Senin, 26 September 2011

BERIMAN DAN PILIHAN

Oleh: Sdr. Ophin Agut, OFM

Iman akan Allah Tritunggal, Bapa, Putera, dan Roh Kudus, telah dimulai semenjak kita menerima rahmat baptisan. Bagi yang dibaptis bayi, orang tua tentu menyadari dan menghayati ini sejak awal demi pendidikan sang buah hati di kemudian hari; demikian pula bagi yang baptis dewasa. Sejak saat itu kita mulai menjalani religiositas sebagai seorang Katolik. Sadar atau tidak, beriman itu tidak lain adalah sebuah pilihan. Kita memilih sebuah pandangan hidup tertentu dan menggunakan itu sebagai cara kita berada di tengah masyarakat.

Memilih berarti mengatakan YA untuk sesuatu yang diyakini sebagai yang benar dan TIDAK untuk sesuatu yang tidak sesuai dengan kita. YA berarti kita meyakini bahwa yang benar atau pandangan hidup itu akan berguna bagi keselamatan diri kita. Kiranya itulah yang terjadi dengan dua saudara dalam kisah Injil Minggu ini (Mat. 21:28-32). Keduanya memilih untuk mengatakan YA (saudara yang pertama) dan TIDAK (saudara yang terakhir).

Namun, soalnya bukan sekadar mengatakan YA atau TIDAK. Keduanya telah mengimani suatu hal yang sama, yakni pada “Seseorang” yang menyuruh mereka bekerja. Mereka dituntut untuk melaksanakan sesuatu yang menjadi konsekuensi iman itu. Ada sebuah pilihan yang adalah tantangan bagi mereka. Mereka dituntut untuk berani menerima tantangan itu. Apakah mereka dapat setia pada iman mereka atau hanya menjadi pecundang.

Keduanya menggambarkan dua tipe orang beriman dewasa ini. Pertama, orang beriman yang merasa matang dalam iman tetapi takut. Orang beriman seperti ini biasanya merasa diri ‘super’ tetapi ketika diberi tantangan baru atas imannya, ia menjadi takut dan tidak berani untuk berbuat. Ia merasa terganggu bila ada sesuatu yang baru mempengaruhi dirinya. Ia tidak berani mengambil nilai dari setiap tantangan dalam imannya. Orang-orang seperti ini hanya akan menjadi pecundang. Pertanyaan baginya adalah apakah ia benar-benar beriman? Dalam bahasa Nabi Yehezkiel, ia berbalik dari kebenarannya dan melakukan kecurangan (Yeh.18:26).

Kedua, orang beriman tidak tahu sejauh mana imannya tetapi berani menerima tantangan. Di hadapan orang beriman lainnya, ia biasa merasa rendah diri. Ketika ada tantangan baru, ia berani mengambilnya sebagai bagian dari penghayatan imannya sendiri. Tanpa disadarinya, imannya justru bertumbuh dalam setiap tantangan hidupnya. Dalam hidup menggereja, mereka inilah yang akan membantu perkembangan iman umat lainnya karena mendasarkan imannya pada pertobatan. Dalam bahasa Yehezkiel, mereka adalah orang-orang yang bertobat dan insaf (Yeh 18:27-28).

Dalam kemampuan memilih dan menjalani tantangan hidup beriman, tidak ada contoh lain selain dari Yesus dan keseluruhan peristiwa hidupNya. Paulus dengan lugas mengungkapkan bahwa hendaknya kita bersikap seperti Kristus. Semenjak peristiwa Inkarnasi sampai pada sengsara dan wafatnya, tidak ada kata lain yang dapat kita ungkapkan selain bahwa Ia begitu setia pada kehendak Allah Bapa bagi diriNya demi keselamatan manusia. “Ia tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diriNya dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia.” (Filipi 2:6-11).

Kiranya, kita juga berani untuk memilih dan mengatakan YA untuk setiap kebaikan dalam tantangan hidup beriman yang kita hadapi. Kita masih di sini untuk setia, bukan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin