Pengakuan Dosa: Sebuah Pendekatan Arsitektur
Kita
dapat merenungkan sakramen pengakuan dosa dari pendekatan arsitektur.
Secara tradisional, ruang pengakuan dosa terdiri dari tiga bagian, di
mana ruangan khusus imam berada di tengah, sedangkan ruang peniten ada
di sebelah kiri dan kanan yang dipisahkan oleh sekat atau pembatas, yang
bentuknya seperti jaring-jaring, ada yang ditutupi kain dan ada pula
yang tidak, juga dilengkapi dengan tempat berlutut bagi peniten. Melalui
sekat tersebut peniten dapat mengakukan dosanya kepada imam, dan sang
imam atau peniten tidak dapat saling melihat satu sama lain, bila
terdapat kain penutup sekat tersebut.
Adapun tujuan dari keberadaan pembatas tersebut ialah untuk menjaga
anonimitas peniten dan melindungi reputasi serta nama baik peniten,
sehingga ia dapat merasa aman untuk mengaku dosa. Berdasarkan pengalaman
pribadi, beberapa kali saya sempat mendengar ada umat yang merasa
sungkan untuk mengaku dosa dengan imam yang dikenalnya, sehingga mereka
cenderung memilih untuk mengaku dosa dengan imam yang tidak dikenal.
Beberapa orang berpendapat bahwa sebaiknya mengaku dosa dengan imam yang
sudah tua, agar dosa-dosa yang diakukan dapat segera dilupakan.
Pengalaman tersebut menunjukkan bahwa dari sudut pandang umat, mereka
sendiri merasakan adanya kebutuhan untuk menjaga nama baik mereka, bahwa
sebenarnya anonimitas dalam mengaku dosa memang merupakan hal yang
penting. Oleh karena itu, sudah sejak dulu Gereja Katolik memang
memiliki perhatian khusus dalam menjaga reputasi dan nama baik peniten,
yang tercermin dalam desain ruang pengakuan dosa. Hal ini dilakukan
untuk mencegah terjadinya skandal di antara umat beriman.
Pembatas tersebut juga berperan dalam melindungi kemurnian
penglihatan dan pikiran sang imam, membebaskannya dari pikiran-pikiran
negatif yang muncul apabila ia mengetahui identitas si peniten.
Pembatas
tersebut juga melindungi imam dari tuduhan yang mungkin akan diarahkan
padanya. Coba kita bayangkan, seandainya imam dan peniten mengaku dosa
dalam sebuah ruangan di mana mereka dapat saling melihat satu sama lain
tanpa pemisah, dan katakanlah, yang mengaku dosa tersebut ialah seorang
wanita cantik dan penampilannya mungkin terlihat kurang sopan. Tentu
saja hal ini dapat menimbulkan godaan tersendiri bagi sang imam,dan
bukannya tidak mungkin muncul pikiran yang tidak murni dalam dirinya,
mengingat imam juga hanya seorang manusia biasa seperti kita.
Setelah Konsili Vatikan II, diadakan revisi terhadap tata cara
sakramen tobat agar aspek sosial komunal dan eklesialnya semakin
kelihatan. Dalam pelaksanaan revisi tersebut, maka penekanan lebih
diberikan kepada pengakuan dosa tatap muka, karena hal tersebut membuat
pengakuan dosa menjadi lebih personal dan kurang formal. Namun bukan
tidak mungkin kesempatan untuk bertobat ini berubah menjadi sesi curhat
atau konseling antara peniten dan umat.
Hilangnya Kesadaran akan Dosa, Sesal, Pengakuan Dosa dan Silih
“Sin has become, almost everywhere today, one of those
subjects that are not spoken about. Religious education of whatever kind
does its best to evade it.”[i] – Cardinal Ratzinger
Tidak dapat dipungkiri bahwa setelah Konsili Vatikan II, salah satu
topik yang jarang dibicarakan ialah tentang dosa. Jarang sekali saya
mendengar homili tentang dosa yang disatukan dengan perlunya sakramen
tobat dan konsekuensi dosa yang tidak disesali. Tidak mengherankan pula
kalau memudarnya penghayatan akan dosa juga berhubungan erat dengan
gambaran Kristus sebagai Hakim. Coba perhatikan gambar di bawah ini:
Foto tersebut merupakan sebuah tympanum (permukaan dinding
berbentuk segitiga atau setengah lingkaran di atas sebuah pintu,
biasanya dihiasi dengan ukiran atau pencitraan yang sifatnya religius)
dari abad 15 yang terdapat di atas pintu barat Katedral St. Nikolas di
Frieburg, Swiss, yang menggambarkan Kristus sebagai hakim ilahi. Bukan
tanpa alasan mengapa penggambaran Kristus sebagai Hakim ditempatkan di
atas pintu masuk katedral: hal tersebut bertujuan untuk mengingatkan
umat untuk selalu menghindari dosa dan kefasikan, serta untuk selalu
menanamkan keutamaan. Jadi, umat selalu diingatkan untuk membuat dirinya
layak sebagai anggota Tubuh Kristus, terlebih bila ia hendak menghadiri
Misa dan menerima Komuni.
Saya pribadi tidak pernah melihat hal tersebut ada di gereja-gereja
Indonesia. Bahkan, di Eropa ada kecenderungan untuk “memperkosa” gereja
dari lukisan, patung, ukiran atau bentuk karya seni lainnya yang
berperan dalam memberikan katekese visual tentang Iman Katolik. Akhirnya
gereja tidak lebih dari sekedar tempat pertemuan dan bukannya rumah
Allah yang dikhususkan untuk menyembah-Nya. Pelajaran pahit yang bisa
kita petik ialah, bila terdapat satu hal saja yang berubah atau hilang
dalam hal iman, maka ia akan mempengaruhi aspek lainnya juga.
Selain itu, beberapa hal lain yang hilang ialah acuan terhadap sesal
tidak sempurna (yaitu rasa sesal terhadap dosa karena takut akan hukuman
api neraka), kesadaran tentang neraka, perlunya mengaku dosa dan
melakukan silih atau penitensi. Hal ini terlihat dari doa tobat yang
terdapat dalam Puji Syukur. Doa tobat yang diajarkan kepada saya waktu
kecil ialah sebagai berikut:
Allah yang maharahim, aku menyesal atas dosa-dosaku.
Sebab patut aku Engkau hukum, terutama sebab aku telah menghina Engkau,
yang maha murah dan maha baik bagiku. Aku benci akan segala dosaku, dan
berjanji dengan pertolongan rahmat-Mu, hendak memperbaiki hidupku dan
tidak akan berbuat dosa lagi. Allah, ampunilah aku orang berdosa ini.
Coba bandingkan teks doa di atas dengan rumusan doa tobat dalam bahasa Inggris yang sekarang selalu saya gunakan:
O my God, I am heartily sorry for having offended Thee, and I detest all of my sins because I dread the loss of heaven and the pains of hell,
but most of all because they have offended Thee, O my God who are
all-good and deserving all my love. And I firmly resolved, with the help
of Thy grace, to confess my sins, to do penance, and to amend my life amen. [ii]
Rumusan doa di atas lebih menggambarkan ajaran tradisional Gereja:
bahwa dosa memiliki konsekuensi untuk menjatuhkan kita ke dalam neraka, bahwa
perlu sekali untuk memiliki sesal terhadap dosa, yang terbagi menjadi
dua: sesal tidak sempurna karena takut akan hukuman api neraka dan
kehilangan surga, dan sesal sempurna yang dilandasi oleh kasih terhadap
Allah.
Anjuran untuk melakukan silih pun juga hilang dari teks doa tobat
yang kita gunakan. Padahal, silih memiliki makna yang mendalam. Berikut
ini beberapa definisi tentang penitensi (silih)
- Menurut St. Thomas Aquinas [iii], penitensi atau silih (satisfaction) merupakan
pembayaran atas hukuman sementara akibat dosa. Jadi, dengan melakukan
penitensi kita berusaha mengurangi waktu kita saat berada di Purgatori.
-
Penitensi merupakan karya silih yang dilakukan seorang penitent yang telah mengakukan dosanya, dengan tujuan melakukan reparation terhadap
keadilan Allah atas dosa kita, karena dosa tersebut menghina dan
melukai Allah. Akibatnya, kita memiliki hutang terhadap keadilan Allah.
Secara sederhana, kalau saya mencuri uang teman saya, tidak cukup bila
saya menyesali dan mengakui dosa tersebut serta mendapat pengampunan
dari teman saya. Saya masih berhutang uang kepadanya hubungan yang telah
rusak ini juga perlu dipulihkan dengan cara saya mengembalikan uang
yang dicuri.
-
Penitensi dapat juga disebut sebagai keutamaan moral adikodrati di
mana individu membenci dosanya dan dengan niat yang teguh berusaha
memperbaiki hidupnya.
Penitensi bisa bermacam-macam, seperti doa, pantang, puasa, juga
bentuk-bentuk lainnya seperti meminta maaf kepada teman, mengembalikan
uang yang dicuri, dst. Bentuknya tergantung pada hakekat dosa yang dilakukan, kemungkinannya untuk melakukan dosa yang sama, kondisi khusus dari penitent, dan kebutuhan untuk menghilangkan kebiasaan buruk.
Penitensi itu seharusnya memberikan rasa tidak nyaman pada kita, karena ada unsur penalty (hukuman) di dalamnya. Hal tersebut didukung oleh St. Augustinus
“Man is forced to suffer even after his sins are forgiven, though it was sin that brought down on him this penalty.
For the punishment outlasts the guilt, lest the guilt should be thought
slight if with its forgiveness the punishment also came to an end” (Tractate 124 on the Gospel of John, no. 5)
Jadi, misalnya kita berpantang, motif kita melakukan ini adalah untuk
menghukum dosa kita, katakanlah dosa ketamakan, dan kita perlu
memastikan apakah sungguh pantang yang kita lakukan itu membuat kita
merasa kehilangan (misalnya mereka yang suka dan sering makan ayam, maka
pantang ayam menjadi hal yang sulit dilakukan). Dengan demikian, maka
sebenarnya kita berusaha lebih dalam mengendalikan diri, khususnya nafsu
kita.
Itu hanya sebagian kecil dari ajaran tentang penitensi yang tampaknya semakin jarang kita dengar.
Ajaran tentang dosa juga mengalami distorsi, hal ini terlihat jelas
dalam buku pegangan Katekumen yang dikeluarkan oleh Komisi Kateketik
Keuskupan Agung Semarang [iv].
Secara tradisional, Gereja mengajarkan bahwa syarat dosa berat ialah
materi atau perbuatannya berat, dilakukan dengan pengetahuan penuh, dan
dilakukan dengan rela. Namun buku tersebut menambahkan satu syarat lagi:
orang lain terkena derita yang besar [v].
Dampak dari penambahan syarat tersebut sangatlah fatal, karena hal
ini akan membuat dosa berat seperti dosa sakrilegi, penghujatan kepada
Allah, pornografi dan masturbasi tidak termasuk dalam dosa berat,
mengingat tidak adanya penderitaan yang dirasakan oleh orang lain dalam
perbuatan dosa tersebut. Hal ini akan membuat umat beriman menjadi
kurang peka terhadap dosa, dan berpikir bahwa hanya dosa yang terlihat
sangat berat (seperti membunuh orang) yang hanya dianggap sebagai dosa
berat, dan ini kecil sekali kemungkinannya untuk mereka lakukan.
Kapan Sebaiknya Mengaku Dosa?
Pelayanan sakramen tobat setiap minggu menjadi hal yang semakin sulit
untuk ditemukan. Sekarang, setiap kali umat mau mengaku dosa di luar
masa Advent dan Prapaskah, maka mereka harus membuat janji terlebih
dahulu dengan imam. Untuk melakukan hal tersebut, diperlukan keberanian
yang besar, karena umat harus rela identitasnya diketahui. Selain itu ia
juga harus menanggung malu mungkin karena mengakui dosa yang sama. Rasa
malu yang lebih besar akan dirasakan apabila dosa yang diakukan adalah
dosa berat. Pada akhirnya, praktek pengakuan dosa rutin hanya terbatas
pada orang-orang tertentu yang sudah memiliki pemahaman iman yang baik.
Umat yang pemahamannya dangkal atau biasa saja, bisa jadi sebenarnya
mereka membutuhkan pengakuan dosa rutin, khususnya mereka yang jatuh
dalam dosa berat atau kebiasan buruk (vice) nya merupakan dosa
berat yang selalu berulang, namun seringkali merasa malu untuk bertemu
imam, apalagi kalau ia mengenal imamnya.
Kewajiban umat Katolik mengaku dosa ialah setahun dua kali, yaitu
pada masa Prapaskah dan masa Advent. Selain itu, bila seseorang jatuh
dalam dosa berat, maka ia perlu menerima Sakramen Tobat sebelum menerima
Komuni. Meskipun demikian, Gereja Katolik menganjurkan untuk mengaku
dosa secara teratur, termasuk mengakui dosa-dosa ringan (Katekismus
Gereja Katolik 1458). St. Fransiskus de Sales menganjurkan kita untuk
mengaku dosa bahkan setiap minggu. Dengan mengakui dosa ringan, kita
tidak hanya menerima absolusi atas dosa, melainkan kita juga menerima
terang untuk menemukan kesalahan kita, serta kekuatan yang besar untuk
menghindari dosa terkecil sekalipun.
St Yohanes Paulus II juga mengaku dosa seminggu sekali. Ia bahkan berkata:
“Merupakan sebuah ilusi bila kekudusan dikejar seturut
panggilan yang diterima dari Allah, tanpa secara sering mengambil bagian
dari sakramen pertobatan dan rekonsiliasi ini. Mereka yang sering pergi
mengaku dosa, dan melakukannya dengan keinginan untuk berkembang, akan
menyadari kemajuan yang mereka lakukan dalam kehidupan rohaninya”[vi]
Paus Emeritus Benediktus XVI juga menganjurkan kita untuk mengaku dosa secara teratur:
“Sangat membantu bagi kita untuk mengaku dosa dengan
teratur. Benar bahwa dosa kita selalu sama; tapi kita membersihkan rumah
kita, ruangan kita, paling tidak sekali seminggu bahkan bila kotorannya
selalu sama, dengan tujuan untuk hidup dalam kebersihan, untuk memulai
kembali. Bila kita melakukan hal yang sebaliknya, kotoran mungkin tidak
dilihat, tapi kotoran tersebut akan bertambah.”[vii]
Sayangnya, praktek pengakuan dosa rutin ini tidak menjadi tradisi
yang biasa dilakukan. Bayangkan apa yang terjadi bila ada umat yang
tidak sempat mengaku dosa dan tidak menerima Komuni? Nama baik umat
tersebut menjadi tercoreng. Mereka tidak menerima Komuni—selain karena
belum Komuni Pertama—terutama karena mereka jatuh dalam dosa berat.
Katekese yang buruk, serta ajaran tentang dosa yang kabur, dapat membuat
umat berpikiran negatif terhadap pendosa malang itu. Bukan tidak
mungkin pula muncul kekhawatiran dalam hati: sebenarnya dosa berat apa
yang ia lakukan? Dengan demikian, pemikiran ini membuat pendosa tersebut
mendapatkan label yang negatif, dan tanpa disadari situasi tersebut
memicu rasa ingin tahu yang tidak sehat, dan karenanya merupakan dosa
yang dilakukan dalam pikiran.
Keuntungan Mengaku Dosa Secara Teratur
Paus Pius XII menyebutkan beberapa hal yang menjadi keuntungan mengaku dosa secara teratur:
It is true that venial sins may be expiated in many ways
that are to be highly commended, but to ensure more rapid progress day
by day in the practice of virtue we want the pious practice of frequent
Confession which was introduced into the Church by the inspiration of
the Holy Spirit to be earnestly advocated. By it genuine
self-knowledge is increased, Christian humility grows, bad habits are
corrected, spiritual neglect and tepidity are resisted, the conscience
is purified, the will strengthened, a salutary self-control is attained,
and grace is increased in virtue of the sacrament itself. Let
those, therefore, among the younger clergy who make light of or lessen
esteem for frequent Confession know what they are doing. What they are
doing is alien to the spirit of Christ and disastrous for the Mystical
Body of Christ.[viii]
Pengenalan diri yang meningkat: Kristus merupakan
tolok ukur manusia yang sejati. Dengan mengaku dosa secara teratur, maka
manusia berusaha untuk melihat seberapa jauh jarak antara dirinya yang
sebenarnya dengan pribadi Kristus. Dosa-dosa kita merupakan jarak yang
semakin memisahkan kita dengan Kristus. Oleh karena itu, pengakuan dosa
secara teratur akan membantu kita untuk semakin mengenal diri kita, dan
karenanya kita juga semakin mengenal Kristus.
Bertumbuhnya kerendahan hati Kristiani: Sikap untuk
mengaku dosa secara teratur, merupakan upaya yang sangat baik dalam
menumbuhkan kerendahan hati. Mengaku dosa merupakan perkara yang
terlihat sulit, karena manusia cenderung untuk mempertahankan gambaran
dirinya yang terlihat baik, dan tentunya ia tidak mau merasa bahwa
dirinya begitu buruk dan hina. Namun, pengakuan dosa membantu kita untuk
bersikap rendah hati—menyadari bahwa kita adalah pengemis di hadapan
Allah, kita bukanlah siapa-siapa, kita membutuhkan kerahiman dan
pengampunan Allah. Oleh karena itu, pengampunan yang selalu kita terima
dari Allah melalui sakramen tobat, akan mendorong kita juga untuk
bersikap rendah hati terhadap sesama, dan karenanya kita menjadi lebih
mudah mengampuni.
Kebiasaan jahat dikoreksi: Tak dapat dipungkiri bahwa ada dosa yang dapat menjadi kebiasaan jahat (vice).
Pengakuan dosa membantu kita untuk terus mengkoreksi kebiasaan jahat
tersebut, mendorong kita untuk terus bertekun dan berjuang mematahkan
kebiasaan jahat tersebut.
Dilawannya sikap penelantaran [kehidupan rohani] dan suam-suam kuku: Tekun
mengaku dosa akan menumbuhkan sikap peduli terhadap kesehatan jiwa
kita. Dosa itu ibarat penyakit, yang kalau tidak segera ditangani, ia
akan menggerogoti fungsi kehidupan manusia, dan karenanya membawa
kematian. Melalui pengakuan dosa rutin, kita belajar untuk menjadi
Katolik yang penuh semangat, bukan sekedar orang Katolik yang
menjalankan kewajiban semata, melainkan orang Katolik yang mau melawan
rasa malas dan sikap yang mengabaikan kehidupan rohani kita.
Suara hati dimurnikan: Pengakuan dosa juga membantu
kita dalam memurnikan hati nurani kita, karena sebelum mengaku dosa, ada
pemeriksaan batin yang mesti kita jalani. Pemeriksaan batin yang
seksama membantu kita dalam menumbuhkan kepekaan akan dosa, dan
karenanya akan semakin mudah bagi kita untuk mengidentifikasi occasion of sin, dan juga dosa-dosa kecil lainnya.
Kehendak dikuatkan: Sejak kejatuhan manusia pertama,
manusia memiliki kecenderungan untuk menjalankan kehendaknya sendiri –
yang sering kali bertentangan dengan kehendak Tuhan. Sakramen tobat
membantu menguatkan kehendak kita, agar kita semakin menghendaki dan
melakukan apa yang menjadi kehendak Allah. Sakramen tobat membantu
manusia untuk semakin menyesuaikan dan membaharui diri agar ia semakin
menyerupai Kristus.
Pengendalian diri yang sehat diperoleh: Kita dapat
memahami dosa sebagai kegagalan diri kita dalam mengatur dan menundukkan
nafsu dan hasrat yang tidak teratur, contohnya ialah hasrat
seksual. Pengakuan dosa menolong kita untuk selalu membaharui resolusi
kita untuk tidak jatuh ke dalam dosa yang sama, dan karenanya membantu
kita dalam upaya mengendalikan diri dari hasrat yang tidak teratur.
Rahmat bertambah sehubungan dengan sakramen itu sendiri: “Terpisah
dari Aku, kamu tidak dapat berbuat apa-apa” (Yoh 15:5), demikian
perkataan Yesus Kristus. Manusia tidak dapat memperjuangkan hidup kudus
dengan kekuataannya sendiri. Ia membutuhkan rahmat, yang mampu
menyempurnakan kodrat manusia. Rahmat ini mengalir dari misteri Paskah
Kristus melalui sakramen-sakramen, termasuk sakramen Tobat. Rahmat yang
diberikan secara cuma-cuma ini memerlukan tanggapan kita.
Dengan mengaku dosa secara teratur, maka kita sungguh memperoleh
manfaat secara rohani ataupun psikologis. Setelah mengetahui hal ini,
apakah kita masih sungkan untuk mengaku dosa secara teratur?
“Aku Datang…untuk Memanggil Orang Berdosa”
Saya akan menutup tulisan ini dengan sebuah kisah nyata. “Imam itu
ialah dokter bagi jiwa”, kata bapa pengakuan saya, seorang Imam Polandia
yang sekarang mungkin sudah berusia lebih dari 70 tahun. Ia tidak
memiliki cerita yang hebat dan luar biasa. Hanya saja, ia melakukan
sebuah hal sederhana—namun esensial bagi panggilannya sebagai imam
Allah—berikut ini: ia secara rutin melayani sakramen tobat setiap hari
sabtu, dan sudah bertahun-tahun ia melakukannya dengan setia.
Jadwal
pengakuan dosa ialah setengah jam sebelum Misa, namun ia sudah tiba di
Gereja satu jam sebelumnya, bahkan ia siap memberikan pengakuan dosa
tidak lama setelah ia tiba di Gereja.
Di salah satu kakinya, ia memiliki penyakit kaki gajah yang tak bisa
disembuhkan, yang mengharuskannya setiap pagi untuk mengganti perbannya.
Meskipun demikian, ia tetap setia mengendarai mobil tuanya menuju ke
gereja tempat ia memberikan sakramen tobat, dengan jarak yang juga tidak
bisa dibilang dekat. Bagi saya, imam tersebut memberikan kesaksian
nyata bahwa ia adalah sungguh gembala sungguh ayah. Ia memberikan
dirinya, kehadirannya, dan karenanya menjadi perpanjangan kasih Allah,
bagi domba-domba yang rindu untuk merasakan kasih dan pengampunan Allah
melalui sakramen tobat.
Kontraskan kisah tersebut dengan para imam, yang bahkan untuk meminta
pengakuan dosa saja dengannya, mengharuskan kita untuk membuat janji
terlebih dahulu. Seorang imam, yang kehadirannya dalam ruang pengakuan
dosa mungkin hanya dua kali—yakni saat masa Prapaskah dan Advent—masih
dapatkah kita sebut ia sebagai gembala yang baik, sebagai seorang ayah
yang siap menyambut kepulangan putra bungsunya?
Yesus menegaskan bahwa Ia datang bukan untuk memanggil orang benar,
melainkan orang berdosa supaya mereka bertobat (Luk 5:32). Semoga
semakin banyak imam yang merasa terpanggil untuk lebih tekun dalam
memberikan pelayanan sakramen tobat. (Sumber: luxveritatis7.wordpress.com)
#sakramentobatiturahmat #mengakudosabukanbahancandaan
#hargaisakramentobat #tobatadalahkasih #jangantakutmengakudosa #pengakuandosamembebaskan #tobatmembawadamai #bertobatituindah #romojugadipanggiluntukmelayani #gerejaharusmendekatkanrahmat #shdariusleka #reels #foryou #fyp #jangkauanluas @semuaorang
Catatan Kaki
[i] Thornton, J.F. & Varenne, S.B. (2008). The Essential Pope Benedict XVI: His Central Writing and Speeches. USA: Harper One
[ii] Rumusan teks doa tobat diambil dari http://www.catholictradition.org/prayers1.htm
[iii] Summa Theologicæ Supplement.12.3
[iv] Hardjana, A.G., Budiyono Hd, A.P., Suparyanto, B., Wibowo, F.X., Susanto, G.M., Suhardiyanto, H.J. (1997). Mengikuti Yesus Kristus 2: Buku Pegangan Calon Baptis. Yogyakarta: Kanisius.
[v] Ibid, hal. 110
[vi] Pope John Paul II. Message
of John Paul II to the participants in the course on the internal forum
organized by the Tribunal of the Apostolic Penintentiary. 27 Maret 2004. Diakses pada Januari 2015 dari http://www.clerus.org/bibliaclerusonline/en/fdm.htm#kh
[vii] Pope Benedict XVI. Catechetical Meeting of Holy Father with children who had received their first communion during the year. Vatican Webste. 15 Oktober 20015. Diakses pada Januari 2015 dari http://w2.vatican.va/content/benedict-xvi/en/speeches/2005/october/documents/hf_ben_xvi_spe_20051015_meeting-children.html
[viii] Pope Pius XII. Mystici Corporis Christi, no. 88. Vatican Website. 29 Juni 1943. Diakses pada Januari 2015 dari http://w2.vatican.va/content/pius-xii/en/encyclicals/documents/hf_p-xii_enc_29061943_mystici-corporis-christi.html
Apakah di paroki St. PAULUS Depok diadakan jadwal pengakuan dosa rutin ? saya terkadang membutuhkan Sakramen itu , tp rasanya berat untuk meminta secara khusus diluar jadwal saat menjelang Paskah dan Natal kepada romo.
BalasHapus