Gereja Katolik; Jika dilakukan maka perkawinan itu tidak Sakramen |
Terimakasih atas pertanyaan dari umat via sms berkaitan perkawinan campur. Dan dalam edisi ini saya akan menjelaskan berkaitan dengan dasar-dasar perkawinan campur berhubungan dengan hokum Gereja. Semoga dapat dipahami dan dimengerti.
Yang dimaksud dengan perkawinan campur adalah perkawinan orang katolik dengan orang non katolik, baik baptis (misalkan Kristen) maupun non baptis. Perkawinan campur antara orang katolik dan baptis non katolik disebut perkawinan campur beda Gereja, dan ini mempunyai sifat sacramental, karena dilaksanakan antara dua orang yang telah dibaptis (bdk Kan. 1055-1056). Sedangkan perkawinan campur antara orang katolik dengan orang non katolik (islam, budha, hindhu, dll), disebut perkawinan campur beda agama, dan perkawinan ini bukanlah sakramen dan hanya memiliki sifat kodrati saja.
Masalah kawin campur beda Gereja ini sudah muncul sejak ada dalam Gereja Katolik, semenjak munculnya sekte-sekte heretic dan skismatik dalam Gereja. Sejak Konsili-konsili Gereja dan terakhir dalam Konsili Trento memberi himbauan kepada orang Katolik dengan melarang menikah dengan orang-orang non katolik. Maka kemudian muncul istilah dalam Gereja berkaitan dengan perkawinan campur beda Gereja yang disebut LARANGAN menikah BEDA GEREJA dan perkawinan campur beda agama disebut HALANGAN menikah dalam Gereja Katolik.
Yang menjadi alasan utama LARANGAN perkawinan campur beda Gereja dan HALANGAN perkawinan campur beda Agama ini adalah keyakinan bahwa bentuk kesatuan suami-isteri (perkawinan) memiliki bahaya dan kesulitan yang sangat serius, khususnya mengenai pelaksanaan dan penghayatan iman pihak katolik, pembaptisan dan pendidikan anak secara Katolik. Ada bahaya bahwa dengan hidup bersama dengan orang yang tidak seiman, pihak katolik mengalami kesulitan untuk menghayati imannya secara katolik yang sejati, demikian juga mendidik dan membaptis anak-anak secara Katolik. Bahaya dan kesulitan ini sungguh sangat konkret, khususnya kalau dikaitkan dengan hakekat perkawinan sebagai “ KEBERSAMAAN SELURUH HIDUP” (Consorsium totius Vitae). Consorsium totius vitae senantiasa berhubungan dengan penghayatan iman secara bersama dalam keluarga dan dengan paham teologis tentang perkawinan sebagai institusi yang bersifat monogam dan tak terceraikan.
Karena alasan-alasan inilah Gereja Katolik TIDAK PERNAH MENGANJURKAN pelaksanaan perkawianan campur semacam ini, kendati juga tidak menghalanginya. Sikap baru Gereja berkembang setelah Konsili Vatikan II, dengan memberikan kebijakan Pastoral dalam Perkawinan campur beda gereja dan perkawinan campur beda agama. Karena jenis perkawinan ini mempunyai sifat dapat membuat “tidak sahnya perkawinan” tersebut, maka Gereja melalui Ordinaris Wilayah yaitu Uskup memberikan DISPENSASI untuk dapat menikah secara beda Gereja dan Beda Agama.
Perkawinan beda Gereja bersifat Larangan, maka dispensasi dari Uskup dibutuhkan agar perkawinannya bisa dilaksanakan dalam Gereja Katolik, maka dispensasi dibutuhkan demi layak/ halalnya perkawinan tersebut. Sedangkan untuk perkawinan beda Agama, dispensasi dari uskup dibutuhkan agar perkawinan beda Agama tersebut sah menurut hukum Gereja. Sehingga DISPENSASI perkawinan beda Agama dibutuhkan oleh pasangan agar terbebaskan dari HALANGAN menikah yang dapat membuat pernikahannya tidak sah.
Meskipun kedua jenis perkawinan ini terjadi di dalam Gereja Katolik, baik yang beda Gereja atau beda Agama, perlu diketahui bahwa perkawinan ini bukanlah perkawinan yang bersifat sacramental dan hanya memiliki sifat kodrati saja. Perkawianan SAKRAMEN adalah perkawinan yang dilaksungkan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang sudah dipabtis secara sah dalam Gereja Katolik (bdk Kan 1012 KHK).
Demikian semoga menjadi pencerahan bagi umat yang membutuhkannya. Salam dan berkat Tuhan. Rm Stanislaus Agus Haryanto, OFM.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin