Rabu, 22 Februari 2017

Tepuk Tangan dalam Misa; Ketika Liturgi Bergeser Menjadi Pertunjukan

KOTA DEPOK - Saya pernah duduk di bangku tengah sebuah gereja paroki, mengikuti Misa Minggu pagi. Saat koor menyelesaikan lagu pengantar Komuni dengan harmoni yang memukau, terdengarlah tepuk tangan dari umat. Riuh. Meriah. Seolah-olah kita sedang berada di sebuah konser, bukan dalam perayaan sakral Ekaristi.

Saya terdiam. Bukan karena kagum, tapi karena gelisah. Apakah kita masih tahu mengapa kita datang ke Misa? Apakah kita masih mengerti siapa yang menjadi pusat liturgi?

Kardinal Robert Sarah, dalam refleksinya tentang formasi liturgis, menegaskan bahwa kita harus memeriksa kualitas dan kedalaman pemahaman kita tentang liturgi. Liturgi bukanlah ruang ekspresi bebas, melainkan ruang perjumpaan dengan Allah yang kudus. Maka, setiap tindakan dalam liturgi haruslah mengalir dari iman dan ketaatan, bukan dari selera atau emosi sesaat.

Paus Benediktus XVI (Joseph Ratzinger) dalam The Spirit of the Liturgy menulis dengan tegas:

“Setiap kali tepuk tangan terjadi di tengah liturgi yang disebabkan oleh semacam prestasi manusia, itu adalah tanda yang pasti bahwa esensi liturgi telah secara total hilang, dan telah digantikan dengan semacam pertunjukan religius.”

Tepuk tangan, dalam konteks ini, bukan sekadar gerakan tangan. Ia adalah simbol pergeseran fokus: dari Allah kepada manusia, dari penyembahan kepada apresiasi, dari sakralitas kepada hiburan.

Sebagian umat membela tepuk tangan dengan mengutip Mazmur 47:2:

“Hai segala bangsa, bertepuktanganlah, elu-elukanlah Allah dengan sorak-sorai!”

Namun, Kitab Suci tidak bisa ditafsirkan secara lepas dari Tradisi dan Magisterium Gereja. Liturgi bukanlah ruang bebas tafsir. Ia adalah warisan suci yang dijaga oleh Gereja. Maka, tidak semua ekspresi dalam Kitab Suci dapat serta-merta dimasukkan ke dalam Misa tanpa penegasan liturgis yang sah.

Dalam konteks budaya Indonesia, tepuk tangan lebih sering dimaknai sebagai bentuk apresiasi terhadap performa, bukan sebagai ekspresi penyembahan. Maka, ketika tepuk tangan muncul dalam Misa karena koor yang bagus atau homili yang menyentuh, kita harus bertanya: apakah kita sedang menyembah Allah, atau sedang mengapresiasi manusia?

Fenomena lain yang mengiringi tepuk tangan adalah penggunaan lagu-lagu pop rohani dalam Misa. Lagu-lagu ini sering dipilih karena dianggap “menyegarkan,” “tidak membosankan,” atau “lebih semangat.” Namun, apakah semangat itu berasal dari Roh Kudus atau dari irama yang catchy?

Kardinal Francis Arinze mengingatkan:

“Musik harus mendukung perkembangan iman, muncul dari iman kita dan harus menuntun kita kembali kepada iman. Musik haruslah merupakan doa… Entertainment itu persoalan lain. Kita memiliki aula paroki untuk itu, dan teater. Orang-orang tidak datang Misa untuk dihibur. Mereka datang menyembah Allah…”

Liturgi bukanlah tempat untuk eksperimen musikal. Lagu-lagu dalam Misa haruslah berasal dari sumber yang telah disahkan oleh otoritas Gereja, seperti Puji Syukur atau buku lagu yang disetujui Konferensi Waligereja Indonesia. Menyisipkan lagu-lagu yang tidak sesuai, apalagi yang tidak memiliki nilai teologis yang benar, adalah bentuk penyimpangan liturgis.

Seorang rekan dari komunitas Indonesian Papist pernah berkata bahwa aturan dalam buku Misa bersifat preskriptif—“you do this, you do that”—bukan postskriptif. Artinya, hanya yang tertulis yang boleh dilakukan. Maka, argumen “kan tidak dilarang” menjadi tidak relevan. Justru, menambahkan hal-hal yang tidak diatur adalah bentuk penyalahgunaan liturgi (abuse).

Liturgi adalah milik Gereja, bukan milik pribadi atau komunitas. Kita tidak memiliki otoritas untuk menambah atau mengurangi elemen-elemen dalam Misa. Ketaatan kepada rubrik liturgi adalah bentuk nyata dari ketaatan kepada Gereja dan kepada Kristus sendiri.

Sebagai aktivis kerasulan awam, saya percaya bahwa tugas kita bukan hanya terlibat dalam kegiatan sosial atau advokasi hukum. Kita juga dipanggil untuk menjadi penjaga kesucian liturgi. Kita harus berani bersuara ketika liturgi diselewengkan. Kita harus menjadi suara profetik yang mengingatkan, bukan demi popularitas, tetapi demi kesetiaan kepada Allah.

Liturgi yang benar akan membentuk umat yang benar. Liturgi yang sakral akan melahirkan iman yang kokoh. Maka, mari kita jaga liturgi kita dari segala bentuk penyimpangan, sekecil apapun itu.

Tepuk tangan mungkin terdengar sepele. Tapi di baliknya tersembunyi bahaya besar: pergeseran makna liturgi. Maka, mari kita kembali kepada semangat liturgi yang sejati—yang berpusat pada Allah, yang mengalir dari Tradisi, dan yang dijaga oleh Gereja.

Karena cinta sejati kepada Allah selalu disertai dengan ketaatan. Dan ketaatan dalam liturgi adalah bentuk tertinggi dari penyembahan.

️ Oleh: Darius Leka, S.H., M.H., Advokat & Aktivis Kerasulan Awam Gereja Katolik

 

#liturgikatolik #ketaataniman #kerasulanawam #gerejakatolik #tepuktangandalammisa #wartakasih #imandankebenaran #cintadalamketaatan #katoliksetia #liturgibukanhiburan #shdariusleka #reels #foryou #fyp #jangkauanluas @semuaorang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin