Jumat, 29 April 2011

Tanda Salib, Doa Pribadi, dan Sikap Hormat; Menemukan Makna dalam Gerak Tubuh Iman

Oleh: RP. Stanilaus Agus Haryanto, OFM. – Pastor Vikaris Paroki Santo Paulus Depok periode 2010-2013

Dalam dinamika kehidupan liturgi umat Katolik, sering kali kita menjumpai pertanyaan-pertanyaan sederhana namun mendalam: Berapa kali seharusnya kita membuat tanda salib dalam Misa? Apakah perlu berdoa lagi setelah berkat penutup? Bagaimana sikap yang tepat saat pemecahan Tubuh Kristus? Pertanyaan-pertanyaan ini bukan sekadar teknis, tetapi menyentuh inti dari spiritualitas liturgi: bagaimana tubuh dan jiwa kita menyatu dalam menyembah Allah.

Pertanyaan dari saudara Johanes Lewa yang disampaikan kepada Rm. Stanislaus A. Haryanto, OFM, dalam rubrik Klinik Rohani, menjadi pintu masuk yang sangat baik untuk merenungkan kembali makna gerak tubuh dalam Ekaristi. Sebagai seorang advokat dan aktivis kerasulan awam, saya percaya bahwa liturgi bukan hanya soal aturan, tetapi soal penghayatan iman yang hidup.

Menurut kaidah liturgi, tanda salib secara resmi dilakukan dua kali dalam Misa: saat awal (ritus pembuka) dan saat berkat penutup (ritus penutup). Selain itu, ada satu momen khusus saat Injil dibacakan, di mana umat membuat tanda salib kecil di dahi, mulut, dan dada—sebagai simbol bahwa Sabda Tuhan harus kita pikirkan, ucapkan, dan hayati.

Namun dalam praktik, banyak umat membuat tanda salib lebih dari itu. Apakah salah? Tidak. Selama dilakukan dengan kesadaran dan penghayatan, itu adalah bentuk devosi pribadi. Tanda salib bukan sekadar kebiasaan, tetapi pernyataan iman akan Tritunggal Mahakudus. Maka, jika dilakukan dengan hati yang tulus, ia menjadi doa yang hidup.

Setelah berkat penutup, sebagian umat memilih untuk tetap duduk atau berlutut dalam doa pribadi. Apakah ini perlu? Jawabannya: tergantung. Liturgi Ekaristi adalah doa bersama Gereja. Namun, setiap pribadi memiliki kerinduan dan intensi yang mungkin belum terungkap. Maka, berdoa secara pribadi setelah Misa adalah hal yang sangat baik—selama tidak mengganggu ketenangan umat lain.

Doa pribadi adalah ruang intim antara jiwa dan Sang Pencipta. Dalam keheningan itu, kita bisa bersyukur, memohon, atau sekadar diam dalam hadirat-Nya. Gereja tidak mewajibkan, tetapi menganjurkan. Sebab doa yang lahir dari hati adalah napas iman yang sejati.

Saat imam mengangkat Tubuh Kristus dalam ritus pemecahan roti, umat diajak untuk memberi penghormatan. Tata Perayaan Ekaristi (TPE) menyebutkan bahwa umat dapat memandang dengan penuh hikmat. Namun, dalam berbagai budaya, penghormatan bisa diekspresikan dengan cara yang berbeda: membungkuk, melipat tangan di atas dahi, atau bahkan membuat tanda salib.

Yang penting bukan bentuknya, tetapi sikap batinnya. Apakah kita sungguh menyadari bahwa yang kita hormati adalah Kristus sendiri—Allah yang hadir dalam rupa roti dan anggur? Jika ya, maka setiap gerak tubuh kita, sekecil apa pun, menjadi liturgi yang hidup.

Namun, kita juga diingatkan untuk tidak berlebihan. Jika gerakan kita dimotivasi oleh keinginan untuk dilihat orang, maka itu bukan penghormatan, melainkan pameran. Liturgi bukan panggung, tetapi perjumpaan. Maka, mari kita jaga kesederhanaan dan ketulusan dalam setiap gerak tubuh kita.

Liturgi bukan hanya soal kata-kata, tetapi juga soal tubuh. Dalam setiap berdiri, duduk, berlutut, menunduk, dan membuat tanda salib, kita sedang membentuk diri menjadi pribadi yang taat, rendah hati, dan penuh kasih. Liturgi adalah sekolah iman—dan tubuh kita adalah muridnya.

Sebagai umat Katolik, mari kita terus belajar dan bertanya. Sebab iman yang bertumbuh adalah iman yang terus mencari. Dan dalam pencarian itu, kita akan menemukan bahwa setiap gerak tubuh dalam liturgi bukanlah rutinitas kosong, tetapi ungkapan cinta kepada Allah yang hidup. Tuhan Yesus memberkati.

 

#liturgikatolik #tandasalib #doapribadi #ekaristikudus #kerasulanawam #tubuhkristus #imanyanghidup #gerejayangmendidik #mewartakankasihallah #katolikaktif

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin