Oleh: Komaruddin Hidayat
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
@komar_hidayat
HARI-hari ini muncul opini sangat kuat bahwa agama
menjadi sumber keresahan dan kekerasan di berbagai belahan dunia.
Betulkah demikian?
Karen Amstrong, mantan biarawati yang
sekarang paling aktif melakukan kajian sejarah agama-agama dan sangat
produktif menulis buku tebal-tebal, secara tegas menyatakan "tidak". Ini
bisa dibaca dalam karyanya Fields of Blood: Religion and the History of Violence (2014) yang sudah dialihbahasakan dan diterbitkan Mizan (2016).
Menurut
sejarawan militer, dalam setiap peperangan terdapat banyak faktor yang
terlibat di dalamnya seperti faktor sosial, materiil, dan ideologis yang
saling berhubungan. Dari semua itu alasan utamanya adalah berebut
sumber daya yang langka.
Begitu pun terorisme tak bisa
disederhanakan sebagai kekerasan agama meskipun sentimen agama terlibat
di dalamnya. Mereka yang sudah terbentuk alam pikirnya dengan paham
sekuler yang antiagama pun menjadikan agama sebagai kambing hitam, lalu
melepaskannya ke padang gurun politik.
Mereka mengklaim bahwa
monoteisme sangat tidak toleran dan agama tak mengenal kompromi. Mereka
lupa bahwa perang dunia yang menciptakan trauma sejarah itu tidak dipicu
agama.
Dulu pernah Kerajaan Islam berjaya, melampaui kekuasaan
Barat. Tapi semua negara yang hanya mengandalkan pertanian pada akhirnya
akan kehabisan sumber daya intrinsik yang terbatas, yang akan
menghambat laju inovasi. Hanya bangsa dan negara industri yang jauh
lebih berpeluang membuat kemajuan melampaui kebutuhan zamannya.
Mungkin
ini yang menyebabkan kejayaan ilmu pengetahuan di dunia Islam terhenti
atau jauh ketinggalan dari Barat. Di sini faktor sains dan militer
sangat berperan, bukannya masalah agama.
Perlawanan agama muncul
dengan kehadiran modernitas yang menguasai hampir seluruh lini
kehidupan, lalu agama terpinggirkan. Ini dirasakan baik oleh Yahudi,
Kristen maupun Islam. Kekuatan agama ingin mengembalikan romantisme masa
lalu yang kemudian disebut sebagai kebangkitan fundamentalisme.
Istilah
kembali ke fundamen ini dicetuskan Protestan Amerika tahun 1920, yang
kemudian dilekatkan pada semua gerakan keagamaan yang antimodernitas.
Gerakan fundamentalisme ini awalnya hanya sedikit yang melakukan
kekerasan. Gerakan ini dipicu rasa takut dan terancam atas kekuatan
sekuler yang akan menghancurkan kekuatan agama. Semacam paranoid.
Komunitas Yahudi selalu mengenang pengalaman sangat pahit dari kekuasaan Hitler yang mau menghabisi mereka.
Dalam
sejarah Islam, kejatuhan Dinasti Usmani yang berpusat di Turki juga
meninggalkan tragedi berkelanjutan bagi dunia Islam di hadapan kekuatan
Barat yang agresif. Inggris dan sekutunya dengan seenaknya membagi dunia
Islam menjadi negara-negara kecil berdasarkan kesukuan dan kebangsaan,
suatu pengalaman baru yang dipaksakan, jauh di luar jangkauan tradisi
dan nalar umat Islam.
Mereka terkondisikan menghadapi dua
kekuatan sekaligus, yaitu berhadapan dengan Barat yang agresif untuk
menguasai sumber daya alam dan merusak tradisi mereka, dalam waktu yang
sama juga dihadapkan pada persaingan militer dengan negara-negara
tetangganya yang dahulu satu rumpun agama dan kekuasaan di bawah Turki
Usmani.
Kisah tragis yang diciptakan Barat juga menimpa India
yang kemudian melahirkan pecahan Pakistan dan Bangladesh. Dalam berbagai
konflik itu sesungguhnya agama berposisi pinggiran, bahkan dimanipulasi
seperti yang dilakukan Amerika masuk ke Afghanistan untuk menghadang
pengaruh Rusia dengan mengerahkan tentara Pakistan dan umat Islam lain
dengan dalih agama, bagaikan David melawan Goliat. Sebuah jihad suci
melawan kekuatan anti-Tuhan.
Jadi, kata Amstrong, agama itu bagaikan cuaca yang bisa berubah-ubah.
Atau metafor kambing hitam sebagai penebus dosa manusia. Setiap kali ada
keributan, lalu ramai-ramai menunjuk biangnya adalah "kambing hitam"
agama untuk disembelih.
Gejala ini juga bisa dimaklumi mengingat
ketika terjadi perebutan kekuasaan, misalnya pilkada atau pemilu, isu,
simbol dan sentimen agama sangat manjur sebagai sarana bertahan atau
melancarkan serangan terhadap lawannya.
_______________
Sumber: www.sindonews.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin