KOTA DEPOK - Setahun yang lalu, di tengah keramaian sebuah kafe, seorang teman dengan maksud baik menegurku, “Di dahimu ada kotoran.” Aku tersenyum dan menjawab, “Itu bukan kotoran, itu abu dari gereja. Sebuah tanda bahwa manusia berasal dari debu dan akan kembali menjadi debu” (bdk. Kej 3:19). Ia terdiam sejenak, lalu bertanya, “Sejak kapan kebiasaan ini ada di Gereja Katolik? Apakah ada di Kitab Suci?” Aku terdiam. Gelagapan. Dan di situlah perjalananku dimulai—menelusuri jejak abu dalam iman Katolik.
Abu bukan sekadar simbol liturgis. Ia adalah bahasa
spiritual yang telah digunakan sejak zaman Perjanjian Lama. Mordekhai
mengenakan kain kabung dan abu saat mendengar ancaman pembantaian atas
bangsanya (Est 4:1). Ayub duduk dalam debu dan abu sebagai tanda penyesalan
(Ayub 42:6). Nabi Daniel berdoa sambil berpuasa dan mengenakan kain kabung
serta abu (Dan 9:3). Bahkan Yesus sendiri menyinggung praktik ini dalam
kecaman-Nya terhadap kota-kota yang tidak bertobat (Mat 11:21).
Gereja Perdana mewarisi simbol ini. Tertulianus dalam “De
Poenitentia” menulis bahwa pendosa yang bertobat harus hidup dalam
kesederhanaan dengan mengenakan kain kabung dan abu. Eusebius mencatat kisah
Natalis, seorang murtad yang datang kepada Paus Zephyrinus dengan abu di
kepalanya, memohon pengampunan. Abu menjadi tanda tobat publik, pengakuan dosa,
dan permohonan belas kasih Allah.
Ritual Rabu Abu yang kita kenal hari ini mulai dibakukan
dalam Gregorian Sacramentary sekitar abad ke-8. Sekitar tahun 1000, Imam
Aelfric berkhotbah bahwa umat harus menaburkan abu di kepala sebagai tanda
penyesalan. Sejak abad pertengahan, abu menjadi penanda dimulainya Masa
Prapaskah—40 hari persiapan menuju Paskah, masa tobat, puasa, dan pembaharuan
hidup.
Abu yang digunakan berasal dari daun palma yang diberkati
pada Minggu Palma tahun sebelumnya. Imam memberkati abu dan menandai dahi umat
dengan salib, seraya mengucapkan, “Ingatlah, engkau debu dan akan kembali
menjadi debu,” atau “Bertobatlah dan percayalah kepada Injil.”
Dalam tradisi Kitab Suci, kata “abu” (iper) dan “debu”
(apar) berasal dari akar kata yang sama. Debu melambangkan kehinaan,
ketidakberartian, dan kefanaan. Abu adalah sisa dari sesuatu yang telah musnah.
Abraham menyebut dirinya “debu dan abu” saat berbicara kepada Allah (Kej
18:27). Dalam 1 Samuel 2:8, Allah mengangkat orang miskin dari debu dan abu.
Tokoh-tokoh Kitab Suci seperti Ayub, Yehezkiel, dan Raja
Niniwe menggunakan abu sebagai ekspresi pertobatan. Dari sini, kita belajar
lima makna mendalam:
- Kesadaran
akan identitas kita di hadapan Allah
Kita hanyalah debu, namun dikasihi oleh Allah yang Mahakuasa. - Simbol
kehancuran akibat dosa
Dosa merusak hati dan pikiran, menjauhkan kita dari Tuhan dan sesama. - Panggilan
untuk meninggalkan ego dan kesombongan
Menjadi abu berarti melepaskan diri dari keangkuhan dan kembali kepada kerendahan hati. - Memandang
sesama dengan kasih dan kesetaraan
Kita semua berasal dari debu. Tak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah. - Kebersamaan
dalam komunitas
Debu tak terlihat sendirian, tapi menjadi nyata saat bersama. Kita dipanggil untuk hidup dalam persekutuan.
Sebagai aktivis kerasulan awam, saya percaya bahwa simbol
abu bukan hanya ritual tahunan, melainkan panggilan harian. Abu di dahi harus
menjadi api dalam hati—api kasih, pelayanan, dan pembaruan. Dalam karya sosial,
hukum, dan kemasyarakatan, kita dipanggil untuk menjadi saksi pertobatan yang
hidup: membela yang lemah, mengangkat yang tertindas, dan menyuarakan keadilan.
Abu bukan akhir, melainkan awal. Ia mengingatkan kita bahwa
hidup ini fana, namun kasih Allah kekal. Maka, mari kita jadikan Masa Prapaskah
ini sebagai momentum untuk bertobat, memperbaharui hidup, dan mewartakan kasih
Allah kepada dunia.
✝️ Dominus illuminatio
mea — Tuhanlah terangku.
✍️ Oleh: Darius Leka, S.H., M.H., Advokat & Aktivis
Kerasulan Awam Gereja Katolik
#rabuabu #maknaabu #kerasulanawam #katoliksetia #tobatdankasih #prapaskah #imandalamtindakan #debudanabu #liturgikatolik #kembalikepadaallah #shdariusleka #reels #foryou #fyp #jangkauanluas @semuaorang

Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin