Jumat, 09 September 2011

62 TAHUN MARDI YUANA: UNTUK SIAPAKAH ?

Tak terasa 62 tahun sudah berlalu yaitu 26 Agustus 1949 – 26 Agustus 2011, Sekolah Mardi Yuana melayani pendidikan masyarakat Kota Depok, kalau kita sadari bahwa sekolah Katolik merupakan kerasulan Gereja di bidang pendidikan. Bahkan harus kita akui bahwa pada awal mulanya sebelum gereja St. Paulus berdiri karya misi, sekolah Katolik merupakan ujung tombak karya kerasulan Gereja, sehingga pada akhirnya di mana ada sekolah Katolik di situ Gereja tumbuh dan berkembang. 

Wajibkah Anak Katolik Bersekolah di Sekolah Katolik?
Dalam Dokumen Konsili Vatikan II tentang Pendidikan Kristen, Gravissimum Educationis (GE) art 8, antara lain dikatakan: “Konsili memperingatkan para orang tua Katolik akan kewajiban mereka untuk mempercayakan anak anaknya bila dan di mana mungkin, kepada sekolah-sekolah Katolik, dan untuk mendukung sekolah-sekolah Katolik sekuat tenaga serta bekerja sama dengannya demi kepentingan putera-puterinya”.

Kalau disederhanakan, Konsili Vatikan II mengingatkan “kewajiban orang tua Katolik untuk menyekolahkan anak anaknya di sekolah Katolik, bila mungkin”. Ketika orang tua Katolik menikah secara Katolik, selalu diingatkan akan kewajiban mereka untuk mendidik anak- anaknya secara Katolik. Hal serupa diulang lagi ketika mereka mempermandikan anak-anaknya. Walaupun “mendidik secara Katolik” tidak identik dengan “menyekolahkan anaknya di sekolah Katolik” karena pendidikan jauh lebih luas dari sekedar sekolah, namun sekolah Katolik mestinya lebih memberikan pendidikan Katolik dari pada sekolah non Katolik. Terutama bagi pendidikan dasar yang akan kita berikan kepada anak-anak kita.

Dengan menyekolahkan anak-anaknya di sekolah Katolik berarti orang Katolik ikut mendukung keberadaan dan perkembangan sekolah Katolik, sebagaimana telah diamanatkan dalam GE art 8. Di sini tersirat pentingnya hubungan dan kerjasama yang baik antara sekolah Katolik dengan umat/ Gereja setempat. Apalagi kalau kita sadari bahwa sekolah Katolik merupakan kerasulan Gereja di bidang pendidikan . Namun demikian apa yang terjadi dengan keberadaan Murid-murid di SD Mardi Yuana Depok. Jika dilihat dari Jumlah murid menurut agamanya yang ada dari tahun 2004/2005 sampai dengan tahun 2011/ 2012.

Dari Tabel statistik dibawah terlihat bahwa murid– murid non katolik menduduki persentase yang lebih banyak dibandingkan dengan murid-murid yang katolik:

Tabel Jumlah Murid SD Mardi Yuana Berdasarkan Agama
Implikasi dan persoalan apa yang kita bisa ambil dari kondisi Statistik diatas: 
1. Keberadaan Sekolah Mardi Yuana sudah diakui oleh masyarakat Kota Depok.
Sekolah Katolik merupakan ujung tombak karya kerasulan Gereja. Di mana ada sekolah Katolik di situ Gereja tumbuh dan berkembang. Dengan kata lain Sekolah Mardi Yuana memberi sumbangan yang signifikan kepada tumbuh dan berkembangnya Gereja St. Paulus Depok. Dengan demikian Gereja perlu terlibat aktif dalam penyelenggaraan dan pengelolaan sekolah-sekolah Katolik. Dalam hal ini kita diingatkan akan pentingnya hubungan baik dan kerjasama yang baik antara sekolah Katolik dengan umat/ Gereja setempat.
  
2. Keberadaan Sekolah Mardi Yuana mulai di tinggalkan oleh Umatnya sendiri. 
Mengapa banyak orang katolik yang tidak menyekolahkan anaknya di sekolah katolik? Ada banyak sebab. Beberapa sebab yang sering terjadi adalah:
  • Dari Tabel statistik di atas terlihat pada tahun 2004/ 2005 Jumlah Murid Katolik hanya 40% dibandingkan jumlah murid yang non Katolik (60%). Keadaan ini memperlihatkan pada tahun ini Kota Depok mulai semarak bertumbuhnya sekolah-sekolah nasional plus ataupun sekolah bertaraf Internasional. Kondisi ini yang menyebabkan umat katolik yang memiliki Status Sosial Ekonomi menengah keatas mulai melirik dan menyekolahkan anaknya di sekolah tersebut, sedangkan bagi umat yang memiliki Status Sosial Ekonomi menengah kebawah tetap merasa sekolah Katolik terlalu mahal bagi keuangan mereka. Akhirnya mereka menyekolahkan anaknya di Sekolah Negeri. Perlahan dan pasti kondisi mutu sekolah yang sering dipertanyakan oleh para orang tua murid, dan sering dibandingkan dengan mutu sekolah dari sekolah negeri atau sekolah non Katolik.menjadi permasalahan tersendiri. Bila hal itu benar, bukankah tugas kita semua termasuk para orang tua Katolik untuk ikut membantu mengembangkan sekolah Katolik agar semakin bermutu sesuai harapan para orang tua? Bukan malah meninggalkannya. Dan tentu saja diperlukan juga keterbukaan Yayasan pengelola untuk mau bekerjasama hingga harapan para orang Tua dapat diwujudkan. Paling menyedihkan kalau ada orang Katolik yang tidak menyekolahkan anaknya di sekolah Katolik karena ada permusuhan pribadi antara orang tua dan guru di sekolah Katolik. Semoga kerendahan hati dari semua pihak dapat meniadakan permasalahan ini.
  • Ada orangtua yang berpandangan bahwa dengan menyekolahkan anaknya di sekolah negeri atau sekolah non Katolik, anak akan terbiasa bergaul dan berinteraksi dalam kemajemukan masyarakat. Alasan ini ada betulnya tetapi juga ada tidakbetulnya. Sebab banyak sekolah Katolik yang siswanya juga heterogen. Seandainya di sekolah lebih banyak bergaul dengan anak-anak Katolik toh dalam pertemanan di masyarakat juga heterogen. Ada juga orang tua yang punya prinsip pada tingkat SD dan SMP, anak disekolahkan di sekolah Katolik tetapi setelah masuk SMA/ SLTA disekolahkan di sekolah negeri atau non Katolik. Alasannya dalam jenjang pendidikan dasar (SD dan SMP) anak perlu mendapatkan pendidikan dasar (termasuk pendidikan iman) yang kokoh dan baik. Setelah mempunyai dasar yang kokoh dan baik, mereka dibiarkan masuk sekolah negeri/ non Katolik yang heterogen seperti yang ada di masyarakat. Namun kenyataan sering menunjukkan bahwa walau SD dan SMP bahkan sampai SMA di sekolah Katolik, tetapi setelah masuk Perguruan Tinggi non Katolik, hanyut ikut arus yang lain. Dengan kata lain sungguhkah sekolah Katolik memberikan dasar-dasar iman yang kokoh dan baik? Dalam situasi seperti ini bisa terjadi sekolah Katolik menyalahkan orang tua dan Gereja setempat yang kurang memberikan pendidikan dan pembinaan iman secara baik. Sebaliknya orang tua atau Gereja setempat bisa menyalahkan sekolah Katolik yang tidak memberikan pendidikan iman yang baik. Sebetulnya dari pada saling menyalahkan lebih baik duduk bersama untuk bekerjasama secara baik demi pendidikan iman anak-anak Katolik.
Dengan demikian apa yang bisa kita simpulkan dari permasalahan di atas! Seperti ditegaskan oleh Konsili Vatikan II dalam Gravissimum Educationis art 8: “Para orang tua berkewajiban untuk menyekolahkan anak-anaknya di sekolah Katolik, bila mungkin”. Tentu saja sekolah Katolik dan/ atau Gereja tidak boleh hanya menuntut agar para orang tua menyekolahkan anaknya di sekolah Katolik,tetapi juga perlu memberikan jaminan mutu pendidikan yang baik dan biaya yang sesuai atau terjangkau oleh kebanyakan orang tua Katolik. Sebaliknya para orang tua Katolik, tidak boleh hanya serba menuntut agar sekolah Katolik bermutu dan terjangkau biayanya, tetapi tidak mau memberikan sumbangan nyata bagi peningkatan mutu pendidikan di sekolah Katolik.

Dengan demikian perlu ada kerjasama yang baik antara: sekolah Katolik; Gereja setempat dan para orang tua. Selamat Ulang Tahun yang ke 62 MARDI YUANA Semoga tetap menjadi Ujung Tombak bagi Karya Kerasulan Gereja Kita.(Christina Andys

Sumber :
1). “Wajibkah Anak Katolik Bersekolah di Sekolah Katolik?” dari Mirifica.net, ditulis oleh A.Tri Hartono Pr (Anggota Pengurus Komisi Pendidikan KWI)
2). Statistik Jumlah Murid SD Mardiyuana Depok 2004/2005 -2011/2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin