Pemilihan gubernur Jakarta kali ini jadi barometer peta kekuasaan dan arah pergerakan politik Indonesia jelang pemilu legislatif dan pemilu presiden yang akan digelar serentak 2019.
Rabu 15 Februari 2017, Indonesia menggelar pilkada serentak di 101
wilayah, pada tingkat provinsi, kabupaten dan kota di seluruh nusantara.
Jajak pendapat berkaitan dengan Pilkada ini menjadi penting untuk
mengukur kekuatan politik jangka menengah menjelang digelarnya
pemilihan umum nasional 2019. Inilah pemilu serentak yang menjadi acuan
sejarah demokrasi, karena pemilu legislatif nasional dan regional serta
pemilu presiden digelar pada tahun ini.
Dalam pilkada serentak
2017 isu agama menjadi persoalan yang ramai diseret-seret ke ranah
politik. Khususnya upaya ini amat kentara dalam Pilkada di DKI Jakarta,
di saat Gubernur petahana DKI Jakarta, Basuki "Ahok" Tjahaja Purnama,
yang beretnis Tionghoa dan beragama Kristen, maju mencalonkan diri
bertarung melawan dua penantangnya yang beragama Islam. Tiba-tiba saja
"Ahok" diramaikan dan harus menghadapi kasus dugaaan penistaan agama.
Dilansir Asia
Sentinel, beberapa kalangan menilai pertarungan ini tampaknya adalah
konfrontasi tak langsung antara dua kelompok yang berseberangan. Di satu
sisi kelompok Islamis konservatif, yang diduga didukung oleh mantan
Presiden Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono, yang menggulirkan
putranya, Agus Hartimurti Yudhoyono sebagai kandidat gubernur DKI
Jakarta. Melawan kelompok sekularis dipimpin oleh Presiden Joko Widodo
di sisi lainnya, yang disimbolkan oleh sosok Ahok.
Muncul kekhawatiran bahwa periode pasca pilkada dapat dirusak oleh
aksi kekerasan serta benturan horizontal yang mengatasnamakan agama.
Karena itulah, lebih dari 30.000 perwira militer dan polisi akan
dikerahkan selama pilkada berlangsung untuk menjaga keamanan, demikian
dikatakan kata seorang juru bicara polisi seperti dikutip dari Asia
Sentinel.
Prestasi kerja tidak jadi prioritas?
Sebagai
gubernur, Ahok dinilai cukup sukses dan efektif menggulirkan
proyek-proyek infrastruktur yang belum pernah ada sebelumnya. Ia juga
tegas menindak korupsi dan penyalah gunaan wewenang. Namun, gubernur
DKI Jakarta berusia 50 tahun ini juga menjadi sasaran kritik
lawan-lawan politiknya karena kerap menggunakan kata-kata yang
dianggap kasar di televisi.
Inilah yang jadi peluru
buat menghantam gubernur yang tegas hingga bisa meratakan lokasi
pelacuran Kalijodo yang dulu seolah tidak bisa disentuh. Tiba-tiba saja
digelar aksi unjuk rasa besar-besaran terhadap Ahok pada bulan November
dan Desember 2016. Aksi yang didukung Front Pembela Islam (FPI) itu
sempat menimbulkan kekhawatiran bahwa kerusuhan akan menyebar. Dalam
aksi terakhir Sabtu, 12 Februari 2017, polisi polisi menolak untuk
memberikan izin. Namun aksi tetap digelar dan terbatas di Masjid
Istiqal.
Demonstrasi yang telah menarik kerumunan besar dari provinsi di luar
Jakarta, dinilai kalangan analis politik sebagai kebangkitan politik
Islam dan memicu kekhawatiran, bahwa aksi-aksi semacam itu bisa
menggerakan Indonesia ke arah republik Islam. Pemerintahan Joko "Jokowi"
Widodo mencermati ancaman serius tersebut dan mengecam
kelompok-kelompok yang memanfaatkan agama sebagai alat politik untuk
menumbangkan Ahok, yang menjadi gubernur, pasca Joko Widodo naik ke
posisi presiden tahun 2014.
Jokowi menegaskan dalam pidatonya,
ada aktor politik di balik aksi ormas Islam itu. Ia juga mengatakan ada
upaya makar, yang kemudian diikuti dengan aksi penangkapan sejumlah
tokoh. Di lain pihak, walau tidak dituduh langsung, mantan presiden
Suslio Bambang Yudhoyono langsung membantah mendanai aksi-aksi unjuk
rasa. Di media sosial SBY meratapi tuduhan terhadap dirinya dan
memposisikian dirinya sebagai "korban".
Apa yang dipertaruhkan?
"Sebagai
barometer politik di Indonesia, tentu saja Jakarta mendapatkan semua
perhatian, terutama dengan pencalonan Ahok," ujar Siti Zuhro, peneliti
politik senior dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) kepada
media Asia Sentinel.
"Namun, kita perlu menggarisbawahi bahwa
Jakarta membutuhkan pemilu yang adil dan bersih. Terlebih lagi kita
perlu membiasakan diri, dimana pemenang akan menghormati yang kalah dan
orang-orang yang kalah akan mengucapkan selamat dan mendukung pemenang.
Latar belakang etnis dan agama Ahok adalah faktor penting yang dimainkan
oleh lawan politiknya. Tapi saya berpikir bahwa ia membakar sendiri
masalah ini, karena Anda tidak bisa mengatakan itu hanya 'keseleo lidah'
untuk pernyataan yang disebutkan berulang-ulang", ujar peneliti LIPI
itu.
"Banyak kalangan di Jakarta mengatakan bahwa hal tersebut
tidak apa-apa, selama ia melakukan pekerjaan yang baik sebagai gubernur
dan melakukan kinerja kerja yang baik. Jika kita membandingkan dia
dengan para pemimpin lokal lainnya, kita tahu bahwa kita memiliki
pemimpin yang baik lainnya yang bebas dari masalah, jika dibandingkan
dengan Ahok," tambah Siti Zuhro Peneliti LIPI ini memberikan
contoh pemimpin lokal di Surabaya dan Banyuwangi di Jawa Timur, serta di
Bandung di Jawa Barat.
Menurut jajak pendapat Indikator Politik Indonesia, kontroversi
penistaan agama yang dimulai tahun lalu telah secara signifikan merusak
elektabilitas Ahok. Survei terbaru menemukan bahwa 57 persen responden
berpendapat Ahok menghujat agama. Ahok telah menyangkal tudingan itu.
Sementara hanya 27 persen responden yang tidak setuju dengan tuduhan
bahwa Ahok telah menista agama, sementara 15-16 persen sisanya
menyatakan tidak tahu. Survei tersebut juga menunjukkan sebagian besar
responden yang berpendapat Ahok telah melakukan penistaan, berkomitmen
akan memilih calon lain, yakni Anies Baswedan, mantan menteri pendidikan
yang dipecat Joko Widodo.
Namun, jajak pendapat itu mengatakan,
Ahok tetap di posisi terdepan karena banyak pemilih cenderung memilih
dia atas catatan prestasinya sebagai gubernur dalam membenahi kerja
pemerintahan, setelah beberapa dekade penuh kekacauan dan korupsi.
Jajak
pendapat lainnya, yang dilakukan Charta Politika menunjukkan bahwa 39
persen responden mengatakan mereka akan memilih Ahok dan pasangannya
Djarot Saiful Hidayat, sementara Anies yang didukung oleh mantan
presiden Prabowo Subianto mendapat dukungan 31,9 persen,. Paket ketiga,
pasangan Agus H. Yudhoyono dan Sylviana Murni berada di posisi buncit
dengan dukungan 21,3 persen.
Putaran kedua menggiring arah politik
Jajak
pendapat menunjukkan tren bahwa Ahok akan menang pada putaran pertama,
hari Rabu (15/02). Tetapi jika ia gagal untuk mengamankan lebih dari 50
persen suara, maka dalam putaran kedua, ia bakal menghadapi hadangan
hebat. Kemungkinan suara yang tak memilih Ahok pada putaran pertama,
akan beralih memberikan suaranya baik kepada Anies ataupun Agus.
Anak
tertua SBY, Agus Yudhoyono dipensiunkan dari karir militernya yang
menjanjikan menjelang pemilu. Hal ini memicu kritik luas bahwa mantan
presiden SBY berusaha untuk melanggengkan dinasti politiknya. Selain
dilabel sebagai calon yang masih ‘hijau‘, Agus sering dikritik karena
janjinya untuk memberikan bantuan tunai sebesar Rp1 miliar untuk
masing-masing RW sebagai taktik politik uang.
Sementara itu,
Anies Baswedan, yang merupkan pendukung kuat Jokowi di pemilu 2014, kini
merapat ke Prabowo, yang dulu secara terbuka kerap dikritiknya.
Mantan menteri pendidikan yang didukung oleh partai oposisi utama
itu, diam-diam mengeruk keuntungan merebut hati pemilih Muslim yang
tidak senang dengan Ahok yang dituding menista agama Islam.
Dalam
survei-survei teranyar, Anies Baswedan menjadi lawan terberat Ahok.
Seorang petinggi partai Gerindra yang mendnukung Anies Baswedan
membantah bahwa kubu Anies memainkan isu, namun mengakui bahwa Anies
mendekati para pemilih Muslim, di wilayah gusuran yang marah akibat
penggusuran paksa untuk memerangi banjir.
"Anies telah memastikan
dia mendengar suara para korban penggusuran paksa yang mayoritas
Muslim, "ujar Arief Poyuono dari Gerindra, seperti dikutip dari reuters.
Popularitas
Anies Baswedan mulai membumbung sejak Prabowo Subianto, yang kalah
tipis dalam pemilu presiden 2014, pemilu, mulai berkampanye atas
namanya, sementara pemimpin Gerindra itu pun akan kembali ke panggung
politik nasional dalam pemilu 2019, kata Poyuono.
Anies Baswedan
beralih memainkan isu agama dengan harapan memenangkan suara, meskipun
para analis memperingatkan bahwa taktik yang diambil Anies ini
berisiko mengipasi intoleransi yang lebih besar.
"Dengan Ahok
yang bisa dibilang menggalang suara pluralis, tim kampanye Anies dan
pendukung politiknya jelas berfokus pada suara Muslim pada saat
identitas ini telah menjadi semakin terpolarisasi dan dipolitisasi, "
ujar Ian Wilson, dosen di Universitas Murdoch, Australia.
Dikutip
dari Kantor berita reuters, Anies Baswedan, Sabtu (11/02) tampil di
Masjid Istiqlal, dalam aksi yang antara lain digagas FPI dan GNPF MUI di
mana sejumlah tokoh agama mengimbau agar ribuan orang yang menghadiri
doa bersama di masjid itu memilih pemimpin Muslim.
Politik uang dan disharmoni
Dalam pilkada
2017 kali ini, mengapung pula kekhawatiran, bahwa ketatnya persaingan
dapat menyebabkan praktik pembelian suara, demikian
dilontarkan Indonesia Corruption Watch (ICW). Untuk mencegah politik
uang, petugas Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) diharapkan memberi
perhatian khusus bagi daerah miskin, baik sebelum dan pada hari
pemilihan. Penggunaan identitas palsu juga harus diantisipasi.
"Pemerintah
harus secara terbuka mengatasi masalah ini secara permanen, atau kita
semua akan menjadi saksi dari masalah hukum setelah pilkada," ujar Siti
Zuhro peneliti dari LIPI.
Kapolda Jakarta, Inspektur Jenderal M.
Iriawan mengirimkan pesan yang kuat bagi mereka yang akan mengganggu
jalannya pemilihan gubernur DKI Jakarta dan mengganggu ketertiban.
"Tidak boleh ada yang mengacaukan Pilkada Jakarta, jika tidak, mereka
akan berhadapan dengan saya, militer dan semua penduduk kota," ancam
Iriawan. "Jakarta merupakan barometer bagi Indonesia. Pemerintah dan
warga Jakarta menginginkan pemilu yang aman, lancar dan damai,"
tambahnya.
Pasca kejatuhan Soeharto pada tahun 1998 dan masa
transisi Indonesia menuju demokrasi, pola-pola Islam konservatif di
tanah air, yang kerap dipengaruhi oleh gerakan garis keras dari Timur
Tengah, kelihatan semakin memiliki ruang untuk berkembang. Kebebasan
baru itu pula yang telah telah memungkinkan pertumbuhan kelompok garis
keras, seperti Front Pembela Islam (FPI). Pemerintahan yang silih
berganti telah dikritik gagal mengatasi gerakan radikal karena takut
dituduh menyerang Islam.
"Pasca-Soeharto, 'Islamisasi' masyarakat
telah makin signifikan," kata Bonar Tigor Naipospos, wakil kepala
Setara Institute, dikutip dari kantor berita AFP. "Selama itu adalah
untuk meningkatkan ketaatan masyarakat kepada Tuhan, tidak apa-apa, tapi
kami sekarang melihat fenomena yang berbeda, yakni munculnya
radikalisme."
Jika Ahok kalah dalam pilkada dan dipenjara karena
pasal karet penghinaan agama, maka hal itu akan menjadi kemunduran bagi
upaya Indonesia untuk meningkatkan kerukunan dalam masyarakat beragam
etnis dan akan meningkatkan gerakan garis keras, demikian para kritikus
memperingatkan.
(ap/as(asiasentinel/rtr/afp)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin