![]() |
Sejak hari Pentakosta, ketika Petrus menyerukan pertobatan dan pembaptisan
(Kis 2:38), Gereja terus menghidupi perutusan ini. Pembaptisan bukan sekadar
ritus simbolik, melainkan peristiwa rohani yang menyatukan manusia dengan
Kristus dalam kematian dan kebangkitan-Nya (Rom 6:3–4). Dalam liturgi, air
dituangkan tiga kali atas kepala calon baptis, menandai penyatuan dengan
Tritunggal Mahakudus.
Santo Paulus menegaskan bahwa melalui pembaptisan, kita disucikan,
dikuduskan, dan dibenarkan (1 Kor 6:11). Ini adalah awal dari hidup baru, bukan
akhir dari perjalanan iman.
Yesus berkata, “Jika seorang mengasihi Aku… Kami akan datang kepadanya dan
diam bersama-sama dengan dia” (Yoh 14:23). Ini bukan sekadar janji spiritual,
tetapi realitas iman: bahwa kita adalah bait Allah, tempat tinggal Tritunggal
Mahakudus (1 Kor 3:16–17).
Namun, apakah kita sungguh menyadari hal ini? Apakah hidup kita mencerminkan
kehadiran Allah yang tinggal di dalam diri kita?
Dalam Surat kepada Jemaat di Galatia, Santo Paulus membedakan dua jalan
hidup: menurut daging dan menurut Roh (Gal 5:17–26). Hidup menurut daging
menghasilkan perbuatan yang menjauhkan kita dari Kerajaan Allah. Sebaliknya,
hidup menurut Roh menghasilkan buah-buah yang menyegarkan dan membangun: kasih,
sukacita, damai, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan,
dan penguasaan diri.
Sebagai umat beriman, kita dipanggil untuk menyalibkan keinginan daging dan
membiarkan Roh Kudus memimpin hidup kita. Ini bukan tugas mudah, tetapi
panggilan yang mulia. Kita harus terus-menerus menata kembali hidup kita agar
layak menjadi tempat tinggal Tritunggal Mahakudus.
Sebagai aktivis kerasulan awam, saya percaya bahwa perutusan para murid adalah
juga perutusan kita. Kita dipanggil untuk menjadi saksi Kristus di tengah
dunia: dalam keluarga, pekerjaan, masyarakat, dan pelayanan. Kita mewartakan
kasih Allah bukan hanya dengan kata, tetapi dengan hidup yang mencerminkan
buah-buah Roh.
Merayakan Hari Raya Tritunggal Mahakudus bukan hanya mengenang dogma, tetapi
memperbarui komitmen kita untuk hidup dalam kasih Allah. Mari kita jadikan
hidup kita sebagai altar hidup, tempat Allah berdiam, dan dari sanalah kita
mewartakan cinta-Nya kepada dunia.
Oleh: Prof. Dr. RP. Alex Lanur, OFM, Guru besar STF Driyarkara yang merupakan bagian dari Komunitas Novisiat OFM Transitus Depok
#tritunggalmahakudus #perutusanparamurid #baptisankatolik #hidupdalamroh #kerasulanawam #gerejahidup #imandalamtindakan #buahroh #cintaallahuntukdunia #baitallah #misikristiani #shdariusleka #reels #foryou #fyp #jangkauanluas @semuaorang

Shalom bapak, ibu saudara/i di manapun berada. Apakah Sudah ada yang pernah mendengar tentang Shema Yisrael? Ini adalah kalimat pengakuan iman orang Yahudi yang biasa diucapkan pada setiap ibadah mereka baik itu di rumah ibadat atau sinagoga maupun di rumah. Yesus juga menggunakan Shema untuk menjawab pertanyaan dari seorang ahli Taurat mengenai hukum yang utama. Kita dapat baca di Ulangan 6 ayat 4 dan pernah juga dikutip oleh Yesus di dalam Injil Markus 12 : 29. Dengan mengucapkan Shema, orang Yahudi mengakui bahwa YHWH ( Adonai ) Elohim itu esa dan berdaulat dalam kehidupan mereka. Berikut teks Shema Yisrael tersebut dalam huruf Ibrani ( dibaca dari kanan ke kiri seperti huruf Arab ) beserta cara mengucapkannya ( tanpa bermaksud untuk mengabaikan atau menyangkal adanya Bapa, Roh Kudus dan Firman Elohim yaitu Yeshua haMashiakh/ ישוע המשיח, yang lebih dikenal oleh umat Kristiani di Indonesia sebagai Yesus Kristus ) berikut ini
BalasHapusTeks Ibrani Ulangan 6 ayat 4 : ” שְׁמַ֖ע ( Shema ) יִשְׂרָאֵ֑ל ( Yisrael ) יְהוָ֥ה ( YHWH [ Adonai ] ) אֱלֹהֵ֖ינוּ ( Eloheinu ) יְהוָ֥ה ( YHWH [ Adonai ] ) אֶחָֽד ( ekhad )
”
Lalu berdasarkan halakha/ tradisi, diucapkan juga berkat: ” ברוך שם כבוד מלכותו, לעולם ועד ” ( " barukh Shem kevod malkuto, le’olam va’ed " ) yang artinya diberkatilah nama yang mulia kerajaanNya untuk selama-lamanya " ). Apakah ada yang mempunyai pendapat lain?.
🕎✡️👁️📜🕍🤴🏻👑🗝️🛡️🗡️🏹⚖️☁️☀️⚡🌧️🌈🌒🌌🔥💧🌊🌬️🏞️🗺️🏡⛵⚓👨👩👧👦❤️🛐🤲🏻🖖🏻🌱🌾🍇🍎🍏🌹🐏🐑🐐🐂🐎🦌🐪🐫🦁🦅🕊️🐟🐍🇮🇱₪⛪