Jumat, 17 Februari 2017

Yuk, Mengenal Warna-Warna Liturgis

Seringkali, dalam debat mengenai inkulturasi, kita bertumbukan salah satunya dengan masalah penggunaan warna liturgis. Budaya-budaya yang berbeda memaknai warna dengan berbeda pula. Misalnya, kebudayaan Tionghoa menganggap warna merah sebagai warna kemakmuran. Warna putih, dalam kebudayaan Tionghoa dianggap sebagai warna kematian yang kerap dikenakan untuk melayat, sedangkan dalam kebudayaan Barat justru dianggap sebagai warna kesucian yang layak dikenakan dalam upacara pernikahan. Warna hitam, yang dalam kebudayaan Barat melambangkan dukacita, dalam kebudayaan Jawa malah sering digunakan sebagai busana pengantin.

Kenyataan bahwa masyarakat Indonesia itu multikultural lantas menimbulkan argumentasi dalam pemilihan warna liturgis. Padahal, warna-warna ini sebenarnya sudah diatur dalam dokumen Institutio Generalis Missali Romani (Ing.: General Instruction of the Roman Missal, silahkan klik), tepatnya nomor IGMR #346. Semua warna tersebut dipilih karena memiliki makna yang Kristosentris (berpusat pada Kristus).


Yuk, kita tengok makna dari lima warna liturgis dalam Ritus Romawi.

Warna Hijau
Warna hijau dikenakan dalam Masa Biasa (Inggris: Ordinary Time). Masa Biasa ini jatuh sesudah Masa Paskah, mulai Hari Minggu Pentakosta sampai hari Sabtu sebelum Hari Minggu Pertama Masa Adven. Masa Biasa berpusat pada masa tiga tahun karya misi Kristus di tengah masyarakat; ini dilihat dari bacaan-bacaan Injil yang biasanya mengisahkan ajaran-ajaran dan mukjizat-mukjizat Tuhan di bumi.

Warna hijau adalah warna alam dan pepohonan; ia menyerupai warna tunas-tunas muda yang menyembul pada awal musim semi. Ia adalah warna kehidupan dan harapan baru, melambangkan harapan yang ada pada diri kita setelah dicurahkannya Roh Kudus pada hari Pentakosta. Pada hari Pentakosta ini Sang Penolong yang dijanjikan hadir di tengah-tengah kita, dan lahir pulalah Gereja Katolik, yaitu Tubuh Kristus, tanda Kerajaan Allah di bumi, sekaligus satu-satunya Pengantin Perempuan Tuhan.

Warna Merah
Merah sebagai warna liturgis dikenakan pada hari-hari berikut:
  • Hari Minggu Palma
  • Hari Jumat Agung
  • Hari Minggu Pentakosta
  • Perayaan-perayaan Sengsara Tuhan
  • Pesta para rasul dan pengarang Injil (kecuali Santo Yohanes yang tidak dimartir)
  • Perayaan-perayaan para martir
Jika kita cermati, sebagian besar hari-hari itu memiliki persamaan, yaitu DARAH. Warna merah, yang adalah warna darah, merupakan lambang pengorbanan Kristus dan para martir-Nya. Melalui warna merah, kita diingatkan akan Darah Kudus yang telah tercurah bagi kita di kayu salib. Kita yang telah berdosa melawan Dia, telah ditebus-Nya sehingga semua yang percaya pada-Nya beroleh hidup kekal.

Kita pun juga dikuatkan oleh jasa-jasa para martir Gereja. Saat ini mereka sudah hidup bersama Allah di surga, namun senantiasa mendoakan kita, Gereja yang masih berziarah di bumi, agar kelak kita juga bisa ikut merayakan Perjamuan Anak Domba di surga. Warna merah darah para martir memberi kita semangat untuk meniru kesaksian mereka dalam mengikuti Kristus sampai mati.

Selain itu, merah juga melambangkan API, sesuai dengan Hari Raya Pentakosta. Lidah-lidah api adalah lambang Roh Kudus; api inilah yang mengobarkan iman para rasul sehingga mereka berani mewartakan Kristus kepada sahabat maupun musuh. Iman mereka menyala-nyala dan memukau semua yang mendengar kesaksian mereka, sehingga semakin banyaklah jiwa yang dimenangkan bagi Kristus.

Warna Kuning (Emas) atau Putih
Warna kuning (emas) atau putih dikenakan pada:
  • Masa Natal
  • Masa Paskah
  • Perayaan-perayaan Tuhan Yesus (kecuali peringatan sengsara-Nya)
  • Pesta-pesta Santa Perawan Maria, para malaikat, dan para kudus yang bukan martir
  • Pesta Pertobatan Santo Paulus Rasul (25 Januari)
  • Pesta Takhta Santo Petrus Rasul (22 Februari)
  • Kelahiran Santo Yohanes Pembaptis (24 Juni)
  • Pesta Santo Yohanes Rasul dan Pengarang Injil (27 Juni)
  • Hari Raya Semua Orang Kudus (1 November)
  • Misa Arwah (opsional)
Kuning atau putih melambangkan sukacita dan kemenangan, kekudusan dan kemurnian, serta cahaya ilahi. Melalui kedua warna ini, kita diingatkan akan peristiwa-peristiwa gembira dalam kehidupan Tuhan Yesus dan Bunda-Nya, serta juga kesucian para orang kudus yang patut kita teladani. Peristiwa-peristiwa gembira menunjukkan kepada kita bagaimana memperoleh kebahagiaan sejati, yaitu dengan mendengarkan dan mematuhi Kehendak Allah. Kebahagiaan ala Kristen adalah kebahagiaan yang berlandaskan kepercayaan akan janji setia Allah melalui suka dan duka, tidak melulu gejolak emosi yang hanya sementara saja.

Putih juga adalah lambang kebangkitan, maka warna ini digunakan pada Masa Paskah untuk memperingati kebangkitan Kristus seturut Kitab Suci. Warna putih, walaupun boleh dikenakan saat Misa arwah seturut PUMR (versi bahasa Inggris) secara teologis tidaklah tepat untuk mengenakan warna tersebut. PUMR juga tidak memberikan ketentuan warna apa yang harus menjadi prioritas, semua disamakan dalam status opsional. Namun, warna yang seharusnya digunakan ialah warna hitam. Silakan baca artikel berjudul Penggunaan Warna Hitam dalam Liturgi.

Warna Ungu
Warna ungu paling sering dikenakan selama Masa Adven dan Masa Prapaskah, serta juga dapat dikenakan dalam Misa Arwah sebagai pengganti warna hitam.

Warna ungu terutama melambangkan pertobatan dan penitensi. Warna ini, yang disebut juga violet, mengingatkan kita akan bunga violet yang kuntumnya tertunduk ke tanah sebagai simbol kerendahan hati. Masa Prapaskah adalah masa untuk memperbanyak puasa, doa, dan amal kasih; kita dengan rendah hati menyesali dosa-dosa kita sementara menantikan hidup baru di dalam Kristus yang wafat dan bangkit.

Sementara itu, Masa Adven adalah masa penantian akan kelahiran Mesias yang dijanjikan para nabi. Warna ungu pada Masa Adven sesuai dengan warna semburat fajar sebelum terbitnya matahari; dengan penuh harapan kita menunggu datangnya Sang Timur yang akan menghalau kegelapan dosa.
Terakhir, warna ungu pun sesungguhnya warna kerajaan; pada zaman Yesus, ungu merupakan warna yang mahal karena memerlukan zat warna khusus. Jubah warna ungu seringkali dikenakan oleh raja, atau untuk menyambut raja.

Warna Hitam
Warna hitam mungkin sekarang jarang sekali dipergunakan, namun warna ini juga merupakan salah satu warna liturgis Gereja.

Warna hitam biasanya digunakan saat:
  • Peringatan Arwah Semua Orang Beriman
  • Misa Arwah
Hitam adalah warna yang melambangkan duka atas kematian, serta gelapnya makam orang mati. Lalu mengapa Gereja mengenakan warna yang murung ini?

Meskipun iman kita adalah iman yang penuh pengharapan, namun iman kita juga menyadari realita dosa dan penghakiman. Kita tidak dengan serta-merta menghakimi apakah jiwa seseorang masuk neraka atau masuk surga. Kita memang memiliki pengharapan atas kebahagiaan jiwa-jiwa terutama jiwa-jiwa Kristen, namun dengan rendah hati kita juga mengakui bahwa kita tidak mengetahui hasil penghakiman Allah atas jiwa tersebut.

Gereja selalu menekankan bahwa kita semua adalah pendosa yang harus terus bertobat dan memperbaiki diri. Karena itulah, memiliki pengharapan bukan berarti kita tidak berdoa dan bertobat; justru pengharapan inilah yang semestinya mendorong kita agar semakin menyadari kelemahan-kelemahan manusiawi kita di hadapan Allah.

Warna hitam mengingatkan kita akan realita ini, serta kemungkinan terburuk yang kita hadapi apabila kita tidak berusaha hidup kudus. Jika kita menganggap keselamatan itu “otomatis”, kapan kita mau serius mengikuti ajaran-ajaran Kristus? Maka, baiklah kita saling mendoakan dan menguatkan agar kita semua boleh mendapatkan kebahagiaan abadi bersama Allah dan para kudus di surga. Jangan lupa juga untuk mendoakan mereka yang masih berada di Api Penyucian; mereka ini jiwa-jiwa suci yang rendah hati, yang belum merasa pantas untuk menikmati surga sehingga rela dimurnikan terlebih dahulu. Doakanlah supaya Allah berkenan untuk segera menghadiahkan surga kepada mereka.

Warna Rose
Warna rose ini mungkin jarang kita lihat karena tergolong warna opsional (boleh dikenakan, boleh tidak), namun sebaiknya digunakan (silakan membaca artikel berjudul Kasula Rose dan Minggu Sukacita). Warna rose hanya digunakan pada Hari Minggu Ketiga Masa Adven, yang disebut sebagai Minggu Gaudete; dan Hari Minggu Keempat Masa Prapaskah, yang disebut Minggu Laetare. Untuk Masa Adven, kita mungkin ingat bahwa warna rose ini cocok dengan rangkaian lilin Adven, yang terdiri dari 3 lilin ungu dan 1 lilin rose.

Warna rose mengingatkan kita bahwa kita sudah memasuki pertengahan masa penantian kita. Rose adalah warna kebahagiaan, sebab waktu penantian kita tidak lama lagi. Kita meyakini janji setia Allah akan keselamatan yang datang melalui Mesias, yaitu Tuhan kita Yesus Kristus.

Namun perlu diingat bahwa warna rose dikelilingi oleh warna ungu; maksudnya, kita harus tetap menjaga sikap hati dalam suasana tobat dan penyesalan, agar layak dan pantas menyambut kelahiran Mesias, serta kebangkitan-Nya yang membawa keselamatan dan hidup abadi.

Pertanyaan selanjutnya adalah: Mengapa kita perlu mengikuti kaidah-kaidah liturgis seperti ini?
Pertanyaan tersebut dapat dijawab dengan berbagai cara, namun saya ingin mengajak kita merenungkan ini: saat menyembah Allah sebagai satu kesatuan Gereja Universal, maka baiklah kita berbicara dalam satu bahasa. Ya, bahasa itu adalah bahasa Liturgi Suci. Ingat, Allah menceraiberaikan Israel Lama dengan mengacaukan bahasa mereka; selanjutnya, Allah pula yang menyatukan Israel Baru (Gereja) dengan mencurahkan karunia berbahasa. Kini Gereja telah berbicara dengan satu bahasa dalam satu iman dan satu baptisan; baiklah kita dengan rendah hati mempelajari bahasa ini sebagai satu kesatuan Tubuh Mistik Kristus.

Pertama kali ditulis untuk Facebook Page Gereja Katolik, dengan signature Deo Duce. Dikopi dengan beberapa penyesuaian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin