JAKARTA - Di tengah tantangan zaman yang kian kompleks—dari krisis lingkungan, ketimpangan sosial, hingga polarisasi masyarakat—Gereja Katolik Indonesia kembali menegaskan perannya sebagai “peziarah pengharapan” melalui Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI) 2025. Diselenggarakan pada 3–7 November 2025 di Mercure Convention Center, Ancol, Jakarta, SAGKI kali ini mengangkat tema: “Berjalan Bersama sebagai Peziarah Pengharapan: Menjadi Gereja Sinodal yang Misioner untuk Perdamaian”.
SAGKI 2025 dihadiri oleh lebih dari 375 peserta dari 38
keuskupan di seluruh Indonesia, termasuk satu keuskupan TNI/Polri. Para uskup,
imam, biarawan-biarawati, serta umat awam lintas usia dan latar belakang
berkumpul dalam semangat sinodalitas—berjalan bersama, mendengarkan satu sama
lain, dan merumuskan arah pastoral Gereja ke depan.
Sebagai seorang advokat dan aktivis kerasulan awam, saya
melihat SAGKI bukan sekadar forum internal Gereja, tetapi ruang profetik yang
mencerminkan wajah Gereja yang hidup, terbuka, dan relevan. Di tengah dunia
yang penuh luka, Gereja dipanggil untuk menjadi rumah penyembuhan—bukan hanya
bagi umatnya, tetapi bagi seluruh masyarakat.
Salah satu sorotan penting dalam SAGKI 2025 adalah penguatan
peran kerasulan awam. Dalam berbagai sesi, para peserta menegaskan bahwa umat
awam bukan sekadar pelengkap liturgi, tetapi mitra sejati dalam misi Gereja.
Dari bidang hukum, ekonomi, pendidikan, hingga lingkungan, kerasulan awam
menjadi wajah konkret Injil di tengah dunia.
Saya menyaksikan sendiri bagaimana komunitas-komunitas awam
di berbagai keuskupan telah menjadi motor perubahan sosial. Di Keuskupan Agung
Semarang, kelompok advokasi lingkungan berbasis paroki berhasil menghentikan
proyek tambang yang merusak ekosistem. Di Keuskupan Atambua, koperasi umat
berbasis nilai Injili menjadi solusi ekonomi bagi petani kecil. Di Jakarta,
komunitas pengacara Katolik mendampingi korban kekerasan rumah tangga secara
pro bono.
SAGKI 2025 menegaskan bahwa Gereja tidak boleh terjebak
dalam eksklusivisme sakramental. Ia harus menjadi Gereja yang keluar—Gereja
yang misioner, yang hadir di tengah masyarakat, mendengarkan jeritan kaum
kecil, dan menjadi suara bagi yang tak bersuara. Dalam semangat sinodalitas,
setiap umat dipanggil untuk menjadi bagian dari solusi, bukan sekadar penonton.
SAGKI bukanlah akhir, melainkan awal. Awal dari komitmen
baru untuk menjadi Gereja yang berjalan bersama, yang mendengarkan, dan yang
bertindak. Sebagai rasul awam, saya percaya bahwa masa depan Gereja terletak
pada keberanian umatnya untuk keluar dari zona nyaman dan mewartakan kasih
Allah dengan cara yang nyata.
Mari kita terus berjalan bersama, sebagai peziarah
pengharapan, menuju dunia yang lebih adil, damai, dan penuh kasih.
Oleh; Darius Leka, S.H., M.H. –
Advokat dan Aktivis Kerasulan Awam Katolik
#shdariusleka #reels #foryou #fyp
#jangkauanluas @semuaorang #SAGKI2025 #gerejakatolikindonesia #kerasulanawam
#sinodalitas #berjalanbersama #peziarahpengharapan

Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin