Minggu, 28 Desember 2025

Jakarta Rumah Bersama; Kerasulan Awam Menyemai Kasih di Tengah Kota

JAKARTA - Ketika Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung, menyatakan bahwa “Jakarta adalah rumah bersama, bukan milik satu agama, satu etnis, atau satu golongan,” saya terhenyak. Bukan karena pernyataan itu mengejutkan, melainkan karena ia menghidupkan kembali harapan yang lama terpendam: bahwa kota ini bisa menjadi ruang perjumpaan, bukan perpecahan; tempat kasih, bukan kebencian; dan medan kerasulan, bukan medan pertempuran identitas.

Pernyataan itu bukan sekadar retorika. Ia dibuktikan dengan tindakan nyata: Christmas Carol kolosal di Bundaran HI, sholawatan di Monas, dan—yang paling menyentuh hati saya—peresmian gereja Katolik yang telah puluhan tahun menanti pengakuan. Gereja yang selama ini berdiri dalam bayang-bayang ketidakpastian hukum, akhirnya mendapat ruang yang sah. Ini bukan sekadar kemenangan administratif, tetapi buah dari perjuangan panjang umat dan kerasulan awam yang tak kenal lelah.

Sebagai seorang advokat dan aktivis kerasulan awam, saya percaya bahwa iman Katolik tidak berhenti di altar. Ia harus menjelma dalam tindakan nyata di tengah masyarakat. Seperti yang diajarkan oleh Konsili Vatikan II dalam Lumen Gentium dan Christifideles Laici, kaum awam dipanggil untuk menjadi garam dan terang dunia—mewartakan Injil bukan hanya dengan kata, tetapi dengan karya.

Di Jakarta, kerasulan awam hadir dalam berbagai bentuk:

  • Bantuan hukum bagi yang tertindas, tanpa memandang agama atau latar belakang.
  • Pemberdayaan ekonomi umat, melalui koperasi dan pelatihan keterampilan.
  • Pelayanan sosial, seperti dapur umum, klinik gratis, dan rumah singgah.
  • Pendidikan karakter, di sekolah-sekolah Katolik yang terbuka untuk semua.

Semua ini adalah bentuk pewartaan kasih Allah yang konkret, yang menjangkau mereka yang terpinggirkan, terluka, dan terabaikan.

Ketika dunia menyaksikan Jakarta menggelar perayaan lintas iman di ruang publik, pujian pun mengalir dari New York hingga London. Ini bukan karena Jakarta sempurna, tetapi karena ia berani menunjukkan bahwa toleransi bukan sekadar jargon, melainkan sikap nyata dalam kebijakan. Dan di sinilah peran kerasulan awam menjadi penting: menjadi jembatan, bukan tembok; menjadi pelayan, bukan penguasa.

Gereja tidak mencari keistimewaan, tetapi ruang untuk berkarya. Ketika negara membuka ruang itu, maka sinergi antara iman dan kebijakan publik dapat menghasilkan transformasi sosial. Seperti dikatakan dalam Gaudium et Spes, “Sukacita dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang... adalah juga sukacita dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus.”

Jakarta adalah rumah bersama. Dan sebagai umat Katolik, kita dipanggil untuk menjadi bagian dari rumah itu—bukan sebagai tamu, tetapi sebagai saudara. Mari kita isi ruang-ruang publik dengan kasih, bukan kebencian; dengan pelayanan, bukan dominasi; dengan dialog, bukan prasangka. Karena hanya dengan cinta, dunia bisa berubah.

 

Oleh; Darius Leka, S.H., M.H. - Advokat dan Aktivis Rasul Awam Gereja Katolik

#toleransiadalahtindakan #kerasulanawam #gerejakatolik #jakartarumahbersama #kasihuntuksemua #hidupbersamadalamperbedaan #shdariusleka #parokisantopaulusdepok #reels #foryou #fyp #jangkauanluas @semuaorang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin