24 Maret tiga puluh tujuh tahun yang lalu, dunia kehilangan
seorang pemuka agama yang mengabdikan hidup dan keimanannya pada kaum
miskin dan perjuangan untuk keadilan.
Pemuka agama itu adalah Uskup Agung San Salvador, Oscar Arnulfo
Romero. Dia ditembak tepat di jantungnya ketika baru saja usai berkotbah
di sebuah gereja. Hingga sekarang, pembunuhnya tidak pernah diseret ke
pengadilan.
Untuk menjejaki perjuangan suci Oscar Romero, silahkan tonton film lawas berjudul Romero karya sutradara John Duigan. Film yang diproduksi tahun 1989 memperlihatkan dua sisi dalam gereja El Salvador kala itu.
Sisi pertama adalah sisi progressif, yaitu para pemuka agama yang
memihak rakyat tertindas dan menentang pemerintahan militer yang
disokong oleh Amerika Serikat. Mereka ini banyak diilhami oleh ajaran
teologi pembebasan.
Sisi yang kedua adalah konservatif, yang memilih bersekutu secara
halus maupun vulgar dengan pemerintahan militer. Mereka berkhotbah bahwa
gereja harus bebas dari politik dan bersikap netral terhadap keadaan.
Awalnya, Oscar Romero berada di kubu konservatif. Dia bersikap bahwa
gereja harus berada di tengah alias netral dalam pergolakan politik yang
tengah melanda El Salvador. Dia juga mengeritik imam yang mengagitasi
rakyat dengan pikiran-pikiran radikal.
Namun, beberapa peristiwa mengubah haluan Sang Uskup Agung. Pertama,
pembunuhan seorang imam Jesuit pembela kaum tertindas, Rutilio Grande,
oleh pembunuh bayaran yang dipakai oleh pemerintahan militer. Untuk
diketahui, Romo Grande adalah kawan dekat Romero.
Kedua, penangkapan, penyiksaan dan pembunuhan terhadap para imam dan
pejuang keadilan yang seringkali berlangsung di depan mata Romero.
Kemana saja ia berjalan, di kanan-kirinya adalah jeritan rakyat El
Salvador yang disiksa dan dibunuh secara keji oleh rezim militer, hanya
karena mereka membicarakan dan memperjuangkan hak-haknya.
Dalam sekejap, konservatisme Romero melenyap total. Dalam sekejap
pula ia tegas menyakini bahwa tugas melayani Tuhan seharusnya tidak
terpisahkan dengan tugas melayani Rakyat yang notabene adalah anak-anak
Allah. Bahwa misi gereja seharusnya adalah memihak si miskin dan
berjuang bersama mereka untuk tegaknya keadilan.
Isi kotbah Uskup Romero berubah jadi progressif. Dia tidak hanya
mengutuk penganiayaan terhadap rakyat, tetapi juga mempersoalkan
ketidakadilan ekonomi. “Aku percaya ketidakadilan ekonomi adalah akar
dari masalah-masalah kita,” kata Romero.
Pergeseran pandangan Romero tentu saja mengusik pemerintahan militer.
Terlebih lagi, Romero sebagai Uskup Agung El Salvador menolak
menghadiri dan memberi pemberkatan saat pelantikan pemerintahan junta
militer. Baginya, kehadiran Uskup Agung bisa dimaknai sebagai dukungan
terhadap berbagai tindakan pemerintahan militer yang menganiaya rakyat.
Tidak hanya itu, dia juga mengecam tentara yang telah mengabaikan Sabda Allah: jangan membunuh.
Menurut dia, tentara tidak wajib mematuhi perintah yang berlawanan
dengan hukum ilahi. Dia berseru kepada tentara dan paramiliter: “Demi
Allah, demi rakyat yang teraniaya, yang jeritan-tangisnya sampai ke
Surga, saya memohon dengan sangat kepadamu, saya meminta kepadamu, saya
memerintahkanmu: Hentikan penindasan!”
Sebetulnya, melalui film ini, kita juga diperlihatkan wajah bengis
rezim militer. Tidak hanya menganiaya rakyat, tetapi juga
menginjak-injak simbol-simbol keagamaan dan gereja. Diperlihatkan
tentang gereja yang diambilalih tentara dan dijadikan barak. Ketika
Uskup Romero hendak mengambilalih kembali gereja itu, tentara menembaki
peralatan peribadatan gereja secara membabi-buta.
Yang menarik juga, kendati menyerukan perlawanan terhadap
kediktatoran, Uskup Romero menolak metode perjuangan bersenjata yang
dilakukan oleh gerilyawan kiri. Dia menolak jalan kekerasan karena
mengabaikan kekuatan cita dan doa.
Lebih jauh, dia juga tidak setuju dengan perkawinan marxisme dengan teologi pembebasan.
Menurutnya, materialisme marxisme jelas ateis dan
membuat penafsiran salah terhadap agama. Dia juga tidak setuju dengan
pendekatan politik marxisme yang mengedepankan perjuangan kelas dan
kekerasan.
Saya kira, Romero hendak menunjukkan bahwa, tanpa andil marxisme
sekalipun, ajaran Kristus sebetulnya sudah progressif. Bahwa membela dan
memperjuangkan si miskin adalah tugas keimanan setiap pengikut Kristus.
Pada 24 Maret 1980, seorang pembunuh dikirim oleh pemerintah militer
untuk membunuh Uskup Romero. Kematian Romero mengagetkan dunia dan
rakyat El Salvador. Prosesi pemakamannya, pada 30 Maret 1980, dihadiri
oleh ratusan ribu orang.
Rupanya, perhitungan rezim militer bahwa pembunuhan Romero akan
mengakhiri perlawanan benar-benar meleset. Faktanya, kematian Romero
justru menginspirasi perlawanan semakin berlipat-ganda.
Pada bulan Oktober 1980, berbagai kelompok perlawanan sepakat membentuk Frente Farabundo Martà para la Liberación Nacional
atau Front Pembebasan Nasional Farabundo Marti (FMLN). Sejak Januari
1981, FMLN mengobarkan perang gerilya besar-besaran untuk menggulingkan
rezim militer.
Perang besar itu berkobar selama 12 tahun, yang menyebabkan 75 ribu
rakyat El Salvador tewas.
Menurut PBB, sebanyak 85 persen dari korban
itu dibunuh oleh militer dan pasukan pembunuh pemerintah. Sedangkan 5
persen tewas di tangan FMLN.
Tahun 1992, perjanjian damai diteken. FMLN berubah menjadi partai
politik. Sedangkan militer dan pendukungnya sejak 1981 membentuk partai
sendiri, yakni Aliansi Republikan Nasionalis (ARENA).
ARENA mengontrol
politik El Salvador sejak 1980-an hingga tahun 2000-an.
Tahun 2009, FMLN memenangi pemilu. Kandidat FMLN, Mauricio Funes,
terpilih sebagai Presiden. Untuk pertamakalinya dalam sejarah El
Salvador, dinasti kaum kaya dan militer berhasil disingkirkan dari
kekuasaan politik.
Sayang, hingga sekarang pelaku pembunuhan Uskup Romero belum pernah
diseret ke pengadilan. Padahal, terang sekali bahwa pembunuhan Romero
terkait dengan sikap kritisnya terhadap pemerintahan militer.
Pada tahun 1993, Komisi Kebenaran PBB untuk El Salvador sudah
menyimpulkan: ada bukti yang sangat jelas bahwa Roberto D’Aubuisson
telah memberikan perintah untuk membunuh Uskup Agung. Roberto
D’Aubuisson adalah bekas perwira di zaman itu dan belakangan menjadi
pendiri partai ARENA.
Memang, Roberto D’Aubuisson meninggal tahun 1992. Namun, upaya
penyelidikan terhadap pembunuhan Romero tidak berhenti. Sebab, bisa
dipastikan bahwa Roberto D’Aubuisson tidak bertindak sendiri. Dia
menjadi bagian dari rezim militer saat itu.
Oh, iya, untuk menghormati Uskup Romero, tanggal 24 Maret (hari
kematiannya) sudah ditetapkan oleh PBB sebagai Hari Internasional untuk
Hak atas Kebenaran korban pelanggaran HAM dan martabat korban.
______________________________________
Darius Leka, SH/ Sumber: www.berdikarionline.com/ Foto: Istimewa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin