Senin, 23 Maret 2015

Rabu Abu Drive Thru dan Pengakuan di Jalan

(Sumber foto: www.sesawi.net)
Berita satu alinea di koran Kompas pagi ini (20/2/2015) sangat menggelitik. Di USA, New Orleans, umat kristiani menerima abu pada hari Rabu Abu di pinggir jalan. Pastor membuka layanan pemberian abu tanda pertobatan, awal puasa 40 hari, di pinggir jalan. Soalnya orang Amerika terlalu sibuk untuk datang ke gereja pada hari Rabu.

Setelah terima abu, umat bahkan dapat bonus secangkir kopi. Hehehe... Unik juga terobosan gereja di negara maju yang makin sekuler itu. Jemaat sudah cuek dengan kebaktian, liturgi, dsb sehingga pihak gereja terpaksa jemput bola ke pinggir jalan. Mungkin suatu ketika para pastor di sana buka konter abu di mal atau plaza.


Terobosan ala Amrik ini rasanya belum saatnya ditiru gereja-gereja di Indonesia. Sebab semangat beribadah di tanah air masih sangat tinggi. Saking semangatnya yang overdosis, orang Kristen di Indonesia, khususnya di Jawa, seakan berlomba-lomba bikin gereja baru meski gereja-gereja lama masih kosong. Bila perlu bikin gereja di ruko, garasi, convention hall, dsb.

Membaca berita Rabu Abu di jalanan New Orleans ini, saya teringat kebiasaan lama di kampung-kampung di Flores, NTT, sebelum 1990an. Hampir semua orang di kampung beragama Katolik. Tapi pastornya sangat kurang karena harus melayani begitu banyak desa. Naik turun gunung, jalan desa yang sangat buruk.

Pastor-pastor kongregasi SVD asal Belanda macam Pater Geurtz SVD dan Pater Van de Leur SVD di kampung saya terpaksa jalan kaki ditemani kuda putihnya. Si kuda itu membawa banyak sekali barang bawaan sang romo seperti perlengkapan misa, logistik, obat-obatan, pakaian, radio canggih. Biasanya ekaristi atau misa hanya diadakan dua bulan sekali. Paling cepat sebulan sekali. Hari Minggu lainnya diisi ibadat sabda tanpa imam pakai buku UAB: Umat Allah Beribadat. Buku tata cara kebaktian tanpa pastor ini kebetulan disimpan di rumah saya. Bahan homili (khotbah) pun ada bukunya sendiri yang tebal.

Nah, karena pastor sangat langka, umat Katolik di kampung saya di Lembata, Flores Timur, dulu biasa mencegat pastor di jalan. Begitu melihat Pater Geurtz lewat di jalan dengan kuda kesayangannya itu, umat bersalaman dan meminta romo memberikan sakramen tobat atau pengakuan dosa. Mengaku dosa di jalan! Atau minta Tuan Buraken (misionaris putih) untuk memberkati rosario, kalung, atau apa saja yang dianggap perlu diberkati.

Luar biasa iman orang-orang sederhana di kampung itu. Layanan liturgi spontan di jalanan ini perlahan-lahan berkurang, kemudian habis, karena pastor mulai tersedia. Kalau dulu cuma orang-orang Eropa saja yang jadi romo, belakangan banya pula anak-anak muda asli lewotanah (kampung) yang masuk seminari dan ditahbiskan jadi pastor. Sementara pastor-pastor Eropa kian menua dan kembali ke pangkuan-Nya satu per satu.

Situasi unik yang pernah saya saksikan di pelosok NTT itu kini tinggal kenangan. Antusiasme umat Katolik untuk mengaku dosa di hadapan pastor makin berkurang. Padahal, pastor di Surabaya, Sidoarjo, Gresik ini saya anggap sangat lebih dari cukup. Satu gereja (pastor) dilayani tiga pastor, bahkan ada yang empat. Bandingkan dengan di pelosok Flores macam tempat saya: satu pastor harus melayani SEPULUH gereja!

Karena jarang ada umat Katolik di Jawa yang minta pengakuan, saya lihat banyak pastor yang nganggur. Kamar pengakuan sepi jali. "Nggak enak ngaku dosa, malu," begitu alasan banyak orang.

Benar-benar terbalik dengan umat Katolik jadul di pelosok yang berebut menemui pastor di pinggir jalan agar bisa terima sakramen tobat. Begitulah. Zaman memang sudah jauh berbeda. Perubahan besar ini pun terjadi di dalam gereja.
_______________________
Lambertus Hurek
Sumber: http://hurek.blogspot.com/search/label/gereja

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin