
Oleh: Darius Leka, S.H., M.H. – Advokat, Aktivis Rasul Awam Gereja Katolik sekaligus Koordinator KOMSOS Paroki Santo Paulus Depok periode 2010-2013
DENPASAR - Empat tahun lalu, pada Minggu pagi 4 November, sebuah
perjumpaan sederhana namun sarat makna terjadi di Gereja Katolik Tuka,
Bali—gereja tertua di pulau dewata yang berdiri tak jauh dari Seminari Roh
Kudus Tuka. Romo Willem, CP, yang tengah dalam perjalanan cuti menuju kampung
halamannya di Flores setelah sembilan tahun tanpa jeda melayani di Kalimantan
Barat, menyempatkan diri mampir. Di sana, ia disambut hangat oleh sahabat
lamanya, Romo Krist Ratu, SVD, Pastor Kepala Paroki Tuka.
Keduanya mempersembahkan Misa Kudus bersama pukul 08.00
pagi. Dalam homilinya, Romo Willem membagikan kisah yang menggugah: tentang
kerasnya medan pelayanan di pedalaman Kalimantan, tentang umat yang tersebar di
wilayah luas berjumlah 26 ribu jiwa, dan tentang dirinya yang harus
menggembalakan mereka seorang diri.
“Sampai-sampai ada
umat yang berseloroh, kalau di supermarket ada yang menjual Pastor, berapapun
harganya akan dibeli,” ujar Romo Willem, setengah bercanda, setengah getir.
Sebab kenyataannya, kekurangan imam bukan lagi isu lokal, melainkan krisis
global. Di banyak tempat, satu imam harus melayani ribuan umat, menempuh
perjalanan berjam-jam, dan tetap hadir dengan senyum dan semangat.
Perbandingan yang ia sampaikan pun mencolok: di Kalimantan,
kolekte mingguan sulit mencapai satu juta rupiah, sementara di Paroki Tuka yang
hanya berjumlah 1.600 umat, kolekte bisa mencapai dua juta. Ini bukan soal uang
semata, tetapi soal kesadaran umat akan pentingnya mendukung Gereja—baik secara
spiritual maupun material.
Sebagai seorang advokat dan aktivis kerasulan awam, saya
melihat bahwa krisis panggilan bukan sekadar statistik. Ia adalah cermin dari
dinamika iman umat. Jumlah calon imam yang terus menurun, tingkat keberhasilan
seminarian yang rendah, dan kebutuhan pastoral yang terus meningkat adalah
alarm yang tak boleh diabaikan.
Lalu, siapa yang bertanggung jawab? Jawabannya sederhana:
kita semua. Umat Katolik bukan hanya penerima pelayanan, tetapi juga penanggung
jawab keberlangsungan pelayanan itu. Dan karena umat diwakili oleh Dewan
Pastoral Paroki, maka sudah semestinya DPP menjadi motor penggerak promosi
panggilan di tingkat paroki.
Salah satu langkah konkret yang bisa dilakukan adalah
memberikan beasiswa kepada calon imam dari keluarga kurang mampu. Jika sebuah
paroki mampu membangun gedung gereja bernilai miliaran rupiah, mengapa tidak
menyisihkan sebagian kecil untuk mendukung satu atau dua seminarian?
Lima ratus ribu rupiah per bulan mungkin terdengar kecil,
tetapi bagi seorang calon imam, itu bisa menjadi jembatan menuju panggilan
hidupnya. Dan bagi Gereja, itu adalah investasi jangka panjang yang tak
ternilai.
Krisis panggilan adalah seperti mencari kunci dalam gelap.
Kita tahu kuncinya ada, tapi tak tahu persis di mana. Maka, kita perlu cahaya:
cahaya doa, cahaya dukungan, cahaya kesadaran bersama. Kita perlu menciptakan
budaya panggilan—di rumah, di sekolah, di komunitas. Kita perlu berbicara tentang
panggilan bukan sebagai beban, tetapi sebagai anugerah.
Dan yang terpenting, kita perlu berhenti menunggu. Sebab
Gereja bukan hanya milik para imam, tetapi milik kita semua. Maka, mari kita
bergerak. Mari kita bantu anak-anak kita mendengar suara panggilan itu. Mari
kita dukung mereka, bukan hanya dengan kata-kata, tetapi juga dengan tindakan
nyata.
*) Keterangan foto: Sr. Yoana, bersaksi dalam Minggu Panggilan, Minggu (15/5/2011) di Gereja Katolik Santo Paulus Depok
#krisispanggilan #panggilanimam
#kerasulanawam #stpaulusdepok #gerejayanghidup #beasiswaseminarian
#mewartakankasihallah #katolikaktif #misigereja #mencarikuncidalamgelap
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin