Pertanyaan itu tidak salah. Justru sangat relevan. Sebab,
dalam masyarakat multikultural seperti Indonesia, simbol dan warna bisa
memunculkan makna yang beragam. Namun, di sinilah pentingnya kita memahami
bahwa warna-warna liturgis bukan sekadar estetika atau budaya, melainkan bahasa
universal Gereja yang berakar pada Kristus sendiri.
Gereja Katolik, dalam dokumen Institutio Generalis
Missalis Romani (IGMR #346), telah menetapkan penggunaan warna-warna
liturgis sebagai bagian dari tata perayaan Ekaristi. Warna-warna ini bukan
dipilih secara sembarangan, melainkan karena makna teologisnya yang mendalam
dan berpusat pada Kristus.
Mari kita telusuri makna dari warna-warna liturgis ini,
bukan hanya sebagai informasi, tetapi sebagai undangan untuk merenungkan
misteri iman yang kita rayakan.
Hijau: Warna Kehidupan dan Harapan
Dipakai dalam Masa Biasa, hijau melambangkan kehidupan yang
tumbuh dan harapan yang tak pernah padam. Ia mengingatkan kita pada karya misi
Kristus yang berlangsung dalam keseharian hidup. Dalam warna hijau, Gereja
mengajak kita untuk melihat bahwa mukjizat terbesar bukan hanya terjadi di
altar, tetapi juga dalam kesetiaan kita menjalani hidup sehari-hari bersama
Kristus.
Merah: Darah dan Api
Merah dikenakan pada Hari Minggu Palma, Jumat Agung,
Pentakosta, dan pesta para martir. Ia adalah warna darah—darah Kristus yang
tercurah di salib, dan darah para martir yang menjadi benih Gereja. Tapi merah
juga adalah warna api—api Roh Kudus yang menyala di hati para rasul dan
membakar semangat pewartaan mereka. Dalam merah, kita diingatkan bahwa iman
bukan hanya soal percaya, tetapi juga soal keberanian untuk bersaksi.
Putih dan Emas: Sukacita dan Kemurnian
Warna putih atau emas dikenakan pada hari-hari raya besar
seperti Natal, Paskah, dan pesta para kudus non-martir. Ia adalah warna cahaya,
kemenangan, dan kekudusan. Dalam putih, kita merayakan kebangkitan, kelahiran,
dan kesucian. Ia mengajak kita untuk bersukacita, bukan karena dunia memberi
alasan, tetapi karena Kristus telah menang atas maut.
Ungu: Pertobatan dan Penantian
Ungu dikenakan dalam Masa Adven dan Prapaskah. Ia adalah
warna pertobatan, kerendahan hati, dan penantian. Dalam ungu, kita diajak untuk
menundukkan diri, mengakui dosa, dan membuka hati bagi kedatangan Sang Penebus.
Ungu juga adalah warna kerajaan—mengingatkan kita bahwa yang kita nantikan
bukan sekadar perubahan, tetapi kedatangan Raja Damai.
Hitam: Duka dan Pengharapan
Meski jarang digunakan, hitam tetap menjadi warna liturgis
yang sah, terutama dalam Misa Arwah dan Peringatan Arwah Semua Orang Beriman.
Ia melambangkan duka, kematian, dan kesadaran akan penghakiman. Namun, dalam
iman Katolik, duka tidak pernah berdiri sendiri. Ia selalu ditemani oleh
pengharapan. Hitam mengajak kita untuk mendoakan jiwa-jiwa yang telah
berpulang, dan untuk merenungkan akhir hidup kita sendiri dengan penuh
kesadaran dan pertobatan.
Rose: Sukacita di Tengah Penantian
Warna rose dikenakan hanya dua kali setahun: Minggu Gaudete
(Adven) dan Minggu Laetare (Prapaskah). Ia adalah warna sukacita yang lembut,
tanda bahwa penantian kita hampir berakhir. Dalam rose, Gereja mengajak kita
untuk bersukacita, bukan karena segalanya sudah sempurna, tetapi karena janji
Allah itu pasti.
Sebagian mungkin bertanya, “Mengapa kita harus mengikuti
aturan warna liturgis ini?” Jawabannya sederhana namun mendalam: karena kita
adalah bagian dari satu tubuh, satu iman, satu Gereja universal. Warna-warna
ini adalah bahasa liturgi yang menyatukan kita dalam doa dan perayaan, dari
Vatikan hingga pelosok Papua, dari Basilika Santo Petrus hingga kapel kecil di
pedalaman Kalimantan.
Dalam dunia yang penuh perpecahan, Gereja mengajarkan kita
untuk berbicara dalam satu bahasa iman. Warna-warna liturgis adalah bagian dari
bahasa itu—bahasa yang tidak hanya dilihat, tetapi dirasakan, dihayati, dan
diimani.
Liturgi bukanlah panggung pertunjukan. Ia adalah perjumpaan
dengan Allah yang hidup. Maka, setiap simbol, termasuk warna, harus dimaknai
dengan hati yang terbuka. Dalam warna-warna liturgis, kita tidak hanya melihat
kain yang dikenakan imam. Kita melihat Kristus yang hadir—dalam kehidupan,
pengorbanan, kebangkitan, pengharapan, dan sukacita.
Mari kita pelajari, hayati, dan hormati bahasa liturgi ini.
Karena dalam setiap warna, Gereja sedang berbicara. Dan dalam setiap warna,
Allah sedang menyapa.
✍️ Oleh: Darius Leka, S.H., M.H., Advokat &
Aktivis Kerasulan Awam Gereja Katolik
#warnaliturgikatolik
#kerasulanawam #gerejakatolik #bahasaliturgi #imanyanghidup #wartakasih
#satuimansatubahasa #liturgikristosentris #cintadalamsimbol
#mewartakandenganwarna #shdariusleka #reels #foryou #fyp #jangkauanluas @semuaorang

Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin