![]() |
Rm. Tauchen Hotlan Girsang, OFM |
Ketika kedua anak manusia (pria-wanita) telah mengikrarkan diri menjadi suami istri di hadapan Tuhan, pejabat gereja serta para saksi, maka pada saat itu juga telah terjadi suatu perubahan total dari status hidup seseorang. Ia meninggalkan statusnya sebagai anak atau remaja dan mulai hidup sebagai suami istri bagi pasangannya. “Seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging” (Kejadian 2:24).
Kesepakatan Berdua
Kesepakatan nikah atau perjanjian (foedus) yang dibuat oleh kedua pihak yang akan menikah adalah satu-satunya unsur penentu yang “membuat” perkawinan itu sendiri. Kesepakatan ini harus muncul dari calon pasangan suami-istri (kesepakatan berdua), bukan dari pihak lain.
Bagaimana dengan posisi gereja Katolik? Hebat….! Gereja Katolik boleh dikatakan satu-satunya agama yang melarang keras. Tidak ada alasan apapun yang memisahkan hubungan suami-istri yang sudah terikat oleh Sakramen Perkawinan yang sah (ratum). Merupakan penggambaran persatuan Ilahi antara Kristus dengan Gereja-Nya, maka perkawinan Katolik mempunyai ciri yang sangat khas yaitu: ikatan yang terus berlangsung seumur hidup, ikatannya monogami yaitu satu suami dengan satu istri dan satu istri dengan satu suami dan tidak terceraikan kecuali oleh kematian. (Bdk. Matius 19:6; Markus 10: 11-12). Demikian diungkapkan oleh Rm. Tauchen Hotlan Girsang, OFM Sabtu (22/5) dalam Kursus Persiapan Perkawinan (KPP) yang diselengarakan oleh Seksi Kerasulan Keluarga, Paroki St. Paulus Depok.
Keretakan Rumahtangga
Kita mungkin telah menyaksikan hingar-bingar kawin-cerai para artis ataupun para publik figur di televisi maupun di media cetak. Didalamnya bisa saja termasuk dari pasutri Katolik hanya tidak terekpos oleh media. Dewasa ini, makna perkawinan Katolik seakan mulai luntur dari makna sucinya (sakral) yang diakibatkan oleh pergeseran nilai yang mengedepankan kepentingan sesaat. Tidak jarang, perceraian dan perselingkuhan menjadi peristiwa yang kerap terjadi di sekitar kita karena kurangnya internalisasi nilai-nilai luhur perkawinan itu dalam ajaran agama. Walaupun diketahui bahwa perkawinan itu bermakna suci, mendasar, dan merupakan anugerah cinta dari Tuhan Yang Maha Esa.
Masih dalam kaitannya dengan Kursus Persiapana Perkawinan bagi 24 calon pasutri di ruang Galatia (22-23 Mei 2010) yaitu banyak hal yang bisa dipetik hikmahnya dari narasumber seperti para Pastor, Psikologi, Dokter, dll yang benar-benar berkompeten di bidangnya.
Suasana menjadi lebih menarik ketika dihadirkan beberapa pasutri yang mau membagi pengalaman serta suka duka dalam hidup berkeluarga. Dalam menjawab pertanyaan seputar pernikahan dan problematika seperti perbedaan agama, budaya, pendidikan, suku, ekonomi, dll, pasutri Yohanes Handoyo, mengatakan untuk menciptakan keluarga bahagia, harmonis dan sejahtera dari setiap pasangan pasutri tentu memiliki cara sendiri-sendiri. Tetapi yang harus diingat oleh calon pasutri adalah seberapapun memuncaknya emosional adalah harus tetap tenang dan harus berpikir bijak, tidak boleh mengambil tindakan sesaat yang dapat menyebabkan penyesalan untuk seumur hidup. Perlu diingat! bahwa perkawinan Katolik yang sah dan kanoniks itu harus tetap dipertahankan sampai kematianlah yang menjemput.
Salah satu kunci untuk mempertahankan perkawinan adalah membangun cinta, menumbuhkan iman, membangun saling percaya, keintiman, mengatur ekonomi rumah tangga dengan baik, kehadiran anak buah dari perkawinan, menghindari pihak ketiga, menjaga romantisme, membiasakan berkomunikasi setiap hari secara intens, saling memuji dan memberikan perhatian. Jaga dan berkomitmen pada pasangan “Tidak akan menjadi sebuah gelas yang menarik dan utuh jika sudah pecah berantakan sehingga sangat sulit untuk dipersatukan”, ungkap pasutri dari paroki St. Markus- Depok Timur, yang telah hidup berkeluarga selama 32 tahun ini.
Pengendalian Diri
Seluruh rangkaian acara ditutup dengan pembagian sertifikat dan berkat penutup oleh Rm. Tauchen namun sebagai sesi terakhir adalah berbicara tentang prinsip pengelolaan keuangan dalam keluarga. Materi yang dipaparkan oleh Ibu Ganiek-Ambros S. Mally, pembicara sekaligus ketua SKK Paroki St. Paulus Depok mengatakan salah satu dari penyebab keretakan dalam berumahtangga adalah masalah ekonomi. Gara-gara keuangan, kita akhirnya bersitegang dan relasi suami-istri pun terganggu. Kebanyakan masalah keuangan adalah bersumber dari gaya hidup yang tidak teratur dan tidak disiplin. Hal ini terjadi bukan disebabkan oleh kurangnya penghasilan. Jadi, hiduplah dengan pengendalian diri dan jangan menuruti semua keinginan hati (bdk. Amsal 30:24-28). Semoga kesemuanya ini dapat menjadikan kita makhluk ciptaan Tuhan yang bijak dalam hidup baik untuk kebaikan keluarga maupun diri sendiri. (Darius AR)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin