Film Soegija mengangkat catatan harian sang uskup selama masa
revolusi kemerdekaan. Ia bukan seorang pejuang bersenjata, melainkan pelayan
umat yang menjadikan pena dan doa sebagai senjatanya. Dalam catatannya, Soegija
menulis: “Saya ingin Indonesia menjadi keluarga besar di mana anak-anak
masa depan tidak lagi mendengar nyanyian berbau kekerasan.” Sebuah visi
yang melampaui sekat agama dan ideologi.
Namun, sebagian pihak mempertanyakan keabsahan kontribusi Katolik dalam
perjuangan kemerdekaan. Mereka menyoroti latar belakang Soegija sebagai anak
dari keluarga Muslim Abangan yang kemudian berpindah keyakinan. Bahkan, ada
yang menyebut semboyan “100% Katolik, 100% Indonesia” sebagai bentuk penipuan
sejarah. Tuduhan ini tidak hanya menyederhanakan kompleksitas identitas, tetapi
juga mengabaikan dinamika pertobatan dan panggilan hidup seseorang.
Sebagai seorang aktivis kerasulan awam, saya melihat bahwa iman bukanlah
warisan biologis, melainkan keputusan personal yang lahir dari perjumpaan
dengan kasih Allah. Soegija, dalam otobiografinya La Conversione di un
Giavanese, menulis bahwa ia memilih menjadi imam untuk mengabdi kepada
Tuhan dan bangsanya. Ia tidak pernah menanggalkan kejawaan atau
keindonesiaannya. Justru, ia menjadikan imannya sebagai kekuatan untuk
mencintai tanah air lebih dalam.
Dalam masa pendudukan Jepang dan revolusi kemerdekaan, Soegija memainkan
peran penting sebagai jembatan antara rakyat, gereja, dan pemerintah. Ia
menulis surat ke Tokyo untuk membela para misionaris yang ditangkap, bukan demi
properti gereja semata, tetapi demi martabat manusia dan kebebasan beragama. Ia
juga aktif dalam diplomasi kemanusiaan, mengupayakan perlindungan bagi rakyat
sipil di tengah kekacauan perang.
Kritik terhadap film Soegija dan narasi sejarah Katolik dalam
perjuangan kemerdekaan seharusnya menjadi ruang dialog, bukan alat penghakiman.
Gereja Katolik tidak pernah mengklaim eksklusivitas dalam sejarah bangsa.
Sebaliknya, melalui tokoh seperti Soegija, Gereja ingin menunjukkan bahwa iman
dan nasionalisme bukan dua kutub yang saling meniadakan, melainkan dua nyala
api yang saling menguatkan.
Hari ini, semangat Soegija hidup dalam karya kerasulan awam: mendampingi
petani, membela kaum miskin kota, memperjuangkan keadilan hukum, dan membangun
solidaritas lintas iman. Inilah bentuk nyata dari semboyan “100% Katolik, 100%
Indonesia”—bukan slogan kosong, melainkan panggilan untuk mencintai tanah air
dengan sepenuh hati dan iman.
✍️ Oleh: Darius Leka, S.H., M.H., Advokat & Aktivis Kerasulan Awam Gereja Katolik
#soegijapranata #100persenkatolik100persenindonesia #kerasulanawam #gerejakatolikuntukbangsa #imandannasionalisme #filmsoegija #pluralismeindonesia #solidaritastanpasekat #sejarahyangmenyatukan #kasihuntuktanahair #shdariusleka #reels #foryou #fyp #jangkauanluas @semuaorang

Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin