
✍️ Oleh: Darius Leka, S.H., M.H., Advokat & Aktivis Kerasulan Awam Gereja Katolik
KOTA DEPOK - Gaung kemerdekaan Republik Indonesia ke-66 pada
17 Agustus 2011 terasa berbeda. Di tengah semangat nasionalisme yang mulai
meredup di ruang-ruang publik, sebuah cahaya kecil justru menyala dari
komunitas sederhana: Lingkungan Bonaventura. Di sinilah, di tengah misa yang sepi
umat pada pagi hari, anak-anak BIA Bonaventura justru tampil penuh semangat,
menyanyikan lagu-lagu pujian dalam koor Misa kedua. Suara mereka bukan hanya
mengisi ruang liturgi, tetapi juga menyentuh hati—sebuah pengingat bahwa
kemerdekaan sejati dimulai dari hati yang bersyukur dan penuh kasih.
Usai misa, anak-anak berkumpul di kediaman keluarga Bapak
Purnomo. Tanpa rencana formal, pesta kemerdekaan pun digelar. Namun justru
dalam kesederhanaan itulah, makna kemerdekaan menjadi nyata. Lomba makan
kerupuk, meniup balon, membawa kelereng dengan sendok, hingga mengambil koin
dalam buah pepaya—semuanya menjadi ruang ekspresi sukacita dan kebersamaan.
Kehadiran Romo Stanislaus Agus Haryanto, OFM, menambah
semarak suasana. Ia tidak hanya hadir sebagai imam, tetapi juga sebagai sahabat
dan ayah rohani yang menyatu dengan umatnya. Dalam kehadirannya, anak-anak
merasakan bahwa Gereja bukan hanya tempat ibadah, tetapi juga rumah yang penuh
cinta.
Sebagai aktivis kerasulan awam, saya melihat bahwa kegiatan
seperti ini bukan sekadar hiburan. Ia adalah bentuk nyata dari pewartaan iman
yang membumi. Anak-anak diajak untuk mencintai tanah air, menghargai sesama,
dan bersyukur atas anugerah kehidupan. Dalam setiap tawa dan peluh mereka,
tersimpan benih-benih nilai Katolik: solidaritas, sukacita, dan pelayanan.
Kegiatan ini juga menjadi ruang pembelajaran sosial.
Anak-anak belajar tentang sportivitas, kerja sama, dan saling menghargai.
Mereka tidak hanya menjadi peserta lomba, tetapi juga pewarta kecil yang
membawa terang Kristus melalui keceriaan mereka.
Kemerdekaan bukan hanya soal bebas dari penjajahan fisik.
Dalam terang iman Katolik, kemerdekaan adalah kebebasan dari dosa, dari
egoisme, dari ketidakpedulian. Maka, ketika anak-anak Bonaventura menyanyi dan
berlomba dengan gembira, mereka sedang merayakan kemerdekaan yang lebih dalam:
kebebasan untuk mencintai, untuk berbagi, dan untuk menjadi berkat bagi sesama.
Kegiatan ini juga menjadi cermin bagi kita, umat dewasa. Di
tengah kesibukan dan kelelahan hidup, masihkah kita memiliki semangat seperti
anak-anak itu? Masihkah kita merayakan kemerdekaan dengan hati yang bersyukur
dan terbuka?
Perayaan sederhana ini ditutup dengan makan bersama dan
pembagian hadiah. Namun sesungguhnya, hadiah terbesar hari itu bukanlah piala
atau bingkisan. Hadiah terbesar adalah pengalaman iman yang hidup—bahwa dalam
kebersamaan, dalam pelayanan, dan dalam sukacita anak-anak, kita menemukan
wajah Allah yang penuh kasih.
Dari Bonaventura, kita belajar bahwa kemerdekaan sejati
bukan hanya milik para pejuang di medan perang, tetapi juga milik setiap orang
yang berani mencintai dan melayani. Dan itulah misi kerasulan awam: mewartakan
kasih Allah dalam setiap aspek kehidupan, sekecil apa pun itu.
#merdekadalamiman #kerasulanawam
#biabonaventura #gerejahadiruntukdunia #anakanakpewartakasih #rasulawamberkarya
#kasihyangmembebaskan #imanyanghidup #bersamadalamsukacita
#kemerdekaanadalahanugerah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin