KOTA DEPOK - Di tengah dinamika masyarakat pluralistik seperti Indonesia, pertanyaan tentang perkawinan beda agama dalam Gereja Katolik kerap muncul dari umat. Apakah mungkin seorang Katolik menikah dengan pasangan non-Katolik? Apa sikap Gereja? Dan bagaimana hukum kanonik menanggapi realitas ini?
Sebagai seorang advokat dan aktivis kerasulan awam, saya
melihat bahwa isu ini bukan sekadar soal legalitas, tetapi juga menyentuh ranah
pastoral, spiritual, dan sosial. Maka, mari kita telusuri secara jernih dan
mendalam.
Perjumpaan lintas iman dalam kehidupan sehari-hari tak
terelakkan. Cinta tumbuh tanpa memandang agama. Namun, ketika cinta itu hendak
diikat dalam sakramen perkawinan, umat Katolik dihadapkan pada aturan Gereja
yang tegas namun tetap membuka ruang kasih.
Gereja Katolik, berdasarkan Codex Iuris Canonici
(CIC) kanon 1124, menyatakan bahwa perkawinan antara seorang Katolik dan
seorang yang tidak dibaptis adalah invalid, kecuali ada dispensasi dari
otoritas Gereja. Dispensasi ini bukan sekadar formalitas, melainkan hasil dari
proses pastoral yang mendalam.
Dispensasi adalah izin resmi dari otoritas Gereja (biasanya
Uskup) untuk mengesahkan perkawinan beda agama. Namun, dispensasi hanya
diberikan setelah memenuhi syarat-syarat tertentu, antara lain:
- Pihak
Katolik harus menyatakan kesediaannya mempertahankan imannya dan berusaha
membaptis anak-anak secara Katolik.
- Pasangan
non-Katolik harus memahami komitmen pasangannya dan tidak menghalangi
praktik iman Katolik.
Proses ini bukan untuk mempersulit, melainkan untuk
memastikan bahwa iman Katolik tetap dijaga dan dihormati dalam kehidupan
keluarga.
Sebagai bagian dari kerasulan awam, kita dipanggil untuk
menjadi jembatan antara ajaran Gereja dan realitas umat. Komunitas kerasulan
awam di berbagai keuskupan telah aktif mendampingi pasangan beda agama,
memberikan edukasi hukum kanonik, serta membangun dialog lintas iman yang
konstruktif.
Dalam pelayanan sosial dan hukum, kami mendampingi umat yang
mengalami kebingungan, bahkan penolakan, karena cinta mereka dianggap “tidak
sah”. Di sinilah kasih Allah harus diwartakan: bukan dengan menghakimi, tetapi
dengan mendampingi, menjelaskan, dan menguatkan.
Gereja bukan menara gading yang kaku, melainkan ibu yang
bijaksana. Dispensasi bukan kompromi terhadap iman, melainkan bentuk eklesiologi
pastoral yang memahami kompleksitas hidup umat. Kasih Allah tidak terbatas
oleh sekat agama, dan Gereja dipanggil untuk menjadi saksi kasih itu.
Sebagai aktivis kerasulan awam, saya percaya bahwa tugas
kita bukan hanya menjaga kemurnian ajaran, tetapi juga menghadirkan wajah Allah
yang penuh cinta dan pengertian di tengah dunia yang terluka.
Ditulis oleh; Darius Leka, S.H., M.H. - Advokat dan
Aktivis Kerasulan Awam Gereja Katolik
#shdariusleka #reels #foryou #fyp #jangkauanluas @semuaorang
#katolik #dispensasinikah #kerasaluanawam #cintalintasiman #gerejakatolik

Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin