Jumat, 21 April 2017

Soegijapranata; 100% Katolik, 100% Indonesia – Membaca Ulang Sejarah dengan Hati yang Terbuka

JAKARTA
- Di tengah riuh rendah narasi sejarah bangsa, nama Mgr. Albertus Soegijapranata, SJ kembali menggema lewat film Soegija karya Garin Nugroho. Film ini bukan sekadar biopik, melainkan refleksi mendalam tentang iman, kemanusiaan, dan nasionalisme yang menyatu dalam sosok seorang uskup pribumi pertama di Indonesia. Namun, seperti biasa, setiap narasi besar tak luput dari silang pendapat dan upaya dekonstruksi sejarah.

Film Soegija mengangkat catatan harian sang uskup selama masa revolusi kemerdekaan. Ia bukan seorang pejuang bersenjata, melainkan pelayan umat yang menjadikan pena dan doa sebagai senjatanya. Dalam catatannya, Soegija menulis: “Saya ingin Indonesia menjadi keluarga besar di mana anak-anak masa depan tidak lagi mendengar nyanyian berbau kekerasan.” Sebuah visi yang melampaui sekat agama dan ideologi.

Namun, sebagian pihak mempertanyakan keabsahan kontribusi Katolik dalam perjuangan kemerdekaan. Mereka menyoroti latar belakang Soegija sebagai anak dari keluarga Muslim Abangan yang kemudian berpindah keyakinan. Bahkan, ada yang menyebut semboyan “100% Katolik, 100% Indonesia” sebagai bentuk penipuan sejarah. Tuduhan ini tidak hanya menyederhanakan kompleksitas identitas, tetapi juga mengabaikan dinamika pertobatan dan panggilan hidup seseorang.

Sebagai seorang aktivis kerasulan awam, saya melihat bahwa iman bukanlah warisan biologis, melainkan keputusan personal yang lahir dari perjumpaan dengan kasih Allah. Soegija, dalam otobiografinya La Conversione di un Giavanese, menulis bahwa ia memilih menjadi imam untuk mengabdi kepada Tuhan dan bangsanya. Ia tidak pernah menanggalkan kejawaan atau keindonesiaannya. Justru, ia menjadikan imannya sebagai kekuatan untuk mencintai tanah air lebih dalam.

Dalam masa pendudukan Jepang dan revolusi kemerdekaan, Soegija memainkan peran penting sebagai jembatan antara rakyat, gereja, dan pemerintah. Ia menulis surat ke Tokyo untuk membela para misionaris yang ditangkap, bukan demi properti gereja semata, tetapi demi martabat manusia dan kebebasan beragama. Ia juga aktif dalam diplomasi kemanusiaan, mengupayakan perlindungan bagi rakyat sipil di tengah kekacauan perang.

Kritik terhadap film Soegija dan narasi sejarah Katolik dalam perjuangan kemerdekaan seharusnya menjadi ruang dialog, bukan alat penghakiman. Gereja Katolik tidak pernah mengklaim eksklusivitas dalam sejarah bangsa. Sebaliknya, melalui tokoh seperti Soegija, Gereja ingin menunjukkan bahwa iman dan nasionalisme bukan dua kutub yang saling meniadakan, melainkan dua nyala api yang saling menguatkan.

Hari ini, semangat Soegija hidup dalam karya kerasulan awam: mendampingi petani, membela kaum miskin kota, memperjuangkan keadilan hukum, dan membangun solidaritas lintas iman. Inilah bentuk nyata dari semboyan “100% Katolik, 100% Indonesia”—bukan slogan kosong, melainkan panggilan untuk mencintai tanah air dengan sepenuh hati dan iman.

️ Oleh: Darius Leka, S.H., M.H., Advokat & Aktivis Kerasulan Awam Gereja Katolik

#soegijapranata #100persenkatolik100persenindonesia #kerasulanawam #gerejakatolikuntukbangsa #imandannasionalisme #filmsoegija #pluralismeindonesia #solidaritastanpasekat #sejarahyangmenyatukan #kasihuntuktanahair #shdariusleka #reels #foryou #fyp #jangkauanluas @semuaorang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin