
✍️ Oleh: Darius Leka, S.H., M.H., Advokat & Aktivis Kerasulan Awam Gereja Katolik
KOTA DEPOK - Minggu pagi, 9 Oktober 2011, pukul 08.00 WIB,
Gereja Katolik St. Paulus Depok dipenuhi warna-warni budaya. Bukan hanya oleh
liturgi yang khusyuk, tetapi juga oleh kehadiran kelompok koor
“Cantaraning-go”—keluarga besar umat Katolik asal Manggarai, Flores, yang
menetap di Depok. Dengan busana adat lengkap, nyanyian khas, dan iringan musik
tradisional, mereka menghadirkan suasana misa inkulturasi yang bukan hanya
meriah, tetapi juga sarat makna spiritual dan budaya.
Cantaraning-go bukan sekadar kelompok paduan suara. Nama
mereka sendiri mengandung makna mendalam: “Centa” berarti “minta”, dan “Raning”
berarti “pujian”—sebuah ajakan untuk memuji Tuhan. Sejak 2008, kelompok ini
tumbuh dari semangat kebersamaan para perantau Manggarai yang merasa senasib
dan sepenanggungan di tanah rantau. Mereka tidak hanya berkumpul untuk melepas
rindu kampung halaman, tetapi juga menjadikan kebersamaan itu sebagai bentuk
pelayanan nyata dalam liturgi Gereja.
Dengan anggota sekitar 50 orang dari 20 kepala keluarga,
Cantaraning-go telah menjadi wajah khas dalam berbagai perayaan liturgi di Paroki
St. Paulus Depok. Mereka bukan hanya menyanyi, tetapi juga membawa serta
warisan budaya yang menyatu dengan iman Katolik.
Misa hari itu dipimpin secara konselebrasi oleh Pater
Tauchen Hotlan Girsang, OFM, bersama Pater Bonefasius Budiman, OFM (tamu dari
Keuskupan Medan), Pater Fransiskus Manulang, O.Carm, dan para Frater
Fransiskan. Dalam homilinya, Pater Tauchen menekankan bahwa suasana misa yang
penuh nyanyian, tarian, dan simbol budaya adalah cerminan dari perjamuan Anak
Domba—sebuah pesta surgawi yang mengundang semua orang untuk mengalami kasih
Allah dalam kehidupan sehari-hari.
Pater Bone menambahkan dimensi sejarah yang menggugah. Ia
mengisahkan bagaimana Keuskupan Ruteng, yang baru berusia satu abad, telah
melahirkan lebih dari 100 imam praja. Ia juga mengangkat peran Uskup Wilhelmus
van Bekkum, yang pada 1961 mencetuskan gagasan misa inkulturasi sebagai bentuk
syukur atas panen dan kehidupan. Sebuah liturgi yang tidak hanya sakral, tetapi
juga membumi.
Salah satu momen yang paling menyentuh adalah pemberian ayam
dan arak di depan gereja, disertai ungkapan dalam bahasa Manggarai. Tindakan
ini bukan sekadar seremoni, tetapi simbol perjanjian dan kesanggupan untuk
hidup dalam konsistensi iman. Arak, dalam konteks ini, bukan untuk mabuk,
tetapi sebagai lambang keberanian dalam mewartakan Injil.
Di tengah arus globalisasi dan materialisme, misa
inkulturasi menjadi pengingat bahwa budaya lokal bukanlah penghalang iman,
melainkan jembatan menuju pemahaman yang lebih dalam akan kasih Allah. Selama
nilai-nilai budaya tidak bertentangan dengan Injil, maka budaya dapat menjadi
wahana pewartaan yang kuat dan menyentuh.
Sebagai aktivis kerasulan awam, saya melihat peristiwa ini
sebagai contoh konkret bagaimana umat awam dapat mengambil peran aktif dalam
pewartaan. Cantaraning-go bukan hanya menyanyi, mereka mewartakan. Mereka
menghadirkan wajah Gereja yang hidup, yang merangkul budaya, dan yang menyapa
umat dengan bahasa hati.
Kita semua dipanggil untuk menjadi seperti mereka: menjaga
warisan, melayani dengan sukacita, dan mewartakan kasih Allah dalam konteks
kehidupan kita masing-masing. Baik melalui budaya, profesi, maupun pelayanan
sosial, kita semua adalah bagian dari tubuh Kristus yang hidup dan bergerak di
tengah dunia.
Misa inkulturasi bukanlah nostalgia budaya semata. Ia adalah
liturgi yang menghidupkan, yang menyatukan langit dan bumi, iman dan budaya,
tradisi dan pewartaan. Semoga semangat Cantaraning-go menjadi inspirasi bagi
komunitas-komunitas lain untuk terus berkarya, bersaksi, dan memuji Tuhan
dengan seluruh keberadaan mereka.
#cantaraninggo #misainkulturasi #kerasulanawam #gerejahadiruntukdunia #rasulawamberkarya #imandanbudaya #liturgiyangmenghidupkan #manggaraiuntukkristus #pewartaanlewatbudaya #ekaristiadalahpesta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin