Jumat, 03 Maret 2017

Diplomasi Spiritual dan Persaudaraan Lintas Iman: Ketika Raja Salman Bertemu Para Tokoh Agama di Jakarta

JAKARTA
Dalam sejarah diplomasi modern, jarang sekali kita menyaksikan pertemuan yang tidak hanya bersifat politis, tetapi juga spiritual. Pada Jumat, 3 Maret 2017, Indonesia menjadi tuan rumah bagi sebuah peristiwa penting: pertemuan antara Presiden Joko Widodo dan Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz Al Saud dengan 28 tokoh lintas agama di Hotel Raffles, Jakarta Selatan. Pertemuan ini bukan sekadar seremoni, melainkan simbol kuat dari semangat persaudaraan lintas iman yang menjadi fondasi peradaban Indonesia.

Menurut Kepala Biro Pers Media dan Informasi, Bey Machmudin, pertemuan tersebut dihadiri oleh sembilan tokoh Islam, empat tokoh Kristen Protestan, empat tokoh Katolik, empat tokoh Buddha, empat tokoh Hindu, dan tiga tokoh Konghucu. Dari Gereja Katolik, hadir Mgr. Ignatius Suharyo, Mgr. Antonius Subianto OSC, Mgr. Paskalis Bruno Syukur OFM, dan Prof. Franz Magnis Suseno—empat figur yang telah lama menjadi suara moral dan spiritual dalam kehidupan berbangsa.

Kehadiran tokoh-tokoh lintas agama ini menunjukkan bahwa Indonesia bukan hanya negara demokratis, tetapi juga negara yang menjunjung tinggi pluralisme. Dalam konteks kerasulan awam, pertemuan ini menjadi panggilan bagi umat Katolik untuk terus terlibat aktif dalam membangun dialog, kerja sama, dan solidaritas lintas iman.

Raja Salman, sebagai pemimpin dari pusat spiritual dunia Islam, tidak hanya datang membawa agenda politik dan ekonomi, tetapi juga pesan damai. Dalam pertemuan tertutup itu, ia menyampaikan apresiasi terhadap kerukunan umat beragama di Indonesia. Sebuah pengakuan yang penting, mengingat Arab Saudi selama ini kerap dikaitkan dengan konservatisme keagamaan.

Sebagai aktivis kerasulan awam, saya melihat bahwa diplomasi spiritual seperti ini adalah bentuk baru dari evangelisasi sosial. Gereja Katolik, melalui para pemimpinnya, hadir bukan untuk menguasai, tetapi untuk bersaksi. Dalam terang ajaran Konsili Vatikan II, khususnya dokumen Nostra Aetate, dialog antaragama adalah bagian dari misi Gereja untuk membangun dunia yang adil dan damai.

Pertemuan ini juga menjadi pengingat bahwa persaudaraan lintas iman bukanlah utopia. Ia nyata, hidup, dan bisa dibangun. Tokoh-tokoh seperti Din Syamsuddin, Yenny Wahid, Bhikku Sri Pannyavaro, Wisnu Bawa Tenaya, dan Uung Sendana telah lama menjadi jembatan antar komunitas. Gereja Katolik, melalui ormas seperti FMKI, WKRI, ISKA, dan Pemuda Katolik, juga terus berperan aktif dalam membangun ruang dialog dan kerja sama.

Dalam dunia yang semakin terpolarisasi, pertemuan ini adalah oase. Ia menunjukkan bahwa perbedaan tidak harus menjadi sumber konflik, tetapi bisa menjadi kekuatan untuk membangun peradaban kasih.

Pertemuan Raja Salman dengan para tokoh lintas agama di Jakarta adalah pesan kuat dari Indonesia untuk dunia: bahwa keberagaman adalah kekayaan, bukan ancaman. Bahwa agama, jika dijalankan dengan hati yang terbuka, akan menjadi kekuatan pemersatu, bukan pemecah.

Mari kita terus mewartakan kasih dan cinta Allah kepada dunia, melalui dialog, kerja sama, dan kesaksian hidup. Sebab, seperti yang diajarkan Kristus, “Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah” (Mat. 5:9).

️ Oleh: Darius Leka, S.H., M.H., Advokat & Aktivis Kerasulan Awam Gereja Katolik

 

#kerasulanawam #gerejakatolik #rajasalmandiindonesia #dialoglintasagama #peradabankasih #nkrihargamati #wartakasih #imanyanghadir #diplomasispiritual #gerejayangterlibat #shdariusleka #reels #foryou #fyp #jangkauanluas @semuaorang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin