
Oleh: Fr. Leonardus Hambur, OFM yang melaksanakan Tahun Orientasi Pastoral di Paroki Santo Paulus Depok
KOTA DEPOK - Setiap
kali kita menghadiri sebuah pesta pernikahan, ada tiga hal yang tak pernah
luput dari perhatian: makanan dan minuman yang disajikan, para tamu undangan
yang hadir, serta busana yang dikenakan. Ketiganya menjadi tolok ukur
keberhasilan pesta sebagai ungkapan syukur, sukacita, dan kebersamaan. Namun,
pernahkah kita menyadari bahwa gambaran ini sejatinya mencerminkan sesuatu yang
lebih agung—yakni undangan Allah sendiri dalam perjamuan surgawi?
Dalam Yesaya 25:6–12, kita mendengar nubuat tentang
perjamuan surgawi yang disiapkan oleh Tuhan semesta alam. Sebuah pesta agung di
Gunung Sion, di mana maut telah ditelan, air mata dihapus, dan berkat berlimpah
disediakan bagi semua bangsa. Ini bukan sekadar janji eskatologis, tetapi juga
gambaran kasih Allah yang universal dan inklusif.
Yesus, dalam Injil Matius 22:1–14, mengangkat kembali
gambaran ini dalam bentuk perumpamaan: seorang Raja yang mengadakan perjamuan
nikah bagi putranya. Semua orang diundang, tetapi hanya mereka yang menanggapi
undangan dengan sungguh-sungguh dan berpakaian pantas yang diperkenankan masuk.
Dua syarat ditegaskan: tanggapan positif dan kesiapan diri.
Sebagai umat Katolik, kita percaya bahwa perayaan Ekaristi
adalah perjamuan kudus yang menghadirkan Kristus sendiri sebagai Tuan Pesta.
Dalam setiap Misa, kita diundang untuk duduk bersama-Nya, menerima sabda-Nya,
dan menyambut tubuh dan darah-Nya. Namun, apakah kita sungguh menyadari makna
undangan ini?
Kata “mengundang” mengandung makna kasih yang aktif. Allah
tidak memaksa, tetapi menawarkan. Kita bebas menanggapi atau menolak. Namun,
setiap pilihan membawa konsekuensi. Menolak berarti menjauh dari rahmat;
menerima berarti membuka diri pada keselamatan.
Sering kita berkata, “Yang penting hatinya.” Pernyataan ini
tidak sepenuhnya salah, tetapi juga tidak sepenuhnya benar. Dalam perjamuan
surgawi, seperti dalam pesta pernikahan, busana menjadi simbol kesiapan dan
penghormatan. Dalam konteks Ekaristi, busana bukan sekadar pakaian fisik,
tetapi juga sikap batin yang tercermin dalam penampilan lahiriah.
Menghadiri Misa dengan pakaian yang pantas bukan soal gaya,
tetapi soal hormat. Kita datang bukan ke ruang publik biasa, tetapi ke hadapan
Sang Raja. Maka, keterlibatan kita harus total: tubuh dan jiwa, lahir dan
batin, niat dan tindakan.
Sebagai rasul awam, kita tidak hanya diundang, tetapi juga
diutus. Kita dipanggil untuk menjadi perpanjangan undangan Allah kepada dunia.
Dalam bidang sosial, ekonomi, hukum, dan kemasyarakatan, kita harus menjadi
saksi bahwa perjamuan Allah terbuka bagi semua orang—terutama mereka yang
lemah, tersingkir, dan haus akan kasih.
Kita diundang untuk mempersembahkan diri, seperti Kristus
mempersembahkan diri-Nya. Kita dipanggil untuk berbagi, membantu, dan
menghadirkan sukacita bagi sesama. Sebab perjamuan Ekaristi tidak berhenti di
altar, tetapi harus berlanjut dalam kehidupan sehari-hari.
Perjamuan surgawi bukan sekadar janji masa depan. Ia dimulai
di sini dan sekarang, dalam setiap Ekaristi yang kita rayakan. Maka, mari kita
tanggapi undangan itu dengan hati yang tulus, niat yang murni, dan penampilan
yang pantas. Sebab Sang Raja telah menyiapkan segalanya—tinggal bagaimana kita
menanggapi.
Dan ketika kita melangkah keluar dari gereja, mari kita bawa
semangat perjamuan itu ke dunia: menjadi kabar sukacita, menjadi busana kasih
bagi yang telanjang, menjadi roti bagi yang lapar, dan menjadi undangan hidup
bagi mereka yang belum mengenal Sang Tuan Pesta.
#perjamuansurgawi
#ekaristiadalahpesta #kerasulanawam #gerejahadiruntukdunia #rasulawamberkarya
#imanyanghidup #busanaiman #undanganilahi #pewartaankasih #hadirsepenuhdiri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin