Jumat, 06 Mei 2011

Indulgensi dan Sakrelegi; Ketika Iman Menyentuh Kekekalan dan Kekudusan

Oleh: RP. Stanilaus Agus Haryanto, OFM. – Pastor Vikaris Paroki Santo Paulus Depok periode 2010-2013

KOTA DEPOK
- Citayam, April 2025 — Sebuah pertanyaan sederhana dari Ibu Anna melalui pesan singkat membuka ruang refleksi yang dalam: Apa itu indulgensi? Apakah benar ada indulgensi seratus atau seribu hari? Dan bagaimana dengan dosa sakrelegi—dosa yang terdengar asing namun sangat serius dalam kehidupan iman Katolik?

Sebagai seorang advokat dan aktivis kerasulan awam, saya percaya bahwa pertanyaan-pertanyaan seperti ini bukan sekadar keingintahuan, tetapi tanda bahwa umat ingin memahami imannya secara lebih utuh. Maka, mari kita telusuri bersama, dengan terang ajaran Gereja dan semangat pewartaan kasih Allah.

Indulgensi, atau indulgensia, berasal dari bahasa Latin indulgentia yang berarti “pengampunan” atau “kelonggaran.” Dalam ajaran Gereja Katolik, indulgensi adalah penghapusan hukuman temporal atas dosa-dosa yang telah diampuni melalui sakramen tobat. Artinya, indulgensi bukan pengganti pengakuan dosa, melainkan kelanjutan dari proses pemurnian jiwa.

Gereja membedakan dua jenis indulgensi:

  • Indulgensi penuh, yang menghapus seluruh hukuman temporal.
  • Indulgensi sebagian, yang menghapus sebagian dari hukuman tersebut.

Istilah “seratus hari” atau “seribu hari” yang dulu digunakan bukanlah ukuran waktu di alam kekal—karena memang di sana tidak ada waktu—melainkan simbol dari nilai rohani yang setara dengan masa tobat tertentu dalam praktik Gereja awal. Kini, istilah itu tidak lagi digunakan secara resmi, dan digantikan dengan istilah “penuh” atau “sebagian.”

Untuk memperoleh indulgensi penuh, umat Katolik harus:

  1. Mengakukan dosa secara pribadi (sakramen tobat).
  2. Menerima Komuni Kudus dalam Misa.
  3. Mendoakan intensi Bapa Suci.
  4. Melakukan tindakan tertentu yang ditentukan Gereja (misalnya, merayakan Hari Raya Kerahiman Ilahi).

Indulgensi ini dapat dipersembahkan untuk diri sendiri atau untuk jiwa-jiwa di api penyucian. Sebab, mereka yang telah meninggal tidak lagi dapat mengubah nasib jiwanya. Di sinilah peran kita yang masih hidup: menjadi perpanjangan belas kasih Allah bagi mereka yang menantikan kepenuhan keselamatan.

Berbeda dengan indulgensi yang menyentuh kekekalan, dosa sakrelegi menyentuh kekudusan. Sakrelegi adalah tindakan yang secara sadar dan sengaja melanggar atau menodai hal-hal yang telah dikuduskan untuk ibadat dan pengungkapan iman.

Dalam tradisi Katolik, banyak benda dan tempat yang telah dikuduskan melalui doa dan penumpangan tangan imam: altar, patung kudus, salib, bejana Ekaristi, pakaian liturgi, bahkan gereja itu sendiri. Ketika benda-benda ini diperlakukan secara tidak hormat—dijadikan mainan, dihina, atau disalahgunakan—maka pelakunya jatuh dalam dosa sakrelegi.

Contoh konkret:

  • Mengambil hosti kudus dan memperlakukannya secara tidak pantas.
  • Menghancurkan patung kudus dengan niat menghina iman.
  • Menggunakan pakaian liturgi untuk tujuan profan atau hiburan.

Sakrelegi bukan sekadar pelanggaran etika, tetapi pelanggaran terhadap kehadiran Allah yang dihadirkan melalui simbol-simbol kudus. Maka, sikap hormat, takzim, dan kesadaran rohani sangat penting dalam setiap tindakan kita di ruang liturgi dan dalam penggunaan benda-benda rohani.

Indulgensi dan sakrelegi mungkin terdengar seperti dua kutub yang berbeda—yang satu menyentuh rahmat, yang lain menyentuh pelanggaran. Namun keduanya mengajarkan kita satu hal yang sama: bahwa iman Katolik bukan sekadar soal batin, tetapi juga soal tindakan nyata. Bahwa keselamatan dan kekudusan bukan hanya urusan Tuhan, tetapi juga tanggung jawab kita.

Sebagai umat Katolik, kita dipanggil untuk hidup dalam kesadaran akan kekekalan dan kekudusan. Kita dipanggil untuk memohon rahmat bagi jiwa-jiwa yang telah mendahului kita, dan sekaligus menjaga kekudusan ruang dan simbol iman kita. Sebab di sanalah, kasih Allah dinyatakan dan diwartakan. Tuhan Yesus memberkati.

 

#indulgensikatolik #sakrelegi #kekudusanliturgi #kerasulanawam #imanyanghidup #kerinduanakansurga #gerejayangmendidik #mewartakankasihallah #katolikaktif #stpaulusdepok

2 komentar:

  1. Pasutri yang sudah lama tidak mengimani katolik al. tidak lagi mengikuti perayaan ekaristi apalagi menerima komuni dan pasutri tsb supaya beralih agama lain, namun suatu saat menjadi saksi perkawaninan, apakah pasutri tsb termasuk dosa sakrilegi

    BalasHapus
  2. Bagaimana dengan perkawinan dimana pasutri tsb menjadi saksi, apakah tetap sah karena sudah diberkati oleh pastor ataukah ada cacat lainnya.

    BalasHapus

Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin