
✍️ Oleh: Darius Leka, S.H., M.H., Advokat dan Aktivis Kerasulan Awam Gereja Katolik, sekaligus Koordinator KOMSOS Paroki Santo Paulus Depok, periode 2010-2013
KOTA DEPOK - Jumat, 15 Juli 2011. Langit Depok menggantung mendung, namun
suasana di Jl. Kamboja 22 justru penuh harap dan sukacita. Di Novisiat
Transitus Depok, sembilan anak muda berdiri tegak di hadapan altar,
mengikrarkan kaul pertama mereka sebagai Saudara Dina Ordo Fratrum Minorum
(OFM). Di tengah derasnya arus budaya konsumerisme dan krisis nilai spiritual,
mereka memilih jalan sunyi: hidup dalam ketaatan, tanpa milik, dan dalam kemurnian.
Upacara Profes Sementara ini bukan sekadar seremoni. Ia adalah deklarasi
iman yang radikal. Di hadapan ratusan umat, para novis menyatakan kesediaan
mereka untuk hidup menurut Anggaran Dasar OFM. Mereka telah menjalani satu
tahun formasi intensif, dan kini melangkah ke tahap baru dalam panggilan hidup
membiara.
Pater Petrus K. Aman, OFM, yang memimpin Misa Kudus, dalam homilinya
mengutip Paus Benediktus XVI: “Di rumah ini, di mana kita hidup, telah hidup
biarawan-biarawan muda yang sama halnya dengan kesibukan lainnya adalah mencari
untuk memahami makna panggilan hidup.” Sebuah refleksi mendalam tentang
pencarian spiritual di tengah dunia yang semakin bising dan dangkal.
Dalam dunia yang menyanjung kenikmatan instan, para novis ini memilih jalan
sebaliknya. Mereka menolak logika pasar yang menjadikan manusia sebagai
komoditas. Mereka menolak menjadi bagian dari generasi yang melayangkan
pandangan ke internet untuk mencari kenikmatan, bukan ke gunung tempat
pertolongan sejati berasal (bdk. Mzm 121).
Pater Aman menegaskan bahwa budaya konsumerisme telah menggerus nilai-nilai
kekal. “Tabernakel tergusur menjadi sinetron, Kitab Suci tergantikan oleh
Facebook,” ujarnya tajam. Namun di tengah kegelapan zaman, sembilan anak muda
ini menjadi lentera kecil yang menyala.
Sebagai seorang aktivis kerasulan awam, saya melihat peristiwa ini bukan
hanya sebagai momen religius, tetapi juga sebagai panggilan sosial. Kerasulan
awam bukan sekadar aktivitas rohani, melainkan keterlibatan konkret dalam
bidang sosial, ekonomi, hukum, dan kemasyarakatan. Para novis ini, dalam
semangat St. Fransiskus Asisi, dipanggil untuk menjadi saksi kasih Allah di tengah
dunia yang terluka.
Kehadiran mereka adalah kritik hidup terhadap ketimpangan sosial,
ketidakadilan hukum, dan kemiskinan struktural. Mereka adalah suara kenabian
yang menyerukan pertobatan, bukan hanya secara pribadi, tetapi juga struktural.
Namun jalan ini tidak mudah. Dalam wawancara dengan Pater Aman, terungkap
bahwa tidak semua novis melanjutkan hingga tahapan imamat. “Ini adalah formasi
panggilan. Ada yang berhenti karena refleksi hidup membuat mereka sadar akan
panggilan lain,” ujarnya.
Di sinilah pentingnya pendampingan. Gereja dan umat harus hadir, bukan hanya
sebagai penonton, tetapi sebagai komunitas yang mendukung dan mendoakan.
Seperti kata Bapak Herman Yoseph Sudarno, orangtua salah satu novis: “Semoga
hanya maut yang memisahkan atas pilihan hidup mereka.”
Sembilan nama yang disebut dalam daftar profes sementara bukan sekadar
daftar administratif. Mereka adalah simbol harapan. Mereka adalah
manusia-manusia baru yang, dalam bahasa Paulus, telah menyalibkan manusia
lamanya dan hidup dalam Kristus.
Dalam dunia yang haus akan keadilan, damai, dan kasih, mereka adalah pewarta
Injil yang hidup. Semoga semangat mereka menular kepada kita semua—umat awam,
biarawan, biarawati, imam, dan seluruh Gereja—untuk terus bertanya seperti
Fransiskus: “Tuhan, apa yang Engkau kehendaki, aku perbuat?”
Berikut ini nama-nama saudara yang menerima profes sementara:
- Sdr. Yulius Fery Kurniawan, OFM
- Sdr. Yohanes Mantul, OFM
- Sdr. Apolonaris Agusti Teok, OFM
- Sdr. Yohanes Trisno Pala, OFM
- Sdr. Anicetus Evaristus
Jebada, OFM
- Sdr. Marselinus Kabut, OFM
- Sdr. Gregorio Febrianto
Wendardins Ranus, OFM
- Sdr. Rupertus Herpin Hormat, OFM
- Sdr. Yulius Soniardus Jehalu,
OFM
#kerasulanawam #kaulpertamaofm #gerejakatolikindonesia #panggilanhidupreligius #mewartakasihallah #jpicofm #fransiskanmuda #transitusdepok #berbicaralahsebabhambamumendengarkan #hidupdalamketaatan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin