Jumat, 09 September 2011

Tuhan, Ampunilah Aku; Misi Pengampunan di Tengah Dunia yang Terluka

Oleh: RP. Tauchen Hotlan Girsang, OFM. – Pastor Paroki Santo Paulus Depok periode 2010-2013

KOTA DEPOK
- Di tengah hiruk-pikuk kehidupan sosial yang penuh luka, dendam, dan ketidakadilan, satu kata sederhana sering kali terdengar: “Maaf.” Namun, di balik kata itu, tersimpan kompleksitas batin yang tak mudah dijelaskan. Mengapa begitu sulit mengampuni? Mengapa luka hati lebih sering dipelihara daripada disembuhkan?

Pertanyaan-pertanyaan ini bukan sekadar refleksi pribadi, melainkan juga menjadi tantangan kolektif bagi kita, para rasul awam, yang terpanggil untuk menghadirkan wajah Allah yang penuh kasih dan pengampunan di tengah masyarakat.

Dalam praktik hukum dan pelayanan sosial, saya menyaksikan betapa dalamnya luka yang ditinggalkan oleh pengkhianatan, kekerasan, dan ketidakadilan. Banyak orang datang bukan hanya membawa perkara hukum, tetapi juga membawa beban batin yang tak terlihat: rasa sakit karena dikhianati pasangan, difitnah rekan kerja, atau diperlakukan tidak adil oleh sistem.

Kitab Putera Sirakh 27:30–28:7 menegaskan: “Maafkanlah kesalahan sesamamu, niscaya dosamu akan dihapus, jika engkau berdoa.” Namun, realitasnya, manusia lebih mudah menyimpan dendam daripada melepaskan pengampunan. Tradisi “mata ganti mata, gigi ganti gigi” masih hidup dalam berbagai bentuk, bahkan dalam sistem hukum dan budaya kita.

Mengampuni bukan berarti melupakan. Bukan pula berarti menganggap kecil kesalahan yang telah terjadi. Justru sebaliknya, pengampunan sejati dimulai dari pengakuan bahwa luka itu nyata, bahwa kesalahan itu ada, dan bahwa keadilan tetap harus ditegakkan.

Namun, pengampunan adalah keputusan untuk tidak membalas. Ia adalah ketetapan hati untuk tidak menyimpan amarah, dan keberanian untuk menyerahkan luka itu kepada Allah, Sang Penyembuh Sejati. Seperti dikatakan Yesus, kita dipanggil untuk mengampuni “tujuh puluh tujuh kali tujuh kali” (Mat. 18:22)—sebuah simbol pengampunan yang tak terbatas.

Sebagai bagian dari kerasulan awam, kita tidak hanya dipanggil untuk menjadi saksi iman di dalam gereja, tetapi juga di tengah masyarakat. Dalam dunia hukum, ekonomi, dan sosial, kita harus menjadi agen rekonsiliasi. Kita harus berani membangun budaya pengampunan, bukan pembalasan.

Di komunitas-komunitas basis, kami mengadakan pelatihan mediasi konflik, pendampingan korban kekerasan, dan forum rekonsiliasi antarumat. Semua ini adalah bentuk nyata dari pewartaan kasih Allah yang mengampuni. Sebab, pengampunan bukan sekadar ajaran moral, melainkan kekuatan transformatif yang mampu mengubah masyarakat.

Pengampunan bukanlah tombol yang bisa ditekan sekali lalu selesai. Ia adalah proses. Ia membutuhkan waktu, doa, dan keberanian untuk menghadapi luka. Kita perlu momen-momen penyembuhan yang hanya bisa datang dari Allah. Maka, doa “Tuhan, ampunilah aku…” bukan hanya seruan pribadi, tetapi juga permohonan agar kita dimampukan untuk mengampuni orang lain.

Mengampuni adalah jalan menuju kebebasan. Ia membebaskan kita dari belenggu dendam, dari jerat kebencian, dan dari siklus kekerasan yang tak berkesudahan. Dalam dunia yang mudah menghakimi, kita dipanggil untuk menjadi suara belas kasih. Dalam masyarakat yang cepat menghukum, kita dipanggil untuk menjadi wajah pengampunan.

Mari kita mulai dari diri sendiri. Mari kita berani berkata: “Tuhan, ampunilah aku…”—dan dari sana, kita akan dimampukan untuk berkata: “Aku mengampuni engkau.”


#tuhanampunilahaku #kerasulanawam #pengampunanadalahpilihan #gerejahadiruntukdunia #rekonsiliasibatin #imanyangmembebaskan #rasulawamberkarya #kasihtanpasyarat #mengampuniadalahmengasihi #darilukamenujukasih

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin