Jumat, 07 Oktober 2011

Undangan Sang Raja; Pesta Iman dalam Perjamuan Ekaristi

Oleh: Fr. Leonardus Hambur, OFM yang melaksanakan Tahun Orientasi Pastoral di Paroki Santo Paulus Depok

KOTA DEPOK
- Setiap kali kita menghadiri sebuah pesta pernikahan, ada tiga hal yang tak pernah luput dari perhatian: makanan dan minuman yang disajikan, para tamu undangan yang hadir, serta busana yang dikenakan. Ketiganya menjadi tolok ukur keberhasilan pesta sebagai ungkapan syukur, sukacita, dan kebersamaan. Namun, pernahkah kita menyadari bahwa gambaran ini sejatinya mencerminkan sesuatu yang lebih agung—yakni undangan Allah sendiri dalam perjamuan surgawi?

Dalam Yesaya 25:6–12, kita mendengar nubuat tentang perjamuan surgawi yang disiapkan oleh Tuhan semesta alam. Sebuah pesta agung di Gunung Sion, di mana maut telah ditelan, air mata dihapus, dan berkat berlimpah disediakan bagi semua bangsa. Ini bukan sekadar janji eskatologis, tetapi juga gambaran kasih Allah yang universal dan inklusif.

Yesus, dalam Injil Matius 22:1–14, mengangkat kembali gambaran ini dalam bentuk perumpamaan: seorang Raja yang mengadakan perjamuan nikah bagi putranya. Semua orang diundang, tetapi hanya mereka yang menanggapi undangan dengan sungguh-sungguh dan berpakaian pantas yang diperkenankan masuk. Dua syarat ditegaskan: tanggapan positif dan kesiapan diri.

Sebagai umat Katolik, kita percaya bahwa perayaan Ekaristi adalah perjamuan kudus yang menghadirkan Kristus sendiri sebagai Tuan Pesta. Dalam setiap Misa, kita diundang untuk duduk bersama-Nya, menerima sabda-Nya, dan menyambut tubuh dan darah-Nya. Namun, apakah kita sungguh menyadari makna undangan ini?

Kata “mengundang” mengandung makna kasih yang aktif. Allah tidak memaksa, tetapi menawarkan. Kita bebas menanggapi atau menolak. Namun, setiap pilihan membawa konsekuensi. Menolak berarti menjauh dari rahmat; menerima berarti membuka diri pada keselamatan.

Sering kita berkata, “Yang penting hatinya.” Pernyataan ini tidak sepenuhnya salah, tetapi juga tidak sepenuhnya benar. Dalam perjamuan surgawi, seperti dalam pesta pernikahan, busana menjadi simbol kesiapan dan penghormatan. Dalam konteks Ekaristi, busana bukan sekadar pakaian fisik, tetapi juga sikap batin yang tercermin dalam penampilan lahiriah.

Menghadiri Misa dengan pakaian yang pantas bukan soal gaya, tetapi soal hormat. Kita datang bukan ke ruang publik biasa, tetapi ke hadapan Sang Raja. Maka, keterlibatan kita harus total: tubuh dan jiwa, lahir dan batin, niat dan tindakan.

Sebagai rasul awam, kita tidak hanya diundang, tetapi juga diutus. Kita dipanggil untuk menjadi perpanjangan undangan Allah kepada dunia. Dalam bidang sosial, ekonomi, hukum, dan kemasyarakatan, kita harus menjadi saksi bahwa perjamuan Allah terbuka bagi semua orang—terutama mereka yang lemah, tersingkir, dan haus akan kasih.

Kita diundang untuk mempersembahkan diri, seperti Kristus mempersembahkan diri-Nya. Kita dipanggil untuk berbagi, membantu, dan menghadirkan sukacita bagi sesama. Sebab perjamuan Ekaristi tidak berhenti di altar, tetapi harus berlanjut dalam kehidupan sehari-hari.

Perjamuan surgawi bukan sekadar janji masa depan. Ia dimulai di sini dan sekarang, dalam setiap Ekaristi yang kita rayakan. Maka, mari kita tanggapi undangan itu dengan hati yang tulus, niat yang murni, dan penampilan yang pantas. Sebab Sang Raja telah menyiapkan segalanya—tinggal bagaimana kita menanggapi.

Dan ketika kita melangkah keluar dari gereja, mari kita bawa semangat perjamuan itu ke dunia: menjadi kabar sukacita, menjadi busana kasih bagi yang telanjang, menjadi roti bagi yang lapar, dan menjadi undangan hidup bagi mereka yang belum mengenal Sang Tuan Pesta.

 

#perjamuansurgawi #ekaristiadalahpesta #kerasulanawam #gerejahadiruntukdunia #rasulawamberkarya #imanyanghidup #busanaiman #undanganilahi #pewartaankasih #hadirsepenuhdiri

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin