Segalanya bermula di Batujajar, markas Resimen Para Komando Angkatan Darat
(RPKAD)—cikal bakal Kopassus. Di sinilah Benny Moerdani, Dading Kalbuadi, dan
Aloysius Sugianto ditempa. Mereka bukan sekadar rekan seangkatan, tetapi juga
saudara seperjuangan yang dibentuk oleh semangat revolusi dan idealisme
kemerdekaan.
Benny, yang belum pernah ikut latihan terjun payung, berhasil memimpin
pasukan merebut Bandara Pekanbaru dalam sebuah operasi. Keberaniannya
membuatnya disematkan wing penerjun oleh atasannya. Momen itu diabadikan oleh
Dading, sahabatnya, yang kelak menjadi komandan lapangan dalam Operasi Seroja.
Namun, sejarah tak selalu berjalan mulus. Peristiwa Kranji 1955 menjadi noda
dalam tubuh RPKAD. Ketika Mayor R.A. Djaelani menyeret pasukannya dalam manuver
politik, para prajurit merasa dikhianati. Kekacauan pecah di asrama Batujajar.
Benny, yang baru pulih dari perawatan, menjadi satu-satunya perwira yang
dipercaya oleh prajurit yang marah. Dengan ketegasan dan ketenangan, ia
mencegah pertumpahan darah. “Taruh, taruh itu semua senjata!” serunya. Dan para
prajurit pun menyerah.
Peristiwa ini menunjukkan karakter Benny: pemimpin yang dihormati karena
integritas, bukan pangkat. Ia tak melupakan mereka yang setia. Ketika Kolonel
Moeng hendak menyingkirkan prajurit-prajurit cacat, termasuk Agus Hernoto yang
kehilangan kaki dalam operasi di Irian Barat, Benny berdiri membela mereka.
Namun sikap ini membuatnya dikeluarkan dari RPKAD.
Setelah didepak, Benny ditampung oleh Ali Moertopo dan masuk ke dunia
intelijen. Bersama Sugianto, ia menjadi agen lapangan di Asia Tenggara. Mereka
terlibat dalam operasi-operasi rahasia, termasuk Operasi Komodo dan
Flamboyan—dua strategi berbeda untuk menyatukan Timor Portugis ke dalam
pangkuan Indonesia.
Dalam Operasi Seroja, Benny, Dading, Sugianto, dan Agus kembali bersatu.
Dading memimpin pasukan elit, Agus menjadi perwira intel lapangan, dan Benny
mengatur strategi dari pusat. Mereka bukan hanya prajurit, tetapi juga sahabat
yang saling menjaga. “Ini mungkin one way ticket,” kata Benny kepada Dading.
Tapi Dading menjawab, “Sudahlah Ben, tak apa-apa. Saya kerjakan... tapi tolong,
titip keluarga saya, kalau nanti saya tidak kembali.”
Dading kembali dengan selamat. Ia, Benny, dan Agus menjadi legenda di kalangan
baret merah. Mereka bukan hanya pejuang, tetapi juga manusia yang setia pada
nilai, pada sahabat, dan pada bangsa.
Sebagai aktivis kerasulan awam, saya melihat kisah ini bukan hanya sebagai
sejarah militer, tetapi juga sebagai kisah iman. Di tengah medan tempur, para
prajurit ini mempertaruhkan nyawa bukan hanya demi tanah air, tetapi juga demi
nilai-nilai luhur: kesetiaan, keberanian, dan pengorbanan.
Dalam terang Injil, Yesus berkata, “Tidak ada kasih yang lebih besar
daripada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya”
(Yohanes 15:13). Benny, Dading, dan Agus telah menunjukkan kasih itu—dalam
bentuk yang paling konkret dan heroik.
Kini, tugas kita sebagai kerasulan awam adalah mewarisi semangat mereka.
Kita mungkin tidak berada di medan tempur, tetapi kita berada di medan sosial,
ekonomi, hukum, dan kemasyarakatan. Kita dipanggil untuk menjadi pejuang kasih,
pembela keadilan, dan penjaga martabat manusia.
Karena pada akhirnya, sejarah bukan hanya untuk dikenang, tetapi untuk
dijadikan inspirasi. Dan kasih Allah bukan hanya untuk diimani, tetapi untuk
diwujudkan—di mana pun kita diutus.
Oleh: Darius
Leka, S.H., M.H., Advokat dan Aktivis Kerasulan Awam Gereja Katolik
#kerasulanawam #gerejauntukbangsa #bennymoerdani #operasiseroja #imandanpengabdian #gerejakatolikindonesia #cintaallahuntukdunia #intelijendaniman #baretmerah #sejarahdankerasulan #shdariusleka #reels #foryou #fyp #jangkauanluas @semuaorang

dari sekian banyak tokoh-tokoh (dalam narasi di atas), mungkin hanya tinggal pak Sugianto. tokoh yang lain sudah meninggal. sy baru saja temu Beliau
BalasHapus