
Oleh: RP. Tauchen Hotlan Girsang, OFM. – Pastor Paroki Santo Paulus Depok periode 2010-2013
KOTA DEPOK - Dalam tradisi Yahudi, Paskah (Passah) adalah peringatan
akan peristiwa agung: Tuhan lewat dan menyelamatkan umat-Nya dari perbudakan
Mesir. Sebuah momen pembebasan yang dikenang turun-temurun sebagai tanda kasih
Allah yang tak pernah sirna. Dalam tradisi Perjanjian Baru, Paskah menemukan
makna terdalamnya dalam kebangkitan Yesus Kristus—peristiwa yang mengalahkan
maut dan membuka jalan keselamatan bagi seluruh umat manusia.
Namun, Paskah bukan hanya peristiwa sejarah. Ia adalah
sapaan Allah yang hidup. Sapaan yang memulihkan. Sapaan yang membangkitkan
kembali iman, harapan, dan cinta—terutama di dalam keluarga.
Dalam Yohanes 20:19–31, kita membaca kisah penampakan Yesus
kepada para murid. Di tengah ketakutan dan keraguan, Yesus hadir dan berkata:
“Damai sejahtera bagi kamu!” Sebuah sapaan sederhana, namun penuh kuasa. Sapaan
itu memulihkan iman para murid. Bahkan Thomas, yang semula meragukan, akhirnya
berseru: “Ya Tuhanku dan Allahku!”
Sebagai seorang advokat dan aktivis kerasulan awam, saya
percaya bahwa kisah ini bukan hanya tentang Thomas. Ini adalah kisah kita
semua. Kita yang hidup di tengah dunia yang serba cepat, serba sibuk, dan
sering kali kehilangan makna dalam relasi. Kita yang rindu disapa—oleh Tuhan,
oleh pasangan, oleh anak-anak, oleh sesama.
Kita hidup di era informasi yang bergerak dalam kecepatan
cahaya. Namun, ironisnya, banyak orang merasa tak pernah benar-benar disapa.
Bahkan dalam satu rumah, komunikasi bisa terputus. Suami dan istri duduk
berdampingan, tetapi sibuk dengan gawai masing-masing. Anak-anak tumbuh dalam
dunia maya, sementara dunia nyata terasa asing.
Teknologi, yang seharusnya menjadi alat, sering kali menjadi
tembok. Ia membuat kita asyik dengan diri sendiri dan abai terhadap kehadiran
orang lain—bahkan terhadap kehadiran Tuhan. Kita lupa bahwa Tuhan pun menyapa.
Dalam keheningan, dalam Sabda-Nya, dalam sesama yang hadir di sekitar kita.
Paskah adalah saat paling istimewa untuk memulihkan
komunikasi dalam keluarga. Seperti Yesus yang menyapa para murid dan memulihkan
kepercayaan mereka, kita pun dipanggil untuk menyapa kembali orang-orang
terdekat kita. Sebab sapaan bukan sekadar kata. Ia adalah jembatan. Ia adalah
pengakuan bahwa yang lain hadir, penting, dan dicintai.
Sapaan yang tulus bisa memulihkan luka. Bisa membangun
kembali kepercayaan yang retak. Bisa menghidupkan kembali cinta yang nyaris
padam. Dalam dunia yang penuh kebisingan, sapaan yang sederhana bisa menjadi
suara Tuhan yang menyentuh hati.
Sebagai bagian dari kerasulan awam, saya melihat bahwa
keluarga adalah medan kerasulan pertama dan utama. Di sanalah iman ditanamkan,
nilai-nilai dibentuk, dan kasih diwujudkan. Namun semua itu hanya mungkin jika
ada komunikasi yang hidup. Jika ada sapaan yang tulus. Jika ada kehadiran yang
nyata.
Maka, mari kita jadikan Paskah ini sebagai titik balik. Mari
kita pulihkan komunikasi dalam keluarga. Mari kita saling menyapa—bukan hanya
dengan kata, tetapi dengan hati. Sebab dalam setiap sapaan yang tulus, Tuhan
hadir. Dan di sanalah Paskah sungguh hidup.
#paskah2025 #sapaanyangmemulihkan #kebangkitanyesus #keluargakatolik #kerasulanawam #imandankomunikasi #gerejamini #mewartakankasihallah #katolikaktif #damaisejahtera
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin