Selasa, 28 Februari 2017

Keluarga, Kasih, dan Tanggung Jawab; Menimbang Program KB dalam Terang Iman Katolik

BOGOR - Dalam senyapnya ruang-ruang keluarga Katolik, sering kali muncul pertanyaan yang menggugah nurani: “Apakah saya berdosa jika mengikuti program Keluarga Berencana (KB)?” Pertanyaan ini bukan sekadar teknis medis, melainkan menyentuh jantung spiritualitas Katolik: bagaimana kita memahami cinta, kehidupan, dan tanggung jawab dalam terang iman?

Gereja Katolik tidak menolak program KB. Justru sebaliknya, Gereja memandang pengaturan kelahiran sebagai bagian dari tanggung jawab moral suami-istri. Namun, cara pelaksanaannya tidak bisa dilepaskan dari prinsip-prinsip iman dan martabat manusia. Dalam buku “Membangun Keluarga Sejahtera dan Bertanggung Jawab Berdasarkan Perspektif Agama Katolik” yang diterbitkan oleh Komisi Keluarga KWI bersama BKKBN dan UNFPA, Romo Jeremias Balapito Duan MSF menegaskan bahwa KB harus dipahami sebagai sikap tanggung jawab, bukan sekadar strategi pengendalian populasi.

“Pelaksanaan pengaturan kelahiran harus selalu memperhatikan harkat dan martabat manusia serta mengindahkan nilai-nilai agama dan sosial budaya,” tulis Romo Jeremias.

Sejak lama, Gereja Katolik menganjurkan metode pantang berkala—KB Alamiah—sebagai cara yang selaras dengan hukum moral. Metode ini mengajak pasangan untuk mengenali masa subur dan tidak melakukan hubungan suami-istri pada masa tersebut jika ingin menunda kehamilan. Para Uskup Indonesia, dalam Pedoman Pastoral Keluarga 1975 No. 26, menegaskan pentingnya memperkenalkan dan mendorong metode ini secara lebih luas.

Paus Paulus VI dalam ensiklik Humanae Vitae menulis bahwa tindakan perkawinan memiliki dua makna yang tak terpisahkan: pemersatu dan prokreatif. Memisahkan keduanya, apalagi dengan cara yang bertentangan dengan kodrat manusia, berarti menolak rancangan Allah.

Namun, Gereja juga tidak menutup mata terhadap realitas. Banyak keluarga Katolik menghadapi tantangan ekonomi, kesehatan, dan sosial yang membuat pelaksanaan KB Alamiah menjadi sulit. Dalam situasi seperti ini, Gereja mengajak umat untuk tetap bertindak secara bertanggung jawab.

“Mereka bisa bertindak secara tanggung jawab dan tidak perlu merasa berdosa apabila menggunakan cara lain, asal tidak merendahkan martabat suami atau istri, tidak berlawanan dengan hidup manusia, dan dapat dipertanggungjawabkan secara medis,” jelas Romo Jeremias.

Dengan kata lain, Gereja membuka ruang diskresi moral bagi pasangan suami-istri untuk mengambil keputusan terbaik bagi keluarga mereka, selama keputusan itu tidak melanggar prinsip dasar iman Katolik: penghormatan terhadap kehidupan dan martabat manusia.

Dalam Ensiklik Humanae Vitae Nomor 10, ditegaskan bahwa keputusan untuk memiliki anak, jumlahnya, dan waktunya adalah hak dan tanggung jawab suami-istri. Negara atau pihak luar tidak berhak mengintervensi keputusan ini. Namun, keputusan tersebut harus diambil dengan penuh kesadaran, doa, dan pertimbangan moral.

Gereja membedakan dengan jelas antara prinsip tanggung jawab prokreasi dan metode pelaksanaannya. KB Alamiah dibenarkan karena menghormati kodrat manusia dan keterlibatan Allah dalam penciptaan. Sementara metode kontraseptif yang bersifat menolak kehidupan, seperti sterilisasi atau aborsi, tetap ditolak karena bertentangan dengan hukum moral.

Sebagai aktivis kerasulan awam, saya menyaksikan langsung bagaimana keluarga-keluarga Katolik berjuang menjaga keseimbangan antara iman dan realitas. Dalam pelayanan sosial, advokasi hukum, dan pendampingan pastoral, kami melihat bahwa keluarga yang hidup dalam terang ajaran Gereja mampu menjadi saksi kasih Allah di tengah masyarakat.

Keluarga bukan hanya unit sosial, tetapi juga “Gereja mini” tempat nilai-nilai Injil dihidupi dan diwariskan. Maka, pengaturan kelahiran bukan sekadar soal jumlah anak, tetapi tentang bagaimana keluarga menjadi tempat subur bagi cinta, iman, dan harapan.

Mari kita renungkan: Apakah keputusan kita dalam mengatur keluarga sudah mencerminkan kasih dan tanggung jawab sebagai murid Kristus?

Dominus illuminatio mea — Tuhanlah terangku.

️ Oleh: Darius Leka, S.H., M.H., Advokat & Aktivis Kerasulan Awam Gereja Katolik

 

#keluargakatolik #kbaalami #tanggungjawabiman #kerasulanawam #humanaevitae #cintadankehidupan #martabatmanusia #katoliksetia #imandalamtindakan #kbdanimankatolik  #shdariusleka #reels #foryou #fyp #jangkauanluas @semuaorang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin