahman Wahid secara resmi mencabut Inpres Nomor 14/1967. Serta menggantikannya dengan Keputusan Presiden Nomor 19/2001 tertanggal 9 April 2001 yang meresmikan Imlek sebagai hari libur fakultatif (hanya berlaku bagi mereka yang merayakannya). Selanjutnya, baru pada tahun 2002, Imlek resmi dinyatakan sebagai salah satu hari libur nasional oleh Presiden Megawati Soekarnoputri yang dimulai sejak tahun 2003 hingga saat ini.

Tahun Perubahan
Bagi umat St. Paulus Depok keturunan Tionghoa merupakan kali pertama mereka merayakan misa imlek. Misa yang dilaksanakan pada Senin (23/1/2012) itu dihadiri sekitar + 1000-an umat. Perayaan Ekaristi dipimpin langsung oleh pastor paroki Pastor Tauchen Hotlan Girsang, OFM didampingi Pastor Stanilaus Agus Haryanto, OFM. Suasana pun seakan berada di negeri Tirai Bambu. Koor dari Orang Muda Katolik (OMK) paroki St. Paulus membuat upacaranya berlangsung meriah.

Dalam kotbahnya Pastor Haryo biasa disapa mengatakan “Simbol naga air dalam Tahun baru Imlek 2563 bukan suatu pemujaan seperti yang dilakukan oleh sebuah agama tertentu. Naga air adalah tahun perubahan. Perubahan yang dimaksud adalah bukan dari kurus menjadi gembuk, gemuk menjadi kurus tetapi perubahan dalam diri kita untuk memiliki komitmen yang kuat untuk melakukan sesuatu demi kesejahteraan bersama” ujarnya.

Bapak Yohanes Kho Hang Shing (Kanan)
Sebagai Bentuk Ungkapan Syukur
Yohanes Kho Hang Shing, selaku koordinator acara misa Imlek ketika diwawancarai menuturkan “Imlek ini adalah tahun baru sesuai dengan tanggalan orang cina. Yaitu peralihan musim dingin dan musim semi, musim panen dan musim tanam. Artinya semua orang keturuan Tionghoa harus merayakannya, dari agama apapun dia. Jadi saya melihat perlu di adakan misa imlek di gereja. Umat di Gereja St. Paulus Depok saat ini, khususnya orang keturunan Tionghoa kelihatannya sudah cukup banyak maka dibutuhkan suatu wadah/ sarana sebagai tempat bersyukur. Dimana? Karena kami beragama katolik ya… merayakan ungkapan syukur itu tentunya di gereja. Oleh sebab itu saya mencoba untuk berkonsultasi dengan pastor paroki, ternyata pastor paroki meresponnya sangat positif dan antusias” tuturnya kepada KOMSOS.

Lebih lanjut bapak yang kini menjabat sebagai Ketua Lingkungan St. Brigita ini, menambahkan “Dalam menjalin suatu kebersamaan, walaupun yang menjalankan imlek itu adalah warga Tionghoa namun sangat dimungkinkan dalam mengungkapkan rasa syukur ini bersama-sama dengan umat lainnya. Karena kita satu tubuh Kristus yang tidak bisa dipisah-pisahkan. Lagi pula makna imlek itu biasanya orang bersyukur dibarengi dengan membagi-bagi berkat untuk dinikmati bersama. Sehingga kita bisa bersatu padu lagi tidak membedakan-bedakan disinilah yang kita mau sebagai anak-anak Tuhan untuk bersatu dalam kasih”.

Berbagi "kasih"
Menggerakan Lewat Firman Tuhan
Ketika disinggung soal cara bagaimana menghimpun semua warga Tionghoa yang ada, Kho Shing sapaan akrabnya menjelaskan “Saya menyentuh dan mengajak kepada mereka yang sudah menikmati dan mendapat rejeki dari Tuhan, kita wajib membagikan kepada yang lain. Seperti dalam injil berilah kepada kaisar yang menjadi hak kaisar dan berilah kepada Allah yang menjadi hak Allah. Dengan firman Tuhan ini mereka tersentuh untuk turut mengambil bagian dalam acara ini. Semuanya tergerak hanya karena firman Tuhan untuk berbagi kepada sesama. Saya juga bangga atas antuasias umat St. Paulus Depok yang telah hadir. Semoga ke depan lebih baik, misalnya dengan dibentuknya sebuah kepanitian kecil untuk semakin lebih baik” harapnya.

Koor dari OMK St. Paulus - Depok
Misa Imlek Dilarang?
Berkaitan dengan dilarangnya misa imlek karena membawa symbol-simbol agama tertentu, menurut Bapak Yohanes Kho Hang Shing “Kerinduan misa Imlek ini sejak jaman Pastor Markus Gunadi, OFM. Beliau sebenarnya sudah memberikan restu tetapi disesuiakan dengan ketentuan gereja Katolik. Imlek bukan milik satu agama, tetapi cap go meh itu milik ritual/ tradisi dari agama tertentu, bagi kita orang katolik sebaiknya tidak melakukan ritual itu” jelasnya.

Senada dengan itu Pastor Tauchen Hotlan Girsang, OFM ketika ditanya mengenai adanya pelarangan adanya misa Imlek seperti yang tegaskan oleh Mgr Vincentius Sutikno Wisaksono di Keuskupan Surabaya, Pastor Tauchen mengatakan “Mungking alasannya adalah adanya unsur budaya itu yang tidak bersesuian dengan iman katolik. Kalau dibagian itu kadang-kadang sulit untuk dipertemukan biasanya dilepaskan. Karena dalam tradisi, di katolik ada nilainya sendiri dan budaya mempunyai nilainya sendiri”.

Pembagian jeruk setelah misa kepada umat
Masih menurutnya jika ada Uskup yang melarang atas hal itu, terbukti di Jakarta seperti paroki Regina Caeli – Kapuk merayakan misa imlek tidak masalah, dan bahkan acaranya besar-besaran. Tapi ada unsur dari budaya itu yang bagus untuk iman tapi ada juga yang tidak. Mungkin yang menjadi persoalan dari pelarangan Uskup itu adalah presentasi budaya itu lebih banyak daripada iman. Kalau dalam bahasa Paus Benediktus disebut interkulturasi. Jadi Gereja ada budaya sendiri, sedangkan budaya lain memiliki ciri khasnya sendiri. Sehingga dengan kata inter, ada ruang untuk berdialog antara budaya dan agama. Hanya pakai inter bukan inkulturasi. Kalau Inkulturasi iman dimasukkan dalam budaya, jadi untuk dicerahkan. Jadi yang tidak cocok dibuang. Yang benar adalah penemuan akan Tuhan dalam budaya-budaya itu” ujarnya.

Meriahnya misa imlek berkat jasa dari bapak Sound System
Lebih lanjut Pastor Paroki St. Paulus Depok itu berpendapat “Menurut saya baik sekali acara ini karena kita juga tidak bisa memungkiri untuk hidup bersama dengan keanekaragaman budaya yang ada. Ini kesempatan bagi kita untuk mengenali budaya yang berbeda dengan budaya kita. Ini baguslah untuk kita kenal. Kedepan bisa adakan lebih bagus dengan mengagendakan dalam kalender liturgis agar acaranya lebih serius dan bagus”harapnya.

Pembagian "angpao" kepada anak-anak dan Lansia
Acara ditutup dengan pembagian jeruk kepada seluruh umat dan angpao kepada anak dan lansia setelah misa di halaman gereja. (Dilaporkan Oleh: Darius Lekalawo-KOMSOS)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin