Selasa, 28 Februari 2017

Rabu Abu: Sejarah dan Makna

Setahun yang lalu seorang teman dengan maksud baik memberitahukan kalau di dahiku ada kotoran. "Ooo..itu bukan kotoran tetapi abu dari gereja sebagai peringatan bahwa manusia berasal dari debu dan akan kembali menjadi debu," jawabku (bdk Kej 3: 19). Dia bertanya lagi lagi, "Sejak kapan kebiasaan ini ada di Gereja Katolik dan apakah ada di Kitab Suci?" Akupun gelagapan menjawabnya.

Romo Sanders dari Our Lady of Hope Parish di Potomac Falls yang juga seorang professor kateketik dan teologi Universitas Notre Dame menjelaskan sebagai berikut: Penggunaan abu dalam liturgi berasal dari jaman Perjanjian Lama. Abu melambangkan perkabungan, ketidakabadian, dan sesal/ tobat. Mordekhai mengenakan kain kabung dan abu ketika ia mendengar perintah Raja berniat membunuh semua orang Yahudi (Est 4: 1). Ayub menyatakan sesalnya dengan duduk dalam debu dan abu (Ayub 42: 6). Lalu aku mengarahkan mukaku kepada Tuhan Allah untuk berdoa dan bermohon, sambil berpuasa dan mengenakan kain kabung serta abu (Dan 9: 3). Sesudah Yunus menyerukan agar orang berbalik kepada Tuhan dan bertobat, kota Niniwe memaklumkan puasa dan mengenakan kain kabung, dan raja menyelubungi diri dengan kain kabung lalu duduk di atas abu (Yun 3: 5-6). Yesus sendiri juga menyinggung soal penggunaan abu, "Seandainya mukjizat-mukjizat yang telah terjadi di tengah-tengahmu terjadi di Tirus dan Sidon, maka sudah lama orang-orang di situ bertobat dengan memakai pakaian kabung dan abu." (Mat 11: 21, Edisi Pastoral Katolik).

Gereja Perdana mewariskan penggunaan abu untuk alasan simbolik yang sama. Dalam bukunya "De Poenitentia", Tertulianus (sekitar 160-220) menulis bahwa pendosa yang bertobat haruslah "hidup tanpa bersenang-senang dengan mengenakan kain kabung dan abu." Eusebius (260-340), sejarahwan Gereja perdana menceritakan dalam bukunya "Sejarah Gereja" bagaimana seorang murtad bernama Natalis datang kepada Paus Zephyrinus dengan mengenakan kain kabung dan abu untuk memohon pengampunan. Juga bagi umat yang diwajibkan untuk menyatakan tobat di hadapan umum, imam akan mengenakan abu ke kepala mereka setelah pengakuan.

Akhirnya, abu dipergunakan untuk menandai permulaan Masa Prapaskah, yaitu masa persiapan selama 40 hari (tidak termasuk hari Minggu) menyambut Paskah. Ritual perayaan "Rabu Abu" ditemukan dalam edisi awal Gregorian Sacramentary, diterbitkan sekitar abad kedelapan. Sekitar tahun 1000, seorang imam Anglo-Saxon bernama Aelfric menyampaikan khotbahnya: "Kita membaca dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, bahwa mereka yang menyesali dosa-dosanya menaburi diri dengan abu serta membalut tubuh mereka dengan kain kabung. Sekarang, marilah kita melakukannya sedikit pada awal Masa Prapaskah dengan menaburkan abu di kepala sebagai tanda bahwa kita wajib menyesali dosa-dosa kita." Setidak-tidaknya sejak abad pertengahan, Gereja telah mempergunakan abu untuk menandai permulaan masa tobat Prapaskah, kita ingat akan ketidakabadian kita dan menyesali dosa-dosa kita.

Dalam perayaan Rabu Abu, digunakan abu yang berasal dari daun-daun palma yang telah diberkati pada tahun sebelumnya. Imam memberkati abu dan mengenakannya pada dahi umat dengan membuat tanda salib. Patutlah diingat makna abu yang telah diterima: Menyesali dosa dan melakukan silih bagi dosa-dosa, mengarahkan hati kepada Kristus, yang sengsara, wafat dan bangkit demi keselamatan manusia. Memperbaharui janji-janji yang diucapkan dalam pembaptisan, yaitu ketika manusia mati atas hidup yang lama dan bangkit kembali dalam hidup baru bersama Kristus. Dan terakhir, menyadari bahwa kerajaan dunia ini segera berlalu, manusia perlu berjuang untuk hidup dalam kerajaan Allah sekarang ini serta merindukan kepenuhannya di surga kelak. Manusia patut mempersilakan Roh Kudus untuk menggerakkan karya dan amal belas kasihan terhadap sesama, kepada mereka yang berkekurangan, menjadi bagian dari silih, tobat, dan pembaharuan hidup.

Makna Abu Menurut Kitab Suci
Sebelum kita menerima Abu di dahi kita besok di Hari Rabu Abu, ada baiknya kita mengerti makna dibalik simbol ABU dalam tradisi Kitab Suci.

Kata ABU beberapa kali muncul bersamaan dengan kata DEBU. Dua kata ini berasal dari akar kata yang sama. APAR = Debu, IPER = Abu.

Debu adalah benda terkecil (pada zaman itu, sebelum ditemukan atom atau partikel), sifatnya: tidak ada artinya, mengotori, tak berguna dan tak bermanfaat, namun masih bisa dilihat.

Sementara Abu mengacu pada sisa-sisa benda-benda yang dibakar. Mengacu pada kemusnahan sesuatu yang ada menjadi tiada, kesia-siaan, dan tidak punya arti lagi.

Abraham ketika Ia berbicara dengan Tuhan, mengakui dirinya hanyalah debu dan abu (Kej 18:27).

Debu dan abu adalah benda yang mempunyai derajat paling rendah di antara benda-benda lainnya.

Dalam kitab Samuel dikatakan debu dan abu adalah tempat tinggal orang-orang miskin dan orang lemah. Allah mengangkat mereka dari debu dan abu (1Sam 2:8)

Ada beberapa tokoh dalam Kitab Suci yang menggunakan ritual pertobatan dengan menggunakan debu dan abu:
  1. Ayub. 42:6 “Ayub bertobat dalam debu dan abu”
  2. Nabi Yehezkiel menyerukan pertobatan kepada Israel dengan menaruh abu di atas kepala dan berguling dalam debu. (Yeh 27:30)
  3. Raja Niniwe setelah mendengar nubuat penghukuman yang disampaikan Yunus. Raja ini menyesal dan duduk di atas debu (Yun 3:6).
Dari beberapa contoh kemunculan debu dan abu di atas, kita bisa menarik inspirasi dari tindakan pertobatan dengan penerimaan abu di dahi kita:

PERTAMA
Kita melihat SIAPA DIRI KITA di hadapan Allah. Tuhan lah Allah, Raja atas diri kita, sementara kita bukanlah apa-apa, tidak berarti, seorang hamba sahaya, tetapi DIKASIHI oleh-Nya.

KEDUA
Debu dan abu adalah simbol hancurnya hati dan diri kita setelah kita menyadari betapa DOSA TELAH MERUSAK DIRI KITA sedemikian rupa.

Kita menjadi tidak bisa berpikir jernih, penuh nafsu dan tipu daya, pintar bersandiwara, melakukan kebohongan demi kebohongan.

Karena dosa kita lupa bahwa kita membutuhkan Tuhan dan sesama. Kita menjadi sedemikian sombong, angkuh dan congkak hati.

KETIGA
Menjadi debu dan abu artinya kita meninggalkan kedirian kita, dengan segala kesombongan, sifat egois, segala hal-hal yang merusak identitas kita sebagai anak-anak Allah, yang telah ditebus oleh Darah Anak Allah.

KEEMPAT
Kesadaran bahwa diri kita adalah debu membantu kita untuk melihat orang lain.

Kita semua berasal dari debu tanah dan akan kembali menjadi debu, maka tidak perlu ada yang disombongkan lagi. Tidak perlu seorang pun merasa lebih hebat dari orang lain lalu memandang rendah orang lain.

KELIMA
Sebutir debu tidak akan terlihat oleh mata. Debu akan terlihat bila dikumpulkan bersama debu lainnya.

Bukankah dunia ini berasal dari kumpulan milyaran debu. Maka diriku yang adalah debu, akan lebih menemukan eksistensi dan maknanya, ketika aku berada bersama yang lain.

Aku memerlukan orang lain, dan orang lain pun memerlukan aku.

Selamat memasuki MASA PENUH KERAHIMAN ALLAH.

__________________
Sumber:
1). Jhonn Neny/ www.wiakkwa.blogspot.co.id
2). Romo Josep Susanto Pr/ www.sesawi.net
3). Sumber foto: Istimewa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin