
✍️ Oleh: Darius Leka, S.H., M.H., Advokat & Aktivis Kerasulan Awam Gereja Katolik
JAKARTA - Di tengah derasnya arus informasi dan derasnya
gelombang opini publik, kita sering kali lupa bahwa setiap kata yang keluar
dari mulut kita bukanlah sekadar bunyi. Ia adalah benih. Dan setiap benih,
cepat atau lambat, akan bertumbuh dan menghasilkan tuaian.
Sebagai umat yang telah dilahirkan kembali dalam iman kepada
Yesus Kristus, kita tidak hanya menerima keselamatan, tetapi juga otoritas.
Otoritas untuk melepaskan kuasa firman Allah melalui perkataan kita. Yeremia
1:12 menegaskan bahwa Allah sendiri berjaga-jaga atas firman-Nya untuk
melaksanakannya. Firman itu seperti palu yang menghancurkan batu karang (Yer.
23:29), seperti pedang yang menembus jiwa dan roh (Ibr. 4:12), dan seperti api
yang menyucikan.
Namun, apakah kita sungguh menyadari kekuatan ini? Ataukah
kita justru mengabaikannya dengan mengucapkan kata-kata yang sia-sia, negatif,
bahkan merusak?
Dalam keseharian, kita sering mendengar—atau bahkan
mengucapkan sendiri—ungkapan seperti “Sumpah mati,” “Takutnya nanti…,” atau
“Saya mati-matian ingin ke sana.” Sekilas terdengar biasa. Tapi Injil Matius
12:36-37 mengingatkan dengan tegas: setiap kata sia-sia akan
dipertanggungjawabkan pada hari penghakiman. Karena dari ucapan, seseorang
dibenarkan atau dihukum.
Bahasa bukan sekadar alat komunikasi. Ia adalah cermin hati.
“Orang yang baik mengeluarkan hal-hal baik dari perbendaharaannya yang baik,”
kata Yesus (Mat. 12:35). Maka, jika mulut kita penuh keluhan, ketakutan, dan
kemarahan, itu bukan soal kebiasaan—itu soal hati yang perlu disembuhkan.
Sebagai aktivis kerasulan awam, saya menyaksikan langsung
bagaimana kekuatan kata-kata membentuk realitas sosial. Dalam pelayanan hukum
kepada masyarakat kecil, dalam pendampingan ekonomi umat, dalam advokasi
sosial, dan dalam komunitas basis gerejawi, saya melihat: ketika umat mulai
mengubah cara mereka berbicara, mereka mulai mengubah cara mereka hidup.
Kata-kata yang membangun, memberkati, dan menyemangati
menjadi fondasi bagi perubahan sosial. Sebaliknya, kata-kata yang merendahkan,
menyalahkan, dan menakut-nakuti hanya memperpanjang rantai penderitaan.
Prinsip rohani ini sederhana namun dalam: “Apa yang kamu
tabur, itu juga yang akan kamu tuai” (Gal. 6:7). Pikiran, perkataan, dan
tindakan kita adalah benih. Jika kita menabur damai, kita akan menuai damai.
Jika kita menabur pengharapan, kita akan menuai kekuatan. Jika kita menabur
firman, kita akan menuai kehidupan.
Dalam komunitas kerasulan awam, kami mengajarkan pentingnya
membangun budaya tutur yang sehat. Doa Rosario, pembinaan iman, pelatihan
advokasi, hingga kegiatan ekonomi umat—semuanya dimulai dari satu hal:
perkataan yang benar, yang bersumber dari firman Allah.
Firman Allah tidak bekerja dalam hati yang tertutup oleh
keangkuhan. Ia bekerja dalam hati yang terbuka, yang bersedia diubah, dibentuk,
dan dipakai. Maka, mari kita buang segala bentuk kesombongan rohani, dan
izinkan firman itu bekerja dalam hidup kita—melalui kata-kata kita, tindakan
kita, dan pelayanan kita.
Hari ini, mari kita bertanya pada diri sendiri: benih apa
yang sedang saya tabur? Apakah saya sedang menabur kehidupan atau kematian?
Berkat atau kutuk? Harapan atau ketakutan?
Gereja memanggil kita, para rasul awam, untuk menjadi
penabur yang setia di ladang Tuhan. Bukan hanya dengan tangan, tetapi dengan
hati dan mulut yang dipenuhi firman. Sebab tindakan kita adalah bibit. Dan
tuaian akan datang—sesuai dengan apa yang kita tabur.
#tindakanadalahbibit #kerasulanawam #firmanadalahkehidupan #menuaidenganiman #gerejahadiruntukdunia #rasulawamberkarya #perkataanberkuasa #imanyanghidup #kataadalahdoa #menaburdalamkasih
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin