
Oleh: RP. Stanilaus Agus Haryanto, OFM. – Pastor Vikaris Paroki Santo Paulus Depok periode 2010-2013
Dalam dinamika kehidupan liturgi umat Katolik, sering kali
kita menjumpai pertanyaan-pertanyaan sederhana namun mendalam: Berapa kali
seharusnya kita membuat tanda salib dalam Misa? Apakah perlu berdoa lagi
setelah berkat penutup? Bagaimana sikap yang tepat saat pemecahan Tubuh
Kristus? Pertanyaan-pertanyaan ini bukan sekadar teknis, tetapi menyentuh inti
dari spiritualitas liturgi: bagaimana tubuh dan jiwa kita menyatu dalam
menyembah Allah.
Pertanyaan dari saudara Johanes Lewa yang disampaikan kepada
Rm. Stanislaus A. Haryanto, OFM, dalam rubrik Klinik Rohani, menjadi pintu
masuk yang sangat baik untuk merenungkan kembali makna gerak tubuh dalam
Ekaristi. Sebagai seorang advokat dan aktivis kerasulan awam, saya percaya
bahwa liturgi bukan hanya soal aturan, tetapi soal penghayatan iman yang hidup.
Menurut kaidah liturgi, tanda salib secara resmi dilakukan
dua kali dalam Misa: saat awal (ritus pembuka) dan saat berkat penutup (ritus
penutup). Selain itu, ada satu momen khusus saat Injil dibacakan, di mana umat
membuat tanda salib kecil di dahi, mulut, dan dada—sebagai simbol bahwa Sabda
Tuhan harus kita pikirkan, ucapkan, dan hayati.
Namun dalam praktik, banyak umat membuat tanda salib lebih
dari itu. Apakah salah? Tidak. Selama dilakukan dengan kesadaran dan
penghayatan, itu adalah bentuk devosi pribadi. Tanda salib bukan sekadar
kebiasaan, tetapi pernyataan iman akan Tritunggal Mahakudus. Maka, jika
dilakukan dengan hati yang tulus, ia menjadi doa yang hidup.
Setelah berkat penutup, sebagian umat memilih untuk tetap
duduk atau berlutut dalam doa pribadi. Apakah ini perlu? Jawabannya:
tergantung. Liturgi Ekaristi adalah doa bersama Gereja. Namun, setiap pribadi
memiliki kerinduan dan intensi yang mungkin belum terungkap. Maka, berdoa
secara pribadi setelah Misa adalah hal yang sangat baik—selama tidak mengganggu
ketenangan umat lain.
Doa pribadi adalah ruang intim antara jiwa dan Sang
Pencipta. Dalam keheningan itu, kita bisa bersyukur, memohon, atau sekadar diam
dalam hadirat-Nya. Gereja tidak mewajibkan, tetapi menganjurkan. Sebab doa yang
lahir dari hati adalah napas iman yang sejati.
Saat imam mengangkat Tubuh Kristus dalam ritus pemecahan
roti, umat diajak untuk memberi penghormatan. Tata Perayaan Ekaristi (TPE)
menyebutkan bahwa umat dapat memandang dengan penuh hikmat. Namun, dalam
berbagai budaya, penghormatan bisa diekspresikan dengan cara yang berbeda:
membungkuk, melipat tangan di atas dahi, atau bahkan membuat tanda salib.
Yang penting bukan bentuknya, tetapi sikap batinnya. Apakah
kita sungguh menyadari bahwa yang kita hormati adalah Kristus sendiri—Allah
yang hadir dalam rupa roti dan anggur? Jika ya, maka setiap gerak tubuh kita,
sekecil apa pun, menjadi liturgi yang hidup.
Namun, kita juga diingatkan untuk tidak berlebihan. Jika
gerakan kita dimotivasi oleh keinginan untuk dilihat orang, maka itu bukan
penghormatan, melainkan pameran. Liturgi bukan panggung, tetapi perjumpaan.
Maka, mari kita jaga kesederhanaan dan ketulusan dalam setiap gerak tubuh kita.
Liturgi bukan hanya soal kata-kata, tetapi juga soal tubuh.
Dalam setiap berdiri, duduk, berlutut, menunduk, dan membuat tanda salib, kita
sedang membentuk diri menjadi pribadi yang taat, rendah hati, dan penuh kasih.
Liturgi adalah sekolah iman—dan tubuh kita adalah muridnya.
Sebagai umat Katolik, mari kita terus belajar dan bertanya.
Sebab iman yang bertumbuh adalah iman yang terus mencari. Dan dalam pencarian
itu, kita akan menemukan bahwa setiap gerak tubuh dalam liturgi bukanlah
rutinitas kosong, tetapi ungkapan cinta kepada Allah yang hidup. Tuhan Yesus memberkati.
#liturgikatolik #tandasalib
#doapribadi #ekaristikudus #kerasulanawam #tubuhkristus #imanyanghidup
#gerejayangmendidik #mewartakankasihallah #katolikaktif
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin