Selasa, 21 Maret 2017

Vita Quaerens Fabulam (Hidup harus dinarasikan)


Kita tidak bisa melupakan pernyataan Sokrates yang paling terkenal ini: "the unexamined life is not worth living". Hidup yang tidak teruji, tidak layak untuk dijalani. 

Dalam pandangan modern, keyakinan ini sering dikaitkan juga dengan dimensi naratif kehidupan kita. "Life in quest of narrative", kalau dilihat dari perspektif Paul Ricoeur. Hidup yang tidak dikisahkan kembali, akan dilupakan begitu saja, dan dengan demikian, hidup seperti ini menjadi tidak penting. "Un-narrated life is not worth living".

Hidup yang dijalani sebaiknya dinarasikan kembali, karena di satu pihak, melalui narasi, hidup memilik kisah, mempunyai ceritera dan sejarah (life has story); dan dipihak lain, setiap kisah, ceritera dan sejarah yang dinarasikan kembali, tentu  selalu berkaitan tentang suatu kehidupan (story has life).

Sering kita memisahkan antara hidup dan narasi. Bahwa hidup itu dijalani/dihidupkan (life is lived), sedangkan narasi adalah bagian dari suatu kisah (a story is told). Sesungguhnya, keduanya tidak boleh dilihat demikian.  Hidup harus dinarasikan agar terbuka kemungkinan bagi kita untuk sanggup menjalani hidup kita dengan lebih baik. Dan melalui narasi tentang hidup, kita dihantar masuk ke dalam dunia kreativitas dan imajinasi yang baru. Pengalaman hidup kita sebagai manusia tidak boleh dipisahkan dari kesanggupan naratif kita untuk mengisahkan kembali jalan-jalan kehidupan ini.

Kita menyadari bahwa masih banyak kisah hidup yang belum diceriterakan (stories not yet told). Mereka menuntut kita untuk mengisahkannya kembali. Kita tentu tidak suka mendasarinya  pada suatu narasi fiktif, tetapi pada narasi nyata yang kreatif. Sebuah fiksi hanya menjadi lengkap bila ia dipertautkan dengan  kehidupan nyata, dan setiap kehidupan nyata  hanya menjadi sempurna apabila dinarasikan kembali.

Oleh karena itu, hidup yang teruji adalah hidup yang dikisahkan kembali dengan baik. Inilah yang menjadi alasan mengapa kita, manusia, memiliki identitas naratif. Dan identitas ini membuat masing-masing kita menjadi pribadi yang unik, karena setiap kita memiliki "a story of life".

Jadi, kita perlu belajar kembali untuk menjadi seorang "narator" kehidupan kita. Karena hanya dengan demikian, kita mengerti diri kita bahwa kita adalah "a hero of our own story" dengan tanpa perlu menjadi "an author of our own life". Kita mengerti dan menerima diri kita melalui semua kisah yang telah terjadi pada kita; dan pada saat yang sama, kesanggupan kita membaca seluruh kisah tentang diri kita, boleh dikatakan sebagai seni tentang konfigurasi diri. Inilah bagian esensial dari "self understanding". 

Tidak ada jalan pintas untuk mengerti  diri. Kita selalu mengerti diri kita melalui yang lain. Kata-kata Richard Kearney ini benar: "the shortest route from self to self is through the other".  Kita tidak pernah cukup. Tidak pernah sempurna.

_________________________
Randem VL/ Gorup Sahabat Vox Point Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin