KOTA DEPOK - Saya pernah duduk di bangku tengah sebuah gereja paroki, mengikuti Misa Minggu pagi. Saat koor menyelesaikan lagu pengantar Komuni dengan harmoni yang memukau, terdengarlah tepuk tangan dari umat. Riuh. Meriah. Seolah-olah kita sedang berada di sebuah konser, bukan dalam perayaan sakral Ekaristi.
Saya terdiam. Bukan karena kagum, tapi karena gelisah.
Apakah kita masih tahu mengapa kita datang ke Misa? Apakah kita masih mengerti
siapa yang menjadi pusat liturgi?
Kardinal Robert Sarah, dalam refleksinya tentang formasi
liturgis, menegaskan bahwa kita harus memeriksa kualitas dan kedalaman
pemahaman kita tentang liturgi. Liturgi bukanlah ruang ekspresi bebas,
melainkan ruang perjumpaan dengan Allah yang kudus. Maka, setiap tindakan dalam
liturgi haruslah mengalir dari iman dan ketaatan, bukan dari selera atau emosi
sesaat.
Paus Benediktus XVI (Joseph Ratzinger) dalam The Spirit
of the Liturgy menulis dengan tegas:
“Setiap kali tepuk tangan terjadi di tengah liturgi yang
disebabkan oleh semacam prestasi manusia, itu adalah tanda yang pasti bahwa
esensi liturgi telah secara total hilang, dan telah digantikan dengan semacam
pertunjukan religius.”
Tepuk tangan, dalam konteks ini, bukan sekadar gerakan
tangan. Ia adalah simbol pergeseran fokus: dari Allah kepada manusia, dari
penyembahan kepada apresiasi, dari sakralitas kepada hiburan.
Sebagian umat membela tepuk tangan dengan mengutip Mazmur
47:2:
“Hai segala bangsa, bertepuktanganlah, elu-elukanlah Allah
dengan sorak-sorai!”
Namun, Kitab Suci tidak bisa ditafsirkan secara lepas dari
Tradisi dan Magisterium Gereja. Liturgi bukanlah ruang bebas tafsir. Ia adalah
warisan suci yang dijaga oleh Gereja. Maka, tidak semua ekspresi dalam Kitab
Suci dapat serta-merta dimasukkan ke dalam Misa tanpa penegasan liturgis yang
sah.
Dalam konteks budaya Indonesia, tepuk tangan lebih sering
dimaknai sebagai bentuk apresiasi terhadap performa, bukan sebagai ekspresi
penyembahan. Maka, ketika tepuk tangan muncul dalam Misa karena koor yang bagus
atau homili yang menyentuh, kita harus bertanya: apakah kita sedang menyembah
Allah, atau sedang mengapresiasi manusia?
Fenomena lain yang mengiringi tepuk tangan adalah penggunaan
lagu-lagu pop rohani dalam Misa. Lagu-lagu ini sering dipilih karena dianggap
“menyegarkan,” “tidak membosankan,” atau “lebih semangat.” Namun, apakah
semangat itu berasal dari Roh Kudus atau dari irama yang catchy?
Kardinal Francis Arinze mengingatkan:
“Musik harus mendukung perkembangan iman, muncul dari iman
kita dan harus menuntun kita kembali kepada iman. Musik haruslah merupakan doa…
Entertainment itu persoalan lain. Kita memiliki aula paroki untuk itu, dan
teater. Orang-orang tidak datang Misa untuk dihibur. Mereka datang menyembah
Allah…”
Liturgi bukanlah tempat untuk eksperimen musikal. Lagu-lagu
dalam Misa haruslah berasal dari sumber yang telah disahkan oleh otoritas
Gereja, seperti Puji Syukur atau buku lagu yang disetujui Konferensi
Waligereja Indonesia. Menyisipkan lagu-lagu yang tidak sesuai, apalagi yang
tidak memiliki nilai teologis yang benar, adalah bentuk penyimpangan liturgis.
Seorang rekan dari komunitas Indonesian Papist pernah
berkata bahwa aturan dalam buku Misa bersifat preskriptif—“you do this, you do
that”—bukan postskriptif. Artinya, hanya yang tertulis yang boleh dilakukan.
Maka, argumen “kan tidak dilarang” menjadi tidak relevan. Justru, menambahkan
hal-hal yang tidak diatur adalah bentuk penyalahgunaan liturgi (abuse).
Liturgi adalah milik Gereja, bukan milik pribadi atau
komunitas. Kita tidak memiliki otoritas untuk menambah atau mengurangi
elemen-elemen dalam Misa. Ketaatan kepada rubrik liturgi adalah bentuk nyata
dari ketaatan kepada Gereja dan kepada Kristus sendiri.
Sebagai aktivis kerasulan awam, saya percaya bahwa tugas
kita bukan hanya terlibat dalam kegiatan sosial atau advokasi hukum. Kita juga
dipanggil untuk menjadi penjaga kesucian liturgi. Kita harus berani bersuara
ketika liturgi diselewengkan. Kita harus menjadi suara profetik yang
mengingatkan, bukan demi popularitas, tetapi demi kesetiaan kepada Allah.
Liturgi yang benar akan membentuk umat yang benar. Liturgi
yang sakral akan melahirkan iman yang kokoh. Maka, mari kita jaga liturgi kita
dari segala bentuk penyimpangan, sekecil apapun itu.
Tepuk tangan mungkin terdengar sepele. Tapi di baliknya
tersembunyi bahaya besar: pergeseran makna liturgi. Maka, mari kita kembali
kepada semangat liturgi yang sejati—yang berpusat pada Allah, yang mengalir
dari Tradisi, dan yang dijaga oleh Gereja.
Karena cinta sejati kepada Allah selalu disertai dengan
ketaatan. Dan ketaatan dalam liturgi adalah bentuk tertinggi dari penyembahan.
✍️ Oleh: Darius Leka, S.H., M.H., Advokat &
Aktivis Kerasulan Awam Gereja Katolik
#liturgikatolik #ketaataniman
#kerasulanawam #gerejakatolik #tepuktangandalammisa #wartakasih
#imandankebenaran #cintadalamketaatan #katoliksetia #liturgibukanhiburan #shdariusleka #reels #foryou #fyp #jangkauanluas @semuaorang

Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin