Rabu, 08 Maret 2017

Merajut Kebersamaan dalam Kebhinekaan; Tanggung Jawab Iman di Tengah Keberagama

KOTA DEPOK
Di tengah derasnya arus globalisasi dan menguatnya politik identitas, Indonesia tetap berdiri sebagai bangsa yang dibangun di atas fondasi keberagaman. Namun, keberagaman itu bukan tanpa tantangan. Konflik yang mengatasnamakan suku, agama, ras, dan antargolongan masih kerap terjadi, menguji komitmen kita terhadap semboyan luhur: Bhinneka Tunggal Ika.

Dalam diskusi publik bertajuk “Merajut Kebersamaan dalam Kebhinekaan dan NKRI” yang digelar di GKPS Depok pada 6 Maret 2017, para tokoh lintas agama berkumpul untuk menyuarakan harapan dan refleksi atas pentingnya merawat persatuan dalam keberagaman. Sebuah pertemuan yang bukan hanya simbolik, tetapi juga strategis dalam membangun peradaban kasih di tengah masyarakat yang majemuk.

Pdt. Dr. Alexius Letlora, Ketua Umum PGI-S Kota Depok, menegaskan bahwa perbedaan bukanlah ancaman, melainkan peluang untuk saling belajar dan bertumbuh. “Dampak positif perbedaan adalah dorongan untuk mempelajari dan menemukan sisi-sisi universal yang menunjang hidup bersama,” ujarnya. Dalam konteks umat Kristiani, kehadiran di tengah masyarakat Depok harus menjadi berkat—membawa rahmat dan damai sejahtera.

Sebagai aktivis kerasulan awam, saya melihat bahwa pesan ini sangat sejalan dengan ajaran Gereja Katolik. Dalam dokumen Gaudium et Spes, Konsili Vatikan II menegaskan bahwa Gereja dipanggil untuk hadir di tengah dunia, menjalin dialog dengan semua orang, dan menjadi saksi kasih Allah dalam realitas sosial yang konkret.

Rais Syuriah NU Kota Depok, K.H. Drs. Zainuddin Maksum Ali, memberikan kesaksian yang menggugah. Ia menceritakan bagaimana keluarganya mencerminkan keberagaman Indonesia: dirinya dari Jawa Timur, istrinya dari Nias yang mayoritas Kristiani, anak-anaknya menikah dengan keturunan Cina dan Arab. “Kalau orang Indonesia tidak makan bersama karena agamanya berbeda, itu bukan NKRI,” tegasnya.

Lebih jauh, Kiai Zainuddin menekankan bahwa cinta kasih tidak boleh dibatasi oleh identitas agama atau etnis. “Sebenarnya kita satu iman, hanya beda agama,” katanya. Ini adalah pernyataan yang mencerminkan kedalaman spiritualitas Islam yang rahmatan lil alamin—Islam yang membawa rahmat bagi seluruh alam.

Sebagai bagian dari masyarakat Indonesia, Gereja Katolik tidak bisa tinggal diam. Kerasulan awam adalah panggilan untuk terlibat aktif dalam membangun masyarakat yang adil, damai, dan inklusif. Dalam terang ajaran sosial Gereja, keberagaman adalah anugerah, dan persatuan adalah tugas bersama.

Forum Masyarakat Katolik Indonesia (FMKI) Kota Depok, yang turut hadir dalam diskusi ini, menjadi contoh konkret bagaimana umat Katolik dapat menjadi jembatan dialog dan pelaku rekonsiliasi. Melalui kegiatan sosial, pendidikan, dan advokasi, FMKI terus menegaskan bahwa iman harus diwujudkan dalam tindakan.

Diskusi di GKPS Depok bukan sekadar forum wacana. Ia adalah pernyataan iman, harapan, dan cinta. Bahwa Indonesia hanya akan kuat jika kita bersatu dalam keberagaman. Bahwa agama, jika dijalankan dengan hati yang terbuka, akan menjadi kekuatan pemersatu, bukan pemecah.

Mari kita terus merajut kebersamaan, membangun jembatan, dan mewartakan kasih Allah kepada dunia. Sebab, seperti yang diajarkan Kristus, “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (Mat. 22:39).

️ Oleh: Darius Leka, S.H., M.H., Advokat & Aktivis Kerasulan Awam Gereja Katolik

 

#kerasulanawam #gerejakatolik #bhinnekatunggalika #toleransiindonesia #imanyanghadir #peradabankasih #gerejayanghadir #dialoglintasagama #wartakasih #nkrihargamati #shdariusleka #reels #foryou #fyp #jangkauanluas @semuaorang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin