
Oleh: RP. Tauchen Hotlan Girsang, OFM. – Pastor Paroki Santo Paulus Depok periode 2010-2013
KOTA DEPOK - Di tengah hiruk-pikuk kehidupan sosial yang
penuh luka, dendam, dan ketidakadilan, satu kata sederhana sering kali
terdengar: “Maaf.” Namun, di balik kata itu, tersimpan kompleksitas batin yang
tak mudah dijelaskan. Mengapa begitu sulit mengampuni? Mengapa luka hati lebih
sering dipelihara daripada disembuhkan?
Pertanyaan-pertanyaan ini bukan sekadar refleksi pribadi,
melainkan juga menjadi tantangan kolektif bagi kita, para rasul awam, yang
terpanggil untuk menghadirkan wajah Allah yang penuh kasih dan pengampunan di
tengah masyarakat.
Dalam praktik hukum dan pelayanan sosial, saya menyaksikan
betapa dalamnya luka yang ditinggalkan oleh pengkhianatan, kekerasan, dan
ketidakadilan. Banyak orang datang bukan hanya membawa perkara hukum, tetapi
juga membawa beban batin yang tak terlihat: rasa sakit karena dikhianati
pasangan, difitnah rekan kerja, atau diperlakukan tidak adil oleh sistem.
Kitab Putera Sirakh 27:30–28:7 menegaskan: “Maafkanlah
kesalahan sesamamu, niscaya dosamu akan dihapus, jika engkau berdoa.” Namun, realitasnya,
manusia lebih mudah menyimpan dendam daripada melepaskan pengampunan. Tradisi
“mata ganti mata, gigi ganti gigi” masih hidup dalam berbagai bentuk, bahkan
dalam sistem hukum dan budaya kita.
Mengampuni bukan berarti melupakan. Bukan pula berarti
menganggap kecil kesalahan yang telah terjadi. Justru sebaliknya, pengampunan
sejati dimulai dari pengakuan bahwa luka itu nyata, bahwa kesalahan itu ada,
dan bahwa keadilan tetap harus ditegakkan.
Namun, pengampunan adalah keputusan untuk tidak membalas. Ia
adalah ketetapan hati untuk tidak menyimpan amarah, dan keberanian untuk
menyerahkan luka itu kepada Allah, Sang Penyembuh Sejati. Seperti dikatakan
Yesus, kita dipanggil untuk mengampuni “tujuh puluh tujuh kali tujuh kali” (Mat.
18:22)—sebuah simbol pengampunan yang tak terbatas.
Sebagai bagian dari kerasulan awam, kita tidak hanya
dipanggil untuk menjadi saksi iman di dalam gereja, tetapi juga di tengah
masyarakat. Dalam dunia hukum, ekonomi, dan sosial, kita harus menjadi agen
rekonsiliasi. Kita harus berani membangun budaya pengampunan, bukan pembalasan.
Di komunitas-komunitas basis, kami mengadakan pelatihan
mediasi konflik, pendampingan korban kekerasan, dan forum rekonsiliasi
antarumat. Semua ini adalah bentuk nyata dari pewartaan kasih Allah yang
mengampuni. Sebab, pengampunan bukan sekadar ajaran moral, melainkan kekuatan
transformatif yang mampu mengubah masyarakat.
Pengampunan bukanlah tombol yang bisa ditekan sekali lalu
selesai. Ia adalah proses. Ia membutuhkan waktu, doa, dan keberanian untuk
menghadapi luka. Kita perlu momen-momen penyembuhan yang hanya bisa datang dari
Allah. Maka, doa “Tuhan, ampunilah aku…” bukan hanya seruan pribadi, tetapi
juga permohonan agar kita dimampukan untuk mengampuni orang lain.
Mengampuni adalah jalan menuju kebebasan. Ia membebaskan
kita dari belenggu dendam, dari jerat kebencian, dan dari siklus kekerasan yang
tak berkesudahan. Dalam dunia yang mudah menghakimi, kita dipanggil untuk
menjadi suara belas kasih. Dalam masyarakat yang cepat menghukum, kita
dipanggil untuk menjadi wajah pengampunan.
Mari kita mulai dari diri sendiri. Mari kita berani berkata:
“Tuhan, ampunilah aku…”—dan dari sana, kita akan dimampukan untuk berkata: “Aku
mengampuni engkau.”
#tuhanampunilahaku #kerasulanawam #pengampunanadalahpilihan #gerejahadiruntukdunia #rekonsiliasibatin #imanyangmembebaskan #rasulawamberkarya #kasihtanpasyarat #mengampuniadalahmengasihi #darilukamenujukasih
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin