Namun seperti semua perubahan struktural dalam Gereja,
gagasan ini tidak berjalan mulus. Ia menimbulkan diskusi, resistensi, bahkan
kegamangan. Tapi justru di situlah letak kekayaan reflektifnya: bahwa Gereja
adalah tubuh yang hidup, yang terus bertumbuh melalui dialog, discernment, dan
dinamika umat.
Secara teologis dan pastoral, pembentukan KUB tidak
bertentangan dengan statuta Gereja Katolik. Hirarki Gereja memang dimulai dari
Tahta Suci hingga paroki, namun struktur di bawah paroki—lingkungan, wilayah,
kring, stasi—sepenuhnya merupakan kebijakan pastoral lokal.
KUB dirancang bukan sekadar sebagai nomenklatur baru, tetapi
sebagai paradigma baru. Ia menekankan partisipasi aktif umat dalam pewartaan
Injil, pembinaan iman, dan pelayanan sosial. Dalam semangat ini, awam tidak
lagi menjadi penonton, tetapi pelaku utama dalam reksa pastoral.
“Untuk mewujudkan Gereja yang communio dan misio perlu
dibentuk komunitas umat basis,” tulis Romo Franz Magnis-Suseno, S.J., dalam
refleksi pastoralnya.
Namun, seperti yang sering terjadi dalam transformasi
struktural, implementasi KUB menghadapi tantangan di lapangan. Sosialisasi yang
memakan waktu hampir satu tahun belum sepenuhnya mengubah pola pikir umat.
Banyak yang masih berpegang pada prinsip “kalau yang lama masih baik, mengapa
harus diganti?”
Kendala teknis juga muncul, terutama dalam koordinasi lintas
paroki yang belum menggunakan istilah KUB. Hal ini menimbulkan kebingungan
administratif dan komunikasi. Akhirnya, Keuskupan Bogor merespons dengan
menerbitkan surat penyeragaman istilah lingkungan dan wilayah di seluruh
keuskupan.
Sebagai aktivis kerasulan awam, saya tidak melihat
tereliminasinya istilah KUB sebagai kegagalan. Justru ini adalah bukti bahwa
proses demokratisasi dalam Gereja berjalan sehat. Bahwa setiap kebijakan
pastoral harus diuji dalam realitas umat, dan bahwa perubahan sejati tidak
selalu harus dimulai dari struktur, tetapi dari semangat.
Paroki Santo Paulus Depok pun menunjukkan kebijaksanaan
pastoral yang luar biasa. Alih-alih memaksakan istilah, mereka mengadopsi
semangat KUB dengan membagi lingkungan menjadi unit-unit kecil berisi 20–30
kepala keluarga. Ini memungkinkan pembinaan iman dan partisipasi umat menjadi
lebih intens dan personal.
Semangat KUB kini hidup dalam berbagai kegiatan kategorial
yang berkembang pesat di paroki:
- Kursus
evangelisasi pribadi yang terus meningkat pesertanya
- Kelompok
koor lintas lingkungan dan wilayah
- Komunitas
kharismatik yang aktif dalam doa dan pelayanan
Semua kegiatan ini tetap berada dalam pengawasan pastoral
paroki, memastikan bahwa semangat communio dan misio tetap menjadi roh dari
setiap aktivitas.
Kisah KUB di Paroki Santo Paulus Depok adalah cermin dari
Gereja yang hidup. Gereja yang tidak takut bereksperimen, yang berani mendengar
suara umat, dan yang terus mencari bentuk terbaik untuk mewujudkan perutusan
Kristus di tengah dunia modern.
Karena pada akhirnya, Gereja bukan soal struktur, tetapi
soal relasi. Bukan soal istilah, tetapi soal semangat. Dan semangat itu adalah
kasih yang diwujudkan dalam partisipasi, pelayanan, dan pewartaan.
✍️ Oleh: Darius Leka, S.H., M.H., Advokat & Aktivis
Kerasulan Awam Gereja Katolik
#komunitasumatbasis #kerasulanawam #gerejakatolik #wartakasih #imanyanghidup #parokisantopaulusdepok #evangelisasipribadi #gerejayangpartisipatif #cintadalamtindakan #transformasipastoral

Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin