Selasa, 21 Februari 2017

Percobaan Pembakaran Gereja di Palu; Ujian Iman dan Tanggung Jawab Kerasulan Awam

PALU
- Pada dini hari yang sunyi di Jalan Purnawirawan, Tatura Selatan, Kota Palu, nyala api menyentuh pintu depan Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh. Percikan api itu bukanlah simbol Roh Kudus yang menyala dalam hati umat, melainkan percobaan pembakaran oleh tangan tak dikenal—sebuah tindakan yang mengoyak rasa aman dan mengguncang nurani umat beriman.
Peristiwa ini bukanlah insiden tunggal. Sejumlah gereja lain di Palu, seperti Gereja Bala Keselamatan Korps II, Gereja Pantekosta Indonesia Thamrin, Gereja Bethany, dan Gereja Kristen Sulawesi Tengah Immanuel, turut mendapat penjagaan ketat dari aparat keamanan. Bahkan, Gereja KIBAID dan Gereja Advent Hari Ketujuh telah lebih dulu menerima teror serupa.

Langkah cepat aparat keamanan patut diapresiasi. Polres Palu menurunkan personel untuk menjaga gereja-gereja yang dinilai rawan, bekerja sama dengan petugas keamanan internal gereja dan warga sekitar. Namun, hingga kini, motif dan pelaku di balik aksi pembakaran tersebut masih menjadi misteri yang belum terpecahkan.

Sebagai seorang aktivis kerasulan awam, saya tidak bisa tinggal diam menyaksikan peristiwa ini. Gereja bukan sekadar bangunan fisik. Ia adalah simbol kehadiran Allah di tengah umat. Ketika gereja diserang, bukan hanya tembok yang terbakar, tetapi juga rasa aman, persaudaraan, dan nilai-nilai toleransi yang selama ini dijaga bersama.

Dalam Evangelii Gaudium, Paus Fransiskus menegaskan bahwa “tidak ada agama yang membenarkan kekerasan.” Maka, tindakan teror terhadap rumah ibadah, apapun agamanya, adalah bentuk pengkhianatan terhadap martabat manusia dan nilai-nilai ilahi.

Kejadian ini menjadi panggilan bagi kita, kaum awam Katolik, untuk lebih aktif dalam membangun budaya damai dan toleransi. Kerasulan awam bukan hanya soal kegiatan sosial atau liturgi, tetapi juga tentang advokasi keadilan dan perdamaian. Kita dipanggil untuk menjadi jembatan antarumat, menjadi suara yang menolak kekerasan, dan menjadi pelita di tengah kegelapan.

Sebagai advokat, saya percaya bahwa hukum harus menjadi pelindung martabat manusia. Tindakan teror terhadap rumah ibadah harus diusut tuntas, bukan hanya demi keadilan, tetapi juga demi mencegah luka sosial yang lebih dalam. Negara wajib hadir, bukan hanya dengan aparat bersenjata, tetapi juga dengan kebijakan yang menjamin kebebasan beragama dan perlindungan terhadap minoritas.

Di tengah ancaman, umat di Palu tidak menyerah pada ketakutan. Mereka tetap berkumpul, berdoa, dan menjaga gereja bersama. Ini adalah wajah sejati Gereja: communio yang hidup, yang tidak gentar oleh api kebencian, karena tahu bahwa kasih Allah lebih kuat dari segala bentuk kekerasan.

Kita semua, dari Jakarta hingga Palu, dari pusat kota hingga pelosok desa, dipanggil untuk berdiri bersama. Menyuarakan solidaritas, memperkuat jaringan antarumat, dan memastikan bahwa rumah ibadah tetap menjadi tempat damai, bukan sasaran teror.

Percobaan pembakaran gereja di Palu adalah luka yang harus kita rawat bersama. Tapi lebih dari itu, ia adalah panggilan untuk membuktikan bahwa kasih tidak bisa dibakar. Bahwa iman tidak bisa dipadamkan. Dan bahwa kerasulan awam bukan hanya tentang kegiatan internal gereja, tetapi tentang kehadiran aktif di tengah masyarakat—mewartakan kasih dan cinta Allah, bahkan di tengah bara kebencian.

Oleh: Darius Leka, S.H., M.H., Advokat dan Aktivis Rasul Awam Gereja Katolik


#kerasulanawam #gerejakatolik #toleransiberagama #solidaritasiman #wartakasih #imandankeadilan #gerejaadventpalu #lawankekerasan #damaiuntuksemua #cintamengalahkankebencian #shdariusleka #reels #foryou #fyp #jangkauanluas @semuaorang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin