Rabu, 18 Mei 2011

Perkawinan Campur dalam Gereja Katolik; Antara Rahmat, Dispensasi, dan Tanggung Jawab Iman

Oleh: RP. Stanilaus Agus Haryanto, OFM. – Pastor Vikaris Paroki Santo Paulus Depok periode 2010-2013

KOTA DEPPK -
Dalam dinamika pastoral Gereja Katolik, pertanyaan seputar perkawinan campur terus menjadi topik yang relevan dan sensitif. Di tengah masyarakat yang semakin plural dan terbuka, banyak umat Katolik yang menjalin relasi dengan pasangan dari latar belakang agama atau denominasi yang berbeda. Namun, bagaimana Gereja memandang dan mengatur hal ini? Apakah semua perkawinan yang dilangsungkan di gereja otomatis menjadi sakramen? Dan apa konsekuensinya bagi kehidupan iman?

Gereja Katolik membedakan dua jenis perkawinan campur:

  1. Perkawinan beda Gereja: antara seorang Katolik dan seorang Kristen non-Katolik (misalnya Protestan, Ortodoks). Keduanya telah dibaptis secara sah, sehingga perkawinan ini memiliki sifat sakramental, meskipun tetap memerlukan dispensasi karena adanya perbedaan dalam penghayatan iman dan ajaran.
  2. Perkawinan beda Agama: antara seorang Katolik dan seorang yang belum dibaptis (misalnya Muslim, Hindu, Buddha). Perkawinan ini tidak bersifat sakramental, melainkan hanya bersifat kodrati, karena sakramen perkawinan hanya terjadi antara dua pribadi yang sama-sama telah dibaptis secara sah (bdk. Kan. 1055–1056, KHK).

Sejak Konsili Trento hingga Konsili Vatikan II, Gereja telah mengembangkan pendekatan pastoral terhadap perkawinan campur. Namun, prinsip dasarnya tetap: perkawinan beda Gereja adalah larangan, sedangkan perkawinan beda Agama adalah halangan. Keduanya tidak dianjurkan, tetapi dapat diizinkan melalui dispensasi dari Uskup setempat (Ordinaris Wilayah).

Alasan utama dari larangan dan halangan ini bukan diskriminatif, melainkan pastoral dan teologis. Gereja khawatir bahwa perbedaan iman dapat mengganggu kesatuan hidup suami-istri, terutama dalam hal:

  • Penghayatan iman Katolik secara utuh.
  • Pembaptisan dan pendidikan anak secara Katolik.
  • Kesatuan spiritual dalam keluarga sebagai “consorsium totius vitae” (kebersamaan seluruh hidup).

Gereja tidak menutup pintu bagi pasangan yang ingin menikah lintas iman. Namun, untuk menjaga keabsahan dan kelayakan perkawinan, dispensasi dari Uskup diperlukan:

  • Untuk perkawinan beda Gereja, dispensasi dibutuhkan agar perkawinan itu layak (licit) menurut hukum Gereja.
  • Untuk perkawinan beda Agama, dispensasi dibutuhkan agar perkawinan itu sah (valid) menurut hukum Gereja.

Tanpa dispensasi, perkawinan tersebut dianggap tidak sah atau tidak licit, tergantung pada jenisnya. Maka, penting bagi umat untuk berkonsultasi dengan pastor paroki sebelum melangsungkan perkawinan campur.

Pertanyaan yang sering muncul: apakah perkawinan campur adalah sakramen? Jawabannya tergantung:

  • Jika kedua mempelai telah dibaptis secara sah, maka perkawinan mereka adalah sakramen.
  • Jika salah satu belum dibaptis, maka perkawinan tersebut bukan sakramen, tetapi tetap sah secara kodrati jika mendapat dispensasi.

Sakramen perkawinan bukan sekadar seremoni, tetapi perjumpaan nyata dengan rahmat Allah yang menyatukan dua pribadi dalam kasih yang tak terceraikan. Maka, pemahaman yang benar tentang sakramen ini sangat penting bagi umat Katolik.

Sebagai seorang advokat dan aktivis kerasulan awam, saya sering mendampingi pasangan yang bergumul dengan realitas perkawinan campur. Cinta memang tidak mengenal batas, tetapi iman menuntut tanggung jawab. Maka, keputusan untuk menikah lintas iman harus diambil dengan doa, diskresi, dan pendampingan pastoral yang memadai.

Gereja bukan institusi yang menghakimi, tetapi komunitas yang mendampingi. Dispensasi bukan sekadar formalitas hukum, tetapi bentuk kasih dan keadilan pastoral. Dan setiap pasangan dipanggil untuk membangun keluarga yang menjadi “Gereja mini”—tempat kasih Allah diwartakan dan dihidupi.

 

#perkawinancampur #sakramenperkawinan #kerasulanawam #hukumgerejakatolik #stpaulusdepok #imandancinta #dispensasiuskup #gerejayangmendampingi #mewartakankasihallah #katolikaktif

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin