![]() |
| Oleh: RP. Tauchen Hotlan Girsang, OFM. – Pastor Paroki Santo Paulus Depok periode 2010-2013 |
KOTA DEPOK - Dalam Injil Matius 21:33–41, Yesus menyampaikan sebuah perumpamaan yang menggugah: kisah para penggarap kebun anggur. Sebuah narasi yang pada permukaannya tampak sederhana, namun menyimpan kedalaman teologis dan sosial yang relevan hingga hari ini. Perumpamaan ini bukan sekadar ilustrasi agraria, melainkan cermin bagi kita semua—umat Katolik, para pelayan, dan rasul awam—yang diberi kepercayaan untuk mengelola anugerah Allah di dunia ini.
Yesus, dalam perumpamaan ini, berbicara sebagai seseorang
yang memahami seluk-beluk kehidupan petani anggur. Ia tahu tentang sistem sewa-menyewa,
musim panen, dan kewajiban moral para penggarap terhadap pemilik kebun. Para
pendengar-Nya, yang sebagian besar berasal dari masyarakat agraris, tentu
memahami konteks ini.
Namun, yang lebih penting adalah pesan di balik kisah itu:
para penggarap yang diberi kepercayaan justru mengkhianati sang pemilik. Mereka
menolak utusan-utusan pemilik kebun, bahkan membunuh anaknya sendiri. Ini
adalah alegori yang tajam terhadap sikap para pemuka agama Yahudi yang menolak
para nabi dan akhirnya menyalibkan Yesus, Sang Putra Allah.
Perumpamaan ini menyentuh akar dari banyak persoalan
manusia: kesombongan. Ketika manusia lupa bahwa ia hanyalah pengelola, bukan
pemilik, maka lahirlah dosa penolakan terhadap rahmat Allah. Kita mulai merasa
bahwa hidup, talenta, kekuasaan, bahkan sesama manusia adalah milik kita
sepenuhnya. Kita lupa bahwa semua itu adalah titipan.
Sebagai seorang advokat dan pelayan di bidang kerasulan
awam, saya menyaksikan bagaimana banyak orang—termasuk umat beriman—terjebak
dalam ilusi kepemilikan. Mereka memperlakukan jabatan, kekayaan, bahkan
pelayanan sebagai milik pribadi, bukan sebagai amanah. Padahal, semua itu
adalah kebun anggur yang dipercayakan Tuhan untuk digarap demi kemuliaan-Nya dan
kesejahteraan sesama.
Dalam konteks kerasulan awam, kita semua adalah penggarap
kebun anggur. Kita diberi tanggung jawab untuk mengelola bidang sosial,
ekonomi, hukum, dan kemasyarakatan dengan semangat Injil. Kita dipanggil untuk
menjadi terang dan garam dunia, bukan untuk mencari keuntungan pribadi, tetapi
untuk menghadirkan Kerajaan Allah di tengah masyarakat.
Namun, apakah kita sungguh menyadari bahwa pelayanan kita
adalah bagian dari kebun anggur Tuhan? Apakah kita masih menyimpan kesombongan,
merasa bahwa keberhasilan adalah hasil kerja keras kita semata? Ataukah kita
sudah belajar untuk bersujud dan bersyukur, menyadari bahwa semua berasal dari
Dia dan untuk Dia?
Perumpamaan ini mengajak kita untuk bertobat. Untuk kembali
menjadi penggarap yang setia, yang tahu diri, yang bersyukur, dan yang tidak
menyalahgunakan kepercayaan. Kita diajak untuk mengelola hidup, keluarga,
pekerjaan, dan pelayanan dengan penuh tanggung jawab dan kerendahan hati.
Allah, sang pemilik kebun, adalah pribadi yang sabar dan
penuh kasih. Ia tidak serta-merta menghukum, tetapi memberi kesempatan demi
kesempatan. Namun, kesempatan itu tidak boleh disia-siakan. Sebab, seperti
dalam perumpamaan, akan tiba saatnya pemilik kebun mengambil kembali miliknya
dan memberikannya kepada penggarap lain yang lebih setia.
Mari kita bertanya pada diri sendiri: apa yang telah Tuhan
percayakan kepada kita? Apakah kita sudah mengelolanya dengan baik? Ataukah
kita mulai merasa sebagai pemilik dan melupakan Sang Pemilik Sejati?
Kiranya kita menjadi para penggarap kebun anggur yang
baru—yang setia, rendah hati, dan penuh syukur. Sebab di sanalah, dalam
kesadaran akan kasih Allah, kita menemukan warta keselamatan dan hadirnya
Kerajaan Surga di tengah dunia.
#penggarapkebunanggur
#kerasulanawam #gerejahadiruntukdunia #rasulawamberkarya #imanyanghidup
#amanahilahi #sujuddansyukur #kerajaanallahdidunia #refleksiinjil
#pelayanandengankasih

Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin