Jumat, 09 September 2011

Dengan Kasih Kita Tingkatkan Pelayanan; Refleksi Kerasulan Awam dari Lingkungan St. Laurensius

️ Oleh: Darius Leka, S.H., M.H., Advokat & Aktivis Kerasulan Awam Gereja Katolik

KOTA DEPOK
- Sabtu malam, 13 Agustus 2011, di sebuah sudut hangat di kediaman Bapak Petrus Sudiono, umat Lingkungan St. Laurensius, Paroki St. Paulus Depok, berkumpul dalam semangat syukur dan pelayanan. Bukan sekadar perayaan ulang tahun pelindung lingkungan, St. Laurensius, Diakon dan Martir, tetapi sebuah momentum iman yang menggugah: bagaimana kita, sebagai umat awam, dipanggil untuk melayani dengan kasih yang nyata.

Dalam ibadat sabda yang dipimpin oleh Pater Stanislaus Agus Haryanto, OFM, dan dihadiri lebih dari 150 umat serta masyarakat sekitar, kisah hidup St. Laurensius kembali dihidupkan. Romo Haryo, dalam kotbahnya, menyoroti keberanian sang diakon yang rela dibakar hidup-hidup demi mempertahankan imannya dan membela mereka yang kecil dan sederhana.

“Kristus hidup dalam hati orang-orang kecil,” tegas Romo Haryo. Kalimat ini bukan sekadar retorika, tetapi menjadi dasar spiritualitas kerasulan awam: bahwa pelayanan sejati bukan tentang jabatan, melainkan tentang keberpihakan kepada mereka yang terpinggirkan.

Tema acara malam itu, “Dengan Kasih Kita Tingkatkan Pelayanan,” bukanlah slogan kosong. Ia adalah ajakan konkret agar seluruh umat, bukan hanya pengurus lingkungan, terlibat aktif dalam pelayanan. Sebab pelayanan bukan dibatasi oleh tempat atau waktu, melainkan oleh kesiapan hati untuk hadir bagi sesama.

Romo Tauchen Hotlan Girsang, OFM, dalam sambutannya menegaskan: “Menjadi pelayan satu sama lain adalah anugerah yang harus kita syukuri.” Ia mengajak umat untuk meningkatkan kasih dalam pelayanan, baik di tingkat lingkungan maupun paroki. Sebuah ajakan yang sangat relevan di tengah tantangan zaman yang kian individualistik.

Ketua lingkungan, Bapak FX. Marjono, menyampaikan analogi sederhana namun kuat: “Lingkungan kita akan kokoh seperti sapu lidi jika semua umat bersatu.” Dalam dunia hukum dan sosial yang saya geluti, saya menyaksikan betapa pentingnya solidaritas komunitas. Ketika umat saling menopang, pelayanan menjadi lebih dari sekadar rutinitas—ia menjadi kesaksian iman yang hidup.

Puncak acara malam itu ditandai dengan pemotongan tumpeng. Sebuah simbol syukur, kebersamaan, dan harapan. Namun lebih dari itu, tumpeng malam itu menjadi lambang dari pelayanan yang bertumbuh dari kasih, bukan kewajiban.

Sebagai aktivis kerasulan awam, saya melihat peristiwa seperti ini bukan sekadar seremoni, tetapi sebagai miniatur dari misi Gereja di tengah dunia. Di sinilah iman diterjemahkan menjadi aksi: dalam gotong royong, dalam doa bersama, dalam kepedulian sosial, dan dalam keberanian untuk hadir bagi yang lemah.

Gereja bukan hanya bangunan megah, tetapi komunitas yang hidup. Dan kerasulan awam adalah denyut nadi dari kehidupan itu. Ketika umat awam terlibat aktif, Gereja menjadi terang dan garam bagi masyarakat.

Perayaan ulang tahun St. Laurensius bukan hanya tentang mengenang seorang martir, tetapi tentang meneladani semangatnya. Semangat untuk melayani tanpa pamrih, untuk mencintai tanpa syarat, dan untuk memperjuangkan keadilan bagi yang kecil.

Mari kita jadikan setiap pertemuan lingkungan sebagai ladang kerasulan. Mari kita hadir bukan hanya sebagai umat yang duduk di bangku gereja, tetapi sebagai pelayan kasih di tengah dunia.

 

#kerasulanawam #stlaurensius #pelayanandengankasih #gerejahadiruntukdunia #lingkunganadalahgerejakecil #rasulawamberkarya #imanyanghidup #solidaritasumat #martirkasih #dengankasihkitatingkatkanpelayanan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin