JAKARTA - Ketika Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung, menyatakan bahwa “Jakarta adalah rumah bersama, bukan milik satu agama, satu etnis, atau satu golongan,” saya terhenyak. Bukan karena pernyataan itu mengejutkan, melainkan karena ia menghidupkan kembali harapan yang lama terpendam: bahwa kota ini bisa menjadi ruang perjumpaan, bukan perpecahan; tempat kasih, bukan kebencian; dan medan kerasulan, bukan medan pertempuran identitas.
Pernyataan itu bukan sekadar
retorika. Ia dibuktikan dengan tindakan nyata: Christmas Carol kolosal di
Bundaran HI, sholawatan di Monas, dan—yang paling menyentuh hati saya—peresmian
gereja Katolik yang telah puluhan tahun menanti pengakuan. Gereja yang selama ini
berdiri dalam bayang-bayang ketidakpastian hukum, akhirnya mendapat ruang yang
sah. Ini bukan sekadar kemenangan administratif, tetapi buah dari perjuangan
panjang umat dan kerasulan awam yang tak kenal lelah.
Sebagai seorang advokat dan aktivis
kerasulan awam, saya percaya bahwa iman Katolik tidak berhenti di altar. Ia
harus menjelma dalam tindakan nyata di tengah masyarakat. Seperti yang
diajarkan oleh Konsili Vatikan II dalam Lumen Gentium dan Christifideles
Laici, kaum awam dipanggil untuk menjadi garam dan terang dunia—mewartakan
Injil bukan hanya dengan kata, tetapi dengan karya.
Di Jakarta, kerasulan awam hadir
dalam berbagai bentuk:
- Bantuan hukum bagi yang tertindas, tanpa memandang agama atau latar
belakang.
- Pemberdayaan ekonomi umat, melalui koperasi dan pelatihan
keterampilan.
- Pelayanan sosial, seperti dapur umum, klinik
gratis, dan rumah singgah.
- Pendidikan karakter, di sekolah-sekolah Katolik
yang terbuka untuk semua.
Semua ini adalah bentuk pewartaan
kasih Allah yang konkret, yang menjangkau mereka yang terpinggirkan, terluka,
dan terabaikan.
Ketika dunia menyaksikan Jakarta
menggelar perayaan lintas iman di ruang publik, pujian pun mengalir dari New
York hingga London. Ini bukan karena Jakarta sempurna, tetapi karena ia berani
menunjukkan bahwa toleransi bukan sekadar jargon, melainkan sikap nyata dalam
kebijakan. Dan di sinilah peran kerasulan awam menjadi penting: menjadi
jembatan, bukan tembok; menjadi pelayan, bukan penguasa.
Gereja tidak mencari keistimewaan,
tetapi ruang untuk berkarya. Ketika negara membuka ruang itu, maka sinergi
antara iman dan kebijakan publik dapat menghasilkan transformasi sosial. Seperti
dikatakan dalam Gaudium et Spes, “Sukacita dan harapan, duka dan
kecemasan orang-orang zaman sekarang... adalah juga sukacita dan harapan, duka
dan kecemasan para murid Kristus.”
Jakarta adalah rumah bersama. Dan
sebagai umat Katolik, kita dipanggil untuk menjadi bagian dari rumah itu—bukan
sebagai tamu, tetapi sebagai saudara. Mari kita isi ruang-ruang publik dengan
kasih, bukan kebencian; dengan pelayanan, bukan dominasi; dengan dialog, bukan
prasangka. Karena hanya dengan cinta, dunia bisa berubah.
Oleh; Darius Leka, S.H., M.H. - Advokat dan Aktivis Rasul Awam Gereja Katolik
#toleransiadalahtindakan
#kerasulanawam #gerejakatolik #jakartarumahbersama #kasihuntuksemua #hidupbersamadalamperbedaan
#shdariusleka #parokisantopaulusdepok #reels
#foryou #fyp #jangkauanluas @semuaorang

Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin