JAKARTA - “Berdoa adalah mendengarkan Tuhan.” Kalimat sederhana namun sarat makna ini disampaikan oleh Kardinal Ignatius Suharyo, Uskup Keuskupan Agung Jakarta, dalam salah satu refleksi pastoralnya. Di tengah dunia yang penuh kebisingan, pesan ini menjadi oase yang menyejukkan sekaligus menantang: apakah kita sungguh mendengarkan Tuhan dalam doa, atau hanya berbicara tanpa henti?
Sebagai seorang advokat dan aktivis kerasulan awam, saya menyaksikan betapa
pentingnya keheningan dalam perjuangan. Di ruang sidang, di tengah advokasi
sosial, atau saat mendampingi komunitas yang tertindas, saya belajar bahwa
kekuatan sejati tidak lahir dari banyak bicara, melainkan dari
mendengarkan—terutama mendengarkan suara Tuhan yang berbisik dalam hati nurani.
Dalam tradisi Gereja Katolik, doa bukanlah pelarian dari dunia, melainkan kekuatan
untuk mengubah dunia. Doa yang sejati bukan hanya permohonan, tetapi juga
kontemplasi. Dalam Evangelii Gaudium, Paus Fransiskus menegaskan bahwa
doa adalah sumber energi misioner. Artinya, semakin dalam kita mendengarkan
Tuhan, semakin kuat pula dorongan untuk bertindak demi kasih dan keadilan.
Di berbagai komunitas kerasulan awam, saya melihat bagaimana doa menjadi
titik tolak perubahan. Di Bekasi, sekelompok ibu rumah tangga Katolik memulai
hari dengan doa Rosario sebelum membuka warung makan murah untuk kaum buruh. Di
Kupang, para pemuda Katolik mengawali kegiatan advokasi lingkungan dengan
adorasi sakramen mahakudus. Di Surabaya, komunitas pengacara Katolik mengadakan
doa bersama sebelum mendampingi korban kekerasan rumah tangga.
Doa bukan hanya ritual. Ia adalah perjumpaan. Dan dalam perjumpaan itu,
Tuhan berbicara—melalui firman, melalui hati nurani, melalui jeritan kaum
kecil.
Kerasulan awam adalah panggilan untuk menjadi saksi Kristus di tengah dunia.
Namun kesaksian itu tidak akan otentik jika tidak berakar dalam relasi yang
intim dengan Tuhan. Mendengarkan Tuhan dalam doa berarti membuka diri terhadap
kehendak-Nya, bahkan ketika itu menantang kenyamanan kita.
Sebagai advokat, saya sering dihadapkan pada dilema moral: membela yang
benar atau yang menguntungkan? Dalam keheningan doa, saya belajar bahwa
keadilan bukan sekadar soal hukum, tetapi soal hati nurani yang dibentuk oleh
Sabda Tuhan. Maka, kerasulan awam sejati dimulai dari mendengarkan—bukan hanya
kepada klien, tetapi kepada Tuhan yang berbicara melalui mereka.
Dalam dunia yang dipenuhi suara-suara bising—media sosial, opini publik,
tuntutan ekonomi—kita mudah kehilangan arah. Maka, pesan Kardinal Suharyo
menjadi sangat relevan: berdoa adalah mendengarkan Tuhan. Keheningan bukan
kelemahan, melainkan kekuatan. Ia adalah ruang di mana kasih Allah menyentuh
luka terdalam manusia, dan dari sanalah lahir keberanian untuk mencintai tanpa
syarat.
Mari kita jadikan doa sebagai pusat kerasulan kita. Bukan doa yang
menjauhkan kita dari dunia, tetapi doa yang menyalakan semangat untuk hadir di
dunia sebagai saksi kasih. Karena hanya dengan mendengarkan Tuhan, kita bisa
sungguh mendengarkan sesama.
Oleh;
Darius Leka, S.H., M.H. – Advokat dan Aktivis Kerasulan Awam Katolik
#shdariusleka
#reels #foryou #fyp #jangkauanluas @semuaorang #doa #kardinalsuharyo
#kerasulanawam #gerejakatolik #imanaktif #berdoaadalahmendengarkan

Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin