Senin, 17 Oktober 2011

Cantaraning-go; Nada-Nada Iman dari Tanah Manggarai

️ Oleh: Darius Leka, S.H., M.H., Advokat & Aktivis Kerasulan Awam Gereja Katolik

KOTA DEPOK
- Minggu pagi, 9 Oktober 2011, pukul 08.00 WIB, Gereja Katolik St. Paulus Depok dipenuhi warna-warni budaya. Bukan hanya oleh liturgi yang khusyuk, tetapi juga oleh kehadiran kelompok koor “Cantaraning-go”—keluarga besar umat Katolik asal Manggarai, Flores, yang menetap di Depok. Dengan busana adat lengkap, nyanyian khas, dan iringan musik tradisional, mereka menghadirkan suasana misa inkulturasi yang bukan hanya meriah, tetapi juga sarat makna spiritual dan budaya.

Cantaraning-go bukan sekadar kelompok paduan suara. Nama mereka sendiri mengandung makna mendalam: “Centa” berarti “minta”, dan “Raning” berarti “pujian”—sebuah ajakan untuk memuji Tuhan. Sejak 2008, kelompok ini tumbuh dari semangat kebersamaan para perantau Manggarai yang merasa senasib dan sepenanggungan di tanah rantau. Mereka tidak hanya berkumpul untuk melepas rindu kampung halaman, tetapi juga menjadikan kebersamaan itu sebagai bentuk pelayanan nyata dalam liturgi Gereja.

Dengan anggota sekitar 50 orang dari 20 kepala keluarga, Cantaraning-go telah menjadi wajah khas dalam berbagai perayaan liturgi di Paroki St. Paulus Depok. Mereka bukan hanya menyanyi, tetapi juga membawa serta warisan budaya yang menyatu dengan iman Katolik.

Misa hari itu dipimpin secara konselebrasi oleh Pater Tauchen Hotlan Girsang, OFM, bersama Pater Bonefasius Budiman, OFM (tamu dari Keuskupan Medan), Pater Fransiskus Manulang, O.Carm, dan para Frater Fransiskan. Dalam homilinya, Pater Tauchen menekankan bahwa suasana misa yang penuh nyanyian, tarian, dan simbol budaya adalah cerminan dari perjamuan Anak Domba—sebuah pesta surgawi yang mengundang semua orang untuk mengalami kasih Allah dalam kehidupan sehari-hari.

Pater Bone menambahkan dimensi sejarah yang menggugah. Ia mengisahkan bagaimana Keuskupan Ruteng, yang baru berusia satu abad, telah melahirkan lebih dari 100 imam praja. Ia juga mengangkat peran Uskup Wilhelmus van Bekkum, yang pada 1961 mencetuskan gagasan misa inkulturasi sebagai bentuk syukur atas panen dan kehidupan. Sebuah liturgi yang tidak hanya sakral, tetapi juga membumi.

Salah satu momen yang paling menyentuh adalah pemberian ayam dan arak di depan gereja, disertai ungkapan dalam bahasa Manggarai. Tindakan ini bukan sekadar seremoni, tetapi simbol perjanjian dan kesanggupan untuk hidup dalam konsistensi iman. Arak, dalam konteks ini, bukan untuk mabuk, tetapi sebagai lambang keberanian dalam mewartakan Injil.

Di tengah arus globalisasi dan materialisme, misa inkulturasi menjadi pengingat bahwa budaya lokal bukanlah penghalang iman, melainkan jembatan menuju pemahaman yang lebih dalam akan kasih Allah. Selama nilai-nilai budaya tidak bertentangan dengan Injil, maka budaya dapat menjadi wahana pewartaan yang kuat dan menyentuh.

Sebagai aktivis kerasulan awam, saya melihat peristiwa ini sebagai contoh konkret bagaimana umat awam dapat mengambil peran aktif dalam pewartaan. Cantaraning-go bukan hanya menyanyi, mereka mewartakan. Mereka menghadirkan wajah Gereja yang hidup, yang merangkul budaya, dan yang menyapa umat dengan bahasa hati.

Kita semua dipanggil untuk menjadi seperti mereka: menjaga warisan, melayani dengan sukacita, dan mewartakan kasih Allah dalam konteks kehidupan kita masing-masing. Baik melalui budaya, profesi, maupun pelayanan sosial, kita semua adalah bagian dari tubuh Kristus yang hidup dan bergerak di tengah dunia.

Misa inkulturasi bukanlah nostalgia budaya semata. Ia adalah liturgi yang menghidupkan, yang menyatukan langit dan bumi, iman dan budaya, tradisi dan pewartaan. Semoga semangat Cantaraning-go menjadi inspirasi bagi komunitas-komunitas lain untuk terus berkarya, bersaksi, dan memuji Tuhan dengan seluruh keberadaan mereka.

 

#cantaraninggo #misainkulturasi #kerasulanawam #gerejahadiruntukdunia #rasulawamberkarya #imandanbudaya #liturgiyangmenghidupkan #manggaraiuntukkristus #pewartaanlewatbudaya #ekaristiadalahpesta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin