Tuhan Ampunilah aku.... |
Kita sering bertanya: Mengapa begitu sulit mengampuni? Kita sering mengeluarkan kata maaf. Apalagi saat lebaran seperti sekarang ini banyak sekali orang berkata mohon maaf lahir dan batin. Mudahkah memaafkan orang lain semudah mengatakannya? Berjuta-juta kata maaf dikeluarkan setiap hari, tetapi belum tentu banyak orang merasa dirinya telah memaafkan orang lain. Karenanya, baiklah kita simak apa yang dikatakan oleh Kitab Putera Sirakh (27: 30-28:7): Maafkanlah kesalahan sesamamu, niscaya dosamu akan dihapus, jika engkau berdoa.
Di dalam realita kemanusiaan, manusia sesungguhnya cenderung melakukan pembalasan terhadap sesamanya. Hal ini teruji ketika manusia dikuasai oleh amarah dan dendam kesumat pada sesamanya karena merasa dirinya pernah direndahkan, dilecehkan, dihianati dan disakiti. Manusia membenci dan menganut sikap mau balas dendam. Luka-luka yang ada di dalam hati sulit untuk disembuhkan hanya dengan kata “memaafkan”. Hukum pembalasan ini bahkan dicantumkan dalam berbagai tradisi seperti: mata ganti mata, gigi ganti gigi. Tetapi, Kitab Suci pada hari ini berkata lain. Barangsiapa membalas dendam akan dibalas oleh Tuhan. Ingatlah akan perintah-perintah Tuhan dan jangan mendendami sesama manusia. Kitab Suci mengajak kita untuk lebih memilih pengampunan daripada pembalasan. Seperti perkataan Yesus sendiri, kita semestinya mengampuni tujuh puluh tujuh kali tujuh kali, yang artinya pengampunan tak terbatas. Mengampuni berarti menyadari secara serius dan sungguh-sungguh akan adanya pengalaman pahit dan menyakitkan dalam hidup kita, yang barangkali tidak bisa dilupakan, dan mau disembuhkan oleh tindakan Ilahi. Mengampuni berarti ikut ambil bagian di dalam kasih tanpa syarat yang berasal dari Allah. Maka, mengampuni tidak sama dengan melupakan kesalahan orang lain atau menganggap kecil kesalahan orang lain. Kalau kita mengampuni kesalahan orang lain bukan berarti kesalahan itu tidak ada atau seakan-akan tidak pernah ada. Kesalahan itu nyata ada.
Kesalahan tetap kita pandang sebagai tanggung-jawab orang yang melakukannya. Kesalahan harus tetap dipertanggung-jawabkan. Siapa berbuat dia harus bertanggung-jawab. Sebab, apabila kita berkata kesalahan itu dimaafkan dan dilupakan dan kita anggap sebagai tidak pernah ada, maka sesungguhnya kita sampai pada pengampunan yang bersifat kepura-puraan. Seakan-akan pengampunan itu dapat terjadi dalam suatu keputusan yang terjadi sekali waktu untuk selamanya. Padahal, pengampunan itu memiliki proses dan berjalan di dalam waktu. Kita memerlukan momen-momen penyempuhan yang berasal dari Allah sendiri.
Pengampunan berarti kita tidak mau lagi membalas orang yang bersalah kepada kita. Pengampunan berarti ketetapan hati untuk menyatakan tidak lagi menyimpan sedikitpun amarah untuk balas dendam. Pengampunan adalah sikap membebaskan diri dari keinginan untuk membalas kesalahan orang lain. Jadi, mengapa mengampuni begitu sulit? Karena kita masih mau balas dendam. Oleh sebab itu, marilah kita terus-menerus berdoa kepada Allah, agar oleh kasih dan pengampunan-Nya, kita memperoleh hati yang mau mengampuni dengan tidak membalas orang yang bersalah kepada kita. Tuhan memberkati! Oleh: Rm. Tauchen Hotlan Girsang, OFM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin