Senin, 12 Maret 2012

Tubuhmu adalah Bait Allah!

Oleh: Sdr. Ophin Agut, OFM
Dalam tradisi dan sejarah bangsa Yahudi, kerinduan akan kediaman Allah di bumi sudah ada sejak masa masa mengembara di padang gurun. Tabut perjanjian – simbol perjanjian Allah dan manusia (umat Israel), yang berbentuk dua loh batu-, terus dibawa selama pengembaraan. Namun, keinginan untuk mendapatkan tempat yang layak dan tetap belum terpenuhi. Pada masa Kerajaan Israel kerinduan itu terus ada. Yahweh pasti selalu ingat akan janjiNya. Melalui Raja Salomo, Rumah tempat kediaman Allah itu dibangun; yang kemudian disebut dengan Bait Allah. Bait Allah merupakan suatu tempat yang dikuduskan bagi Allah, tempat yang menjadi kediaman Allah di dunia ini.

Umat Israel mengalami bahwa kehadiran Bait Allah merupakan tanda bahwa Allah telah berkenan melawat umatNya. Yahweh berkenan tinggal bersama umatNya. Jadi, apabila umat Allah ingin berdoa kepada Tuhan, mereka dapat melakukannya dengan menghadap bait suci (2Taw 6:24,26,29,32) dan Allah akan mendengar mereka “dari bait- Nya” (Mazm 18:7).

Adalah suatu keheranan besar bagi orang baik seperti Yesus, melihat Bait Allah yang begitu diagung-agungkan pada masa lampau tidak digunakan sebagaimana mestinya. Sebagai orang yang setia pada janji Allah, Yesus tentunya marah. Dengan cambuk ia mengusir para pedagang, menjungkirbalikan meja para penukar uang. Ada apa gerangan? Di serambi Bait Allah ditemukan para pedagang yang menjajakan barang-barang kebutuhan ritual atau ibadat, dan hewan sembahan seperti lembu, kambing, domba dan merpati.

“Jangan kamu membuat rumah Bapa- Ku menjadi tempat berjualan”(Yoh. 2;16). Kemarahan Yesus berkaitan dengan usaha menarik perhatian orang–orang agar tidak jatuh dalam mentalitas “logika pasar”. Allah tidak bisa dibayar dengan sejumlah doa yang kita ucapkan dan sejumlah uang yang disumbangkan. Manusia tak punya hak untuk mengatur Allah. Sebaliknya manusialah yang harus menaati perintah/kehendak Tuhan.

Yesus marah karena kita ingin menguasai Allah. Seharusnya kita berbuat baik karena itu baik dan karena sudah menjadi keharusan bagi hidup kita, bukan karena ingin mendapatkan imbalan dari Tuhan. Berdoa, berbuat kasih untuk mendapatkan sesuatu atau meyakinkan Tuhan, itu berarti kita tidak melalukannya dengan kasih dan tak punya arti. Yesus marah bukan karena ingin menakut-nakuti kita, tapi karena ingin memurnikan hubungan kita dengan Tuhan dan dengan sesama. Suatu relasi yang berlandaskan Kasih.

“Rombaklah Bait Allah ini dan dalam tiga hari aku akan mendirikannya kembali” (Yoh.2;19). Bagi umat Israel, Bait Allah adalah bangunan sebagai tempat pertemuan antara manusia dan Allah. Yesus memberi arti baru tentang Bait Allah yakni diri-Nyalah. Dengan iman kita menemukan Yesus sebagai Bait Allah baru dan sempurna. Bait Allah yang dihancurkan oleh salib dan dibangun kembali dengan kebangkitan. Tubuhnya yang mati dan bangkit adalah tempat dimana orang berjumpa dengan Allah. Setiap kita merayakan Ekaristi dan menerima komuni kudus, disitulah perjumpaan kita dengan Allah semakin nyata. Yesus yang menjadi santapan tinggal dalam diri kita dan kita ikut menjadi Bait Allah.

Mestinya saat mendengar kisah ini, kita diingatkan untuk melihat kembali sudah sejauh mana rumah-rumah doa kita difungsikan secara baik untuk membangun relasi kita dengan Tuhan, diri sendiri, sesama dan alam; masihkah tempat-tempat doa kita difungsikan sesuai dengan maksud tempat-tempat itu dibangun ataukah tempat-tempat itu telah difungsikan sebagai tempat-tempat pameran di mana kita memperlihatkan gaya hidup kita yang lebih banyak memisahkan kita dari sesama ketimbang mempersatukan.

Di saat yang sama, kita diundang untuk melihat ke dalam diri dan menyadari bahwa diri kita sendiri merupakan satu rumah doa; dari mana doa-doa kita berasal dan ke mana doa-doa kita bermuara. Diri, hati kitalah yang menentukan segalanya. Hati yang baik melahirkan pribadi yang baik dan pribadi yang baik selalu memberi yang baik demi kebaikan diri dan sesama. Dan kebaikan ini akan menempatkan rumah doa pada tempat dan fungsinya yang sebenarnya dan kita akan melakukan apa yang seharusnya kita lakukan dalam dan untuk sebuah kebersaman. Tuhan memberkati.

1 komentar:

Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin