
✍️ Oleh: Darius Leka, S.H., M.H., Advokat & Aktivis Kerasulan Awam Gereja Katolik
KOTA DEPOK - Minggu pagi, 16 Oktober 2011, halaman Gereja
Katolik St. Paulus Depok tak hanya dipenuhi umat yang hendak mengikuti Misa
kedua, tetapi juga oleh aroma rebusan ubi, singkong, kacang, dan wedang jahe
yang mengepul hangat dari meja-meja sederhana. Di balik kesederhanaan itu,
tersimpan pesan yang kuat: iman yang hidup harus menyentuh perut yang lapar.
Dalam rangka memperingati Hari Pangan Sedunia (HPS), para
ibu dari Wanita Katolik Republik Indonesia (WKRI), yang dikoordinir oleh Ibu
Agustin Widodo dari Sie PSE, menggerakkan 17 lingkungan dan 7 wilayah untuk
menyumbangkan hasil bumi dan pangan lokal. Sebuah gerakan yang bukan hanya
simbolik, tetapi juga profetik.
Pukul 08.00 WIB, perayaan dimulai dengan perarakan dari
halaman pastoral, diiringi gamelan khas Jawa. Umat dari Lingkungan St.
Laurensius menandu aneka hasil bumi—padi, singkong, semangka, pete, wortel,
hingga kelapa—yang telah dihias indah oleh Bapak FX. Marjono dan timnya. Sebuah
liturgi inkulturatif yang menyatukan iman, budaya, dan pangan.
Perayaan Ekaristi dipimpin oleh Pastor Stanislaus Agus
Suharyanto, OFM, dengan koor dari anak-anak SMP Desa Putera. Dalam homilinya,
Pastor Haryo mengutip Mgr. Soegijapranata, SJ: “Menjadi Katolik 100%, menjadi
Indonesia 100%.” Ia mengajak umat untuk merefleksikan kembali kualitas kekatolikan
kita yang kini mulai pudar. “Kalau kita tidak lagi unggul dalam iman dan
kepedulian, maka kita harus bertanya: di mana letak kekatolikan kita?”
tegasnya.
Usai Misa, sekitar 1.500 umat berkumpul di halaman gereja
untuk menikmati rebusan bersama. Dalam suasana kekeluargaan yang hangat, Pastor
Tauchen Hotlan Girsang, OFM, menyampaikan tiga refleksi penting:
- Kepedulian
terhadap yang lapar
Kita diajak untuk lebih peka terhadap mereka yang kekurangan pangan, baik karena kemiskinan, bencana, maupun ketidakadilan struktural. - Kesetaraan
dalam pangan
Dalam acara ini, tidak ada sekat antara kaya dan miskin. Semua menikmati pangan yang sama—hasil bumi yang sederhana namun penuh makna. - Panggilan
untuk berbagi
Tuhan telah menyediakan cukup bagi semua. Namun kerakusan dan egoisme membuat sebagian besar kekayaan hanya dinikmati segelintir orang. Kita dipanggil untuk membuka mata dan hati bagi sesama.
Pastor Haryo menambahkan, “Gerakan Hari Pangan Sedunia ini
harus menjadi momentum untuk membangun solidaritas. Kita harus menghargai jerih
payah para petani dan menghidupkan kembali semangat berbagi.”
Dalam wawancara singkat, Pastor Haryo juga menyoroti
pentingnya menghidupkan kembali Komisi PSE (Pengembangan Sosial Ekonomi) di
tingkat paroki dan keuskupan. “Selama ini belum ada program kerja yang sungguh
menyentuh isu pangan. Ini harus menjadi perhatian serius dalam pertemuan para
imam ke depan,” ujarnya.
Gerakan pangan bukan hanya soal makan bersama, tetapi soal
membangun kesadaran kolektif akan pentingnya kedaulatan pangan, keberlanjutan
lingkungan, dan keadilan sosial. Gereja, sebagai komunitas iman, harus menjadi
pelopor dalam hal ini.
Bapak Nobertus Danun dari Lingkungan St. Yosep menyampaikan
kesan positifnya. “Hari ini kita disadarkan bahwa kita tidak harus bergantung
pada beras. Potensi pangan lokal sangat besar,” ujarnya. Ia bahkan mengusulkan
agar dalam setiap rapat lingkungan atau paroki, konsumsi diganti dengan rebusan
lokal, bukan kue-kue mahal. Sebuah usulan sederhana, namun sarat makna.
Hari Pangan Sedunia di Paroki St. Paulus Depok bukan sekadar
perayaan tahunan. Ia adalah panggilan untuk menghidupi iman yang konkret—iman
yang memberi makan, bukan hanya secara rohani, tetapi juga jasmani. Sebab,
seperti kata Yesus, “Kamu harus memberi mereka makan” (Luk 9:13).
Mari kita terus menanam, merawat, dan membagikan hasil bumi
dengan cinta. Sebab dalam setiap butir padi, dalam setiap rebusan singkong, ada
kasih Allah yang hendak dibagikan kepada dunia.
#haripangansedunia #kamuharusmemberimerekamakan #kerasulanawam #gerejahadiruntukdunia #psebergerak #imanyangmengenyangkan #solidaritaspangan #wkriberkarya #liturgiyangmembumi #parokistpaulusdepok
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin