Rabu, 27 April 2011

Kawin Campur dan Tantangan Pastoral; Gereja Menjawab dengan Cinta dan Keadilan

Oleh: Darius Leka, S.H., M.H. – Advokat dan Aktivis Rasul Awam Gereja Katolik

BOGOR - 
Mega Development Center (MDC), Megamendung – Di tengah sejuknya udara pegunungan Bogor, sebuah pertemuan penting berlangsung pada 12–14 Agustus 2011. Komisi Kerasulan Keluarga Keuskupan Bogor menjadi tuan rumah Rapat Kerja (Raker) Komisi Kerasulan Keluarga Regio Jawa Plus, yang dihadiri oleh sekitar 100 peserta dari sembilan keuskupan di Indonesia. Tema yang diangkat tahun ini bukan sekadar administratif, melainkan pastoral dan sangat relevan: “Pastoral Pendampingan Keluarga Kawin Campur.”

RD. Alfons Sebatu, Ketua Komisi Kerasulan Keluarga Keuskupan Bogor sekaligus Ketua Panitia Raker, menegaskan bahwa tema ini dipilih bukan tanpa alasan. “Keuskupan Bogor mencatat peningkatan signifikan dalam jumlah perkawinan campur,” ujarnya. “Namun, banyak umat belum memahami secara tepat apa itu kawin campur dan konsekuensi pastoral serta kanonik yang menyertainya.”

Sebagai seorang advokat dan aktivis kerasulan awam, saya menyaksikan langsung bagaimana kompleksitas perkawinan campur—antara Katolik dan non-Katolik, baik Kristen non-Katolik maupun lintas agama—seringkali menimbulkan kebingungan, konflik keluarga, bahkan krisis iman. Gereja tidak menutup mata. Melalui forum seperti ini, Gereja hadir untuk mendampingi, bukan menghakimi.

Raker ini bukan sekadar forum diskusi, tetapi ruang sinergi lintas keuskupan. Delegasi dari Keuskupan Agung Jakarta, Bandung, Purwokerto, Semarang, Surabaya, Malang, Denpasar, dan Lampung hadir untuk berbagi pengalaman, tantangan, dan strategi pastoral. Khusus Keuskupan Bogor, sebanyak 60 peserta dari Seksi Kerasulan Keluarga paroki-paroki turut ambil bagian.

Diskusi difokuskan pada tiga hal utama:

  1. Pemahaman teologis dan kanonik tentang kawin campur: termasuk syarat dispensasi, janji pendidikan anak dalam iman Katolik, dan validitas sakramen.
  2. Pendampingan pastoral sebelum dan sesudah pernikahan: termasuk Kursus Persiapan Perkawinan (KPP) yang kontekstual dan berkelanjutan.
  3. Peran keluarga besar dan komunitas: dalam mendukung pasangan kawin campur agar tetap setia pada iman dan membangun keluarga yang harmonis.

Komisi Kerasulan Keluarga memiliki mandat penting: menjadi wajah Gereja yang hadir dalam dinamika keluarga Katolik. Dalam konteks kawin campur, pendekatan yang digunakan bukanlah legalistik semata, tetapi pastoral dan penuh belas kasih. Gereja memahami bahwa cinta tidak selalu lahir dalam batas-batas agama. Namun, cinta juga harus dibimbing agar tidak kehilangan arah keselamatan.

Sebagai Sekretaris Komisi Keluarga Dekenat Bogor Utara, saya melihat bahwa tantangan kawin campur bukan hanya soal dokumen atau dispensasi, tetapi soal iman yang harus terus dibina, dialog yang harus terus dijaga, dan komunitas yang harus terus mendukung.

Raker ini menjadi momentum penting untuk menyusun pedoman pastoral yang lebih kontekstual dan inklusif. Gereja tidak bisa lagi menggunakan pendekatan satu arah. Dibutuhkan dialog, empati, dan keberanian untuk menjawab realitas zaman tanpa kehilangan jati diri iman.

Keluarga adalah Gereja mini. Maka, setiap keluarga—termasuk yang kawin campur—harus dirangkul, dibina, dan diberdayakan agar menjadi saksi kasih Allah di tengah masyarakat.

 

#kawincampurkatolik #kerasulankeluarga #rakerregiojawaplus #gerejayangmendampingi #imandancinta #keluargakatolik #kerasulanawam #mewartakankasihallah #katolikaktif #stpaulusdepok

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin