
✍️ Oleh: Darius Leka, S.H., M.H., Advokat & Aktivis Kerasulan Awam Gereja Katolik
KOTA DEPOK - Sabtu malam, 13 Agustus 2011, di sebuah sudut
hangat di kediaman Bapak Petrus Sudiono, umat Lingkungan St. Laurensius, Paroki
St. Paulus Depok, berkumpul dalam semangat syukur dan pelayanan. Bukan sekadar
perayaan ulang tahun pelindung lingkungan, St. Laurensius, Diakon dan Martir,
tetapi sebuah momentum iman yang menggugah: bagaimana kita, sebagai umat awam,
dipanggil untuk melayani dengan kasih yang nyata.
Dalam ibadat sabda yang dipimpin oleh Pater Stanislaus Agus
Haryanto, OFM, dan dihadiri lebih dari 150 umat serta masyarakat sekitar, kisah
hidup St. Laurensius kembali dihidupkan. Romo Haryo, dalam kotbahnya, menyoroti
keberanian sang diakon yang rela dibakar hidup-hidup demi mempertahankan
imannya dan membela mereka yang kecil dan sederhana.
“Kristus hidup dalam hati orang-orang kecil,” tegas Romo
Haryo. Kalimat ini bukan sekadar retorika, tetapi menjadi dasar spiritualitas
kerasulan awam: bahwa pelayanan sejati bukan tentang jabatan, melainkan tentang
keberpihakan kepada mereka yang terpinggirkan.
Tema acara malam itu, “Dengan Kasih Kita Tingkatkan
Pelayanan,” bukanlah slogan kosong. Ia adalah ajakan konkret agar seluruh umat,
bukan hanya pengurus lingkungan, terlibat aktif dalam pelayanan. Sebab
pelayanan bukan dibatasi oleh tempat atau waktu, melainkan oleh kesiapan hati
untuk hadir bagi sesama.
Romo Tauchen Hotlan Girsang, OFM, dalam sambutannya
menegaskan: “Menjadi pelayan satu sama lain adalah anugerah yang harus kita
syukuri.” Ia mengajak umat untuk meningkatkan kasih dalam pelayanan, baik di
tingkat lingkungan maupun paroki. Sebuah ajakan yang sangat relevan di tengah
tantangan zaman yang kian individualistik.
Ketua lingkungan, Bapak FX. Marjono, menyampaikan analogi
sederhana namun kuat: “Lingkungan kita akan kokoh seperti sapu lidi jika semua
umat bersatu.” Dalam dunia hukum dan sosial yang saya geluti, saya menyaksikan
betapa pentingnya solidaritas komunitas. Ketika umat saling menopang, pelayanan
menjadi lebih dari sekadar rutinitas—ia menjadi kesaksian iman yang hidup.
Puncak acara malam itu ditandai dengan pemotongan tumpeng.
Sebuah simbol syukur, kebersamaan, dan harapan. Namun lebih dari itu, tumpeng
malam itu menjadi lambang dari pelayanan yang bertumbuh dari kasih, bukan
kewajiban.
Sebagai aktivis kerasulan awam, saya melihat peristiwa
seperti ini bukan sekadar seremoni, tetapi sebagai miniatur dari misi Gereja di
tengah dunia. Di sinilah iman diterjemahkan menjadi aksi: dalam gotong royong,
dalam doa bersama, dalam kepedulian sosial, dan dalam keberanian untuk hadir
bagi yang lemah.
Gereja bukan hanya bangunan megah, tetapi komunitas yang
hidup. Dan kerasulan awam adalah denyut nadi dari kehidupan itu. Ketika umat
awam terlibat aktif, Gereja menjadi terang dan garam bagi masyarakat.
Perayaan ulang tahun St. Laurensius bukan hanya tentang
mengenang seorang martir, tetapi tentang meneladani semangatnya. Semangat untuk
melayani tanpa pamrih, untuk mencintai tanpa syarat, dan untuk memperjuangkan
keadilan bagi yang kecil.
Mari kita jadikan setiap pertemuan lingkungan sebagai ladang
kerasulan. Mari kita hadir bukan hanya sebagai umat yang duduk di bangku
gereja, tetapi sebagai pelayan kasih di tengah dunia.
#kerasulanawam #stlaurensius
#pelayanandengankasih #gerejahadiruntukdunia #lingkunganadalahgerejakecil #rasulawamberkarya
#imanyanghidup #solidaritasumat #martirkasih
#dengankasihkitatingkatkanpelayanan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin