Gereja Katolik memandang program KB dapat diterima.
Namun, cara melaksanakannya harus diserahkan sepenuhnya kepada tanggung
jawab suami-istri, dengan mengindahkan kesejahteraan keluarga.
Geraja Katolik menyatakan bahwa KB pertama-tama harus dipahami sebagai
sikap tanggung jawab. Soal metode, termasuk cara pelaksanaan tanggung
jawab itu, umat Katolik harus senantiasa bersikap dan berperilaku penuh
tanggung jawab. Pelaksanaan pengaturan kelahiran harus selalu
memperhatikan harkat dan martabat manusia serta mengindahkan nilai-nilai
agama dan social budaya yang berlaku dalam masyarakat.
Pandangan
Gereja Katolik tentang KB itu disampaikan Romo Jeremias Balapito Duan
MSF, sekretaris eksekutif Komisi Keluarga Konferensi Waligereja
Indonesia (KWI), dalam buku berjudul "Membagun Keluarga Sejahtera dan
Bertanggung Jawab Berdasarkan Perspektif Agama Katolik". Buku ini
diterbitkan Komisi Keluarga KWI bersama BKKBN dan UNFPA (Dana
Kependudukan Dunia).
Sejauh ini Gereja Katolik menganjurkan umat
melaksanakan program KB dengan cara pantang berkala (tidak melakukan
persetubuhan saat masa subur). "Para uskup Indonesia mendukung ajaran
Paus dengan memberi anjuran hendaknya metode alamiah (KB Alamiah-pantang
berkala) beserta segala perbaikannya lebih diperkenalkan dan
dianjurkan," ujar Romo Jeremias mengutip pedoman Pastoral keluarga
tahun 1975 No.26.
Paus Paulus VI pernah menyatakan, ajaran gereja
âberdasarkan kaitan tak terceraikan yang dikehendaki oleh Allah dan
karena itu tidak dapat dibatalkan oleh manusia atas prakarsanya sendiri
antara kedua makna tindakan perkawinan, yakni arti "pemersatu" dan arti "prokerasi".
Namun, manakala umat Katolik tidak dapat melaksanakan
cara tersebut (KB alamiah), padahal mereka juga ingin mengatur
kelahiran, apa yang harus mereka lakukan? Menurut Romo Jeremias, Gereja
Katolik menyadari sepenuhnya berbagai kesulitan yang dihadapi keluarga
Katolik dalam usaha mengatur kelahiran.
Dalam keadaan demikian,
mereka bisa bertindak secara tanggung jawab dan tidak perlu merasa
berdosa apabila menggunakan cara lain. Asal, cara tersebut tidak
merendahkan martabat suami atau istri, tidak berlawanan dengan hidup
manusia (pengguguran dan pemandulan), dan dapat dipertanggungjawabkan
secara medis, tambah Romo Jeremias.
Dalam Ensiklik dijelaskan,
untuk mengatur keluarga, kelahiran, jumlah dan waktu kelahiran anak,
gereja menyerahkan tanggung jawab sepenuhnya kepada suami-istri.
Letak kesulitan
Memang, Gereja Katolik membedakan dengan jelas antara prinsip tanggung
jawab dalam hal prokreasi dan metode KB sebagai cara pelaksanaan
tanggung jawab tersebut. Pimpinan Gereja Katolik membenarkan prinsip
tanggung jawab tersebut. Namun, dalam pelaksanaannya membedakan antara
metode KB Alamiah yang dibenarkan dan metode kontraseptif yang tidak
dibenarkan.
"Dengan jujur harus disimpulkan, disinilah letak
kesulitan bagi kalangan Katolik atau orang Katolik yang berkehendak baik
dan bersedia mengindahkan ajaran gereja untuk memahami posisi gereja",
ujar Romo Jeremias.
Namun begitu, dalam Ensiklik (No.10)
dinyatakan, bahwa orang tua dapat mengambil keputusan yang telah
dipertimbangkan secara tulus ikhlas mau memelihara keluarga yang besar;
atau juga karena alasan-alasan yang berat, tetapi dengan tetap penuh
hormat menaati hukum moral, mau menghindarkan kelahiran baru untuk
sementara waktu atau waktu yang tak ditentukan lamanya.
Dari sabda
Ensiklik maupun Konsili jelas umat Katolik juga mempunyai tugas mengatur
kelahiran untuk membangun kesejahteraan keluarga dan demi kepentingan
negara. Namun, bukan orang lain atau negara yang boleh menentukan jumlah
anak. Cara-cara mengatur kelahiran harus diputuskan oleh suami-istri
sendiri.
___________________________________
(Darius Leka, SH/Agung/Ikap/Sumber: www.gorontalo.bkkbn.go.id)/Foto ilustrasi: Katoliksitas Indonesia)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin