Rabu, 02 Maret 2011

“Bahtera Keluarga”; Membangun Gereja Mini di Tengah Badai Zaman

Oleh: Darius Leka, S.H., M.H. – Advokat, Aktivis Rasul Awam Gereja Katolik sekaligus Koordnator KOMSOS Paroki Santo Paulus Depok, periode 2010-2013

BOGOR
- SKI Katulampa, 26 Juni 2010. Di tengah semilir angin pegunungan dan riuh tawa penuh sukacita, sebanyak 840 pasangan suami-istri dari 21 paroki dan 4 dekenat se-Keuskupan Bogor berkumpul dalam satu semangat: membangun kembali bahtera keluarga Katolik yang kokoh, harmonis, dan sejahtera. Temu akbar bertajuk “BAHTERA KELUARGA” ini bukan sekadar perayaan, melainkan panggilan profetik untuk menjadikan keluarga sebagai “Ecclesia domestica”—Gereja rumah tangga yang hidup dan berakar dalam kasih Kristus.

Dalam sambutannya yang penuh semangat, Mgr. Michael Cosmas Angkur, OFM, menegaskan bahwa keluarga adalah fondasi Gereja dan masyarakat. “Tidak ada Gereja tanpa keluarga,” tegasnya. Fokus pastoral Keuskupan Bogor 2010–2012 pun diarahkan secara strategis: tahun 2010 untuk orangtua, 2011 untuk anak dan remaja, dan 2012 untuk kaum muda. Sebuah pendekatan pastoral yang menyentuh akar persoalan zaman.

Sebagai advokat dan aktivis kerasulan awam, saya melihat bahwa pendekatan ini bukan hanya pastoral, tetapi juga profetik. Di tengah arus globalisasi yang menggerus nilai-nilai kekeluargaan, Gereja hadir sebagai benteng moral dan spiritual yang membela martabat keluarga.

Namun, realitasnya tidak mudah. Rm. RD. Alfons Sebatu, Pr., Ph.D., seorang imam sekaligus psikolog klinis, mengungkapkan tantangan besar yang dihadapi keluarga Katolik: kesibukan orangtua, tekanan ekonomi, dominasi teknologi, dan gaya hidup materialistis. “Mungkinkah keluarga masih mampu berdoa bersama ketika televisi dan internet menyita waktu dan perhatian?” tanyanya retoris.

Jawabannya terletak pada komitmen harian. Dalam homilinya, Rm. Alfons mengajak setiap pasutri untuk tidak berjanji menjadi orang baik selama setahun, tetapi cukup “satu hari saja.” Sebuah spiritualitas harian yang sederhana namun revolusioner: menjadi suami terbaik, istri terbaik, ayah dan ibu terbaik, satu hari saja—dan ulangi setiap hari.

Puncak acara ditandai dengan misa kudus yang dipimpin langsung oleh Mgr. Angkur dan Rm. Alfons. Dalam suasana yang hangat dan penuh cinta, para pasutri memperbarui janji perkawinan mereka. Setangkai mawar merah menjadi simbol cinta yang tak lekang oleh waktu. Momen ini bukan sekadar romantika, tetapi refleksi mendalam akan sakramen perkawinan sebagai panggilan suci dan misi kerasulan.

Temu akbar ini menjadi bukti bahwa kerasulan awam tidak hanya terjadi di ruang publik, tetapi dimulai dari ruang keluarga. Keluarga adalah medan kerasulan pertama dan utama. Di sinilah nilai-nilai Injil ditanamkan, keutamaan Kristiani dibentuk, dan kasih Allah diwujudkan secara konkret.

Sebagai aktivis sosial-hukum, saya menyaksikan bagaimana keluarga Katolik yang kuat menjadi agen perubahan sosial: mendidik anak-anak yang jujur, membangun komunitas yang adil, dan menjadi suara profetik di tengah ketidakadilan. Gereja mini ini bukan hanya tempat doa, tetapi juga tempat pembentukan karakter dan solidaritas.

Tema “Bahtera Keluarga” bukan sekadar slogan, tetapi visi transformatif. Bahagia bukan berarti tanpa masalah, tetapi mampu bersyukur dalam segala situasi. Harmonis bukan berarti tanpa konflik, tetapi mampu berdamai dalam kasih. Sejahtera bukan hanya soal materi, tetapi hidup dalam kelimpahan kasih Allah.

Mari kita jadikan keluarga kita masing-masing sebagai kenisah tempat Roh Kudus berdiam. Sebab dari keluarga yang dijiwai iman, lahirlah Gereja yang hidup, masyarakat yang adil, dan dunia yang penuh kasih.

*) Keterangan foto: Temu pasutri Keuskupan Bogor Sabtu (26/6/2010), Paroki St. Paulus Depok menjadi pelopor dengan peserta terbanyak

 

#bahterakeluarga #ecclesiadomestica #keluargakatolik #kerasulanawam #gerejamini #imandalamkeluarga #satuharisaja #keluargabahagiaharmonissejahtera #mewartakankasihallah #katolikaktif

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin