Senin, 22 Oktober 2012

Membangun Kecukupan Pangan Bagi Semua “Gereja Sebagai Komunitas Berbagi Pangan”

Hari Pangan Sedunia 2012, Keuskupan Bogor


a. Manusia dan Sumber Daya Pangan
Pada hari keenam Allah menciptakan manusia. Manusia diciptakan sebagai puncak dari segala makhluk ciptaan Allah. Tuhan menaruh perhatian istimewa kepadanya. Allah memberkati mereka dan memberikan perintah kepada mereka untuk beranak cucu dan untuk menguasai segala binatang yang diciptakan-Nya itu. Allah juga memberikan kepada mereka segala tumbuh-tumbuhan yang berbiji dan pohon-pohonan yang buahnya berbiji sebagai makanan mereka. Sedangkan kepada binatang-binatang yang diciptakan-Nya Allah memberikan tumbuh-tumbuhan hijau sebagai makanan mereka. Manusia hidup dari buah-buahan, tumbuh-tumbuhan dan hewan hasil perburuan. Keadaan dunia sebagaimana dimaksudkan semula oleh Allah adalah kehidupan yang serba damai. Keadaan ideal ini terganggu ketika manusia jatuh ke dalam dosa (bdk. Kej. 9,3).
Dosa manusia ditampakkan dalam perubahan cara pandang, sikap dan tindakan manusia terhadap alam ciptaan. Alam ciptaan ditempatkan sebagai oybek dan pemenuhan kebutuhan dan keberlangsungan hidup manusia. Pekerjaan memelihara alam ciptaan sebagai tugas dan perutusan yang diberikan Allah kepada manusia digantikan dengan menguasai dan mengeksploitasi sumber daya alam yang tanpa batas. Hal ini mengakibatkan dampak pada kerusakan lingkungan, mengancam kelestarian alam ciptaan, dan bahkan membahayakan keberlangsungan hidup manusia sendiri. Sumber daya pangan yang terkandung dalam sumber daya alam pun menjadi rusak. Kerusakan ini akan sangat mempengaruhi kecukupan dan keberlangsungan pangan bagi hidup manusia. "Di balik perusakan alam yang bertentangan dengan akal sehat ada kesesatan antropologis, yang sayangnya memang sudah tersebar luas. Manusia bukannya menjalankan tugasnya bekerjasama dengan Allah di dunia. Ia justru malahan mau menggantikan tempat Allah, dan dengan demikian akhirnya membangkitkan pemberontakan alam, yang tidak diaturnya, tetapi justru diperlakukan secara sewenang-wenang" (Centisimus Anus art. 37).
Manusia harus menyadari bahwa kuasa yang diberikan Allah kepadanya bukanlah kuasa untuk memanipulasi dan mendominasi. Peran Allah dalam mencipta dan memelihara seluruh alam, juga menjadi tugas manusia. Manusia harus membangun kembali alam yang telah rusak dan memelihara kelestariannya. Dengan demikian, alam semesta sebagai sumber daya dukung  pangan bagi kebutuhan hidup manusia terjaga untuk memenuhi kecukupan pangan keberlangsungan hidup manusia.

b. Situasi dan Kondisi Pangan Indonesia
Pangan merupakan kebutuhan dasar yang permintaannya terus meningkat seiring dengan perkembangan jumlah penduduk dan peningkatan kualitas hidup. Pada saat ini situasi pangan di Indonesia cukup kritis. Departemen Kesehatan mencatat sekitar 5 juta atau 27,5 persen balita menderita kurang gizi dan 1,5 juta di antaranya memiliki status gizi buruk. Selain itu 110 kabupaten/kota ada kecenderungan memiliki balita kurang gizi (termasuk gizi buruk) di atas 30 persen. Menurut WHO (Badan Kesehatan PBB), kecenderungan gizi buruk Indonesia masuk kategori sangat tinggi (Data Depkes, 2005).
Lemahnya kemampuan Indonesia dalam memproduksi aneka bahan pangan menyebabkan besarnya ketergantungan terhadap pangan impor. Tahun 2007 impor beras rata-rata 2 juta ton per tahun, gula 1,6 juta ton, jagung 1,5 juta ton, kedelai 1,2 juta ton, gandum 4,5 juta ton, sapi 400.000 ekor, daging beku 30.000 ton, sementara impor susu dan produk turunannya mencapai 70 persen dari total kebutuhannya. Lemahnya produksi pangan nasional salah satunya disebabkan oleh sempitnya lahan pertanian. Luasan lahan pertanian tanaman pangan cenderung menurun. Pada periode tahun 2000-2005 terjadi penurunan 0,17 persen per tahun. Ini terjadi karena (1) perluasan area perkebunan yang pesat mengalahkan lahan pertanian tanaman pangan, (2) program perluasan areal pertanaman dari pemerintah hanya 30.000 hektar per tahun, (3) proses konversi lahan menjadi nonpertanian yang sangat pesat, dan (4) tingginya peningkatan jumlah rumah tangga petani dalam sepuluh tahun terakhir (dari 20,8 juta menjadi 25,6 juta.
Kemampuan produksi pangan yang berbeda antar wilayah dan akibat perbedaan iklim/musim merupakan tantangan pendistribusian pangan kepada konsumen di seluruh wilayah sepanjang waktu. Sering terjadi ketidakstabilan pasokan sehingga timbul kelangkaan dan kenaikan harga pangan di berbagai wilayah. Masalah distribusi pangan antara lain terbatasnya prasarana 

c. Membangun Sistem Pangan Komunitas
Menjawab permasalahan kecukupan pangan di Indonesia, alternatifnya adalah membangun kedaulatan pangan komunitas. Kedaulatan pangan komunitas menawarkan sebuah sistem pangan alternatif di tingkat lokal. Sistem ini dikembangkan berbasis hak asasi manusia dan berdasar pada kecerdasan dan sumber daya lokal. Tujuan sistem pangan komunitas adalah mengembalikan pangan sebagai hak rakyat, dengan cara melokalisasi pangan. Sistem pangan lokal menjadi perlawanan terhadap sistem pangan global yang dimotori perusahaan transnasional. Sebagai hak asasi paling dasar, pangan harus berada dalam kendali rakyat agar pemenuhannya dapat terjamin dan berkelanjutan. Sistem ini diharapkan mampu membuat masyarakat lebih tahan atau lentur terhadap gempuran globalisasi, perubahan iklim, dan tantangan lainnya.
Sistem pangan alternatif ini menekankan pada urutan prioritas. Hasil produksi diutamakan untuk memenuhi kebutuhan seluruh warga desa. Sisanya disimpan sebagai cadangan pangan untuk antisipasi paceklik. Perdagangan dilakukan ketika kebutuhan pangan hingga musim berikutnya telah terjamin. Perdagangan lokal menjadi prioritas dengan memperpendek jarak antara produsen dan konsumen.
Sistem pangan komunitas ini dapat terwujud jika beberapa persyaratan terpenuhi. Anggota komunitas harus bergotong royong memproduksi sendiri aneka pangan yang dibutuhkan dengan memanfaatkan berbagai sumber daya di wilayah mereka. Pemenuhan pangan berbasis lokal akan menurunkan bahkan menghilangkan pemborosan biaya transport dan pencemaran akibat impor pangan Organisasi masyarakat di tingkat lokal yang kuat dan cerdas juga akan menjadi kekuatan untuk memperjuangkan hak pangan mereka. Pembaruan sistem ini akan memberi pilihan leluasa kepada komunitas lokal guna membuat kebijakan pangan mereka secara berdaulat dalam mengelola produksi, penyimpanan, distribusi, serta konsumsi padi dan bahan pangan lainnya.

d. Gereja Sebagai Komunitas Berbagi Pangan
Gereja dalam Kristus bagaikan sakramen, yakni tanda dan sarana persatuan mesra dengan Allah dan kesatuan seluruh umat manusia. Gereja mengimani, bahwa Kristus telah wafat dan bangkit bagi semua orang. la mengurniakan kepada manusia terang dan kekuatan melalui Roh-Nya, supaya manusia mampu menanggapi panggilannya yang amat luhur (Gaudium et Spes art. 10). Panggilan manusia diarahkan kepada hidup kesucian Allah. Setiap ciptaan berasal dari kasih Allah, dan setiap ciptaan dibentuk oleh kasih Allah, dan setiap ciptaan diarahkan menuju kasih Allah (Caritas in Veritate art. 2). Karena manusia, yang diciptakan menurut gambar Allah, menerima titah-Nya, supaya menakhlukkan bumi beserta segala sesuatu yang terdapat padanya, serta menguasai dunia dalam keadilan dan kesucian; ia mengemban perintah untuk mengakui Allah sebagai Pencipta segala-galanya, dan mengarahkan diri beserta seluruh alam kepada-Nya, sehingga dengan terbawahnya segala sesuatu kepada manusia nama Allah sendiri dikagumi di seluruh bumi (Gaudium et Spes Art. 34).
 "Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang jaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus juga" (Gaudium et Spes art. 1). Oleh karena itu, kehadiran dan keterlibatan Gereja di tengah-tengah umat manusia yang mengalami situasi dan kondisi krisis pangan sebagai akibat perilaku manusia yang tidak adil dan serakah, yang mengancaman keutuhan ciptaan dan merusak sumber-sumber pangan akan menjadi sangat nyata.
Gereja perlu menyadari bahwa kehadiran dan keterlibatan penyadaran kemanusiaan dalam hal tata kelola pangan bukanlah pertama-tama persoalan teknis, tetapi bagaimana menyadarkan umat bersama masyarakat menemukan dan menata kembali pemanfaatan alam semesta yang berkeadilan sosial dan berkeutuhan ciptaan dan mecari jalan alternatif untuk pemenuhan kebutuhan dan kecukupan pangan bagi semua. Membangun sistem komunitas pangan adalah salah satu alternatif yang bisa dibuat oleh Gereja sebagai komunitas murid-murid Kristus. Ekaristi sebagai pusat dan puncak liturgi Gereja, yang dihayai dan dihidupi umat bisa menjadi dasar dan inspirasi untuk mengembangkan Gereja sebagai komunitas berbagi pangan.
Gereja sebagai komunitas berbagi pangan bisa dikembangkan di kelompok-kelompok basis, lingkungan, wilayah, stasi dan paroki. Dalam konteks kategorial, Gereja sebagai komunitas berbagi pangan dapat juga dikembangkan di sekolah-sekolah, komunitas-komunitas religius, dan organisasi kemasyarakatan. Solidaritas, subsidiaritas dan kemandirian menjadi semangat dasar yang harus ada dan dihidupi kalau Gereja mengarah sebagai komunitas berbagi pangan. Beberapa contoh gerakan moral yang bisa menggambarkan Gereja sebagai komunitas berbagi pangan, yang memungkinkan untuk membangun kecukupan pangan bagi semua adalah :

1. Membangun Lumbung Pangan
Lumbung pangan bisa dimengerti sebagai tempat atau juga bisa dimengerti dalam arti sarana membangun gerakan solidaritas pangan. Sebagai tempat, berarti lumbung pangan menjadi wadah untuk menyimpan produksi pangan yang akan digunakan pada saat-saat tertentu. Sebagai sarana gerakan solidaritas pangan, lumbung pangan bisa dimengerti sebagai tempat perjumpaan untuk mengembangkan nilai-nilai kemanusiaan (solidaritas, subsidiaritas, kemandirian). Lumbung pangan ini bisa dibuat oleh Gereja mulai dari tingkatan paroki sampai lingkungan atau kelompok basis. Tujuan lumbung pangan ini adalah untuk mengembangkan nilai kesetiakawanan sosial dalam berbagai pangan, terutama kepada mereka yang berkekurangan pangan.

2. Komunitas Mandiri Pangan
Kemandirian Pangan adalah kemampuan produksi pangan yang beranekaragam yang dikelola komunitas yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan pangan yang cukup dan berkelanjutan sampai ketingkat keluarga. Keluarga sebagai komunitas terkecil dari masyarakat dapat membangun kemandirian pangan dengan memaksimalkan tata kelola pekarangan untuk produksi bahan pangan. Gereja sebagai komunitas murid-murid Kristus, dalam hal ini bisa menjadi "terang dan garam" untuk menginspirasikan, mempelopori dan menganimasi terbangunnya gerakan komunitas mandiri pangan ini.

3. Keanekaragaman Panga
Pangan tidak sama dengan beras. Beras adalah salah satu bagian dari pangan yang ada. Mengembangkan aneka ragam pangan dari berbagai bahan pangan non beras (umbi-umbian) akan mendorong kecukupan pangan bagi pemenuhan kebutuhan pangan. Pangan dari bahan pangan umbi-umbian bisa menjadi alternatif 'selingan' beras dalam konsumsi pangan sehari-hari.
4. Hormat dan Hargailah Pangan
Lembaga formal, pendidikan Katolik, baik yang dikembangkan oleh keuskupan atau tarekat religus/konggregasi dapat menjadi tempat gerakan; untuk hormat dan menghargai pangan. Kebiasaan dan cara makan anak-anak kerap kali kurang menaruh rasa hormat dan menghargai pangan. Kebiasaan menyisakan makanan (membuang-buang makanan) 'atau` memilih-milih makanan, dalam arti luas bisa dikatakan merebut hak pangan orang lain yang kelaparan. Oleh karena itu pendidikan pangan yang berkeadilan dan bercinta kasih perlu untuk diajarkan kepada anak-anak jaman sekarang.

e. Penutup
Hari Pangan Sedunia (HPS)Gereja Katolik sebagai gerakan moral keutuhan ciptaan, mengarahkan dan menggerakan umat dan masyarakat untuk mempunyai rasa hormat kepada ciptaan. Alam semesta sebagai tempat dan singgasana Allah akan mengalirkan kehidupan. Oleh karena itu, Gereja sebagai Sakramen Keselamatan Allah, mengemban tugas perutusan untuk ikut terlibat dalam manata alam semesta ini dengan adil dan cinta kasih. Dengan demikian, Gereja sebagai komunitas pangan, baik jasmani maupun rohani, secara nyata hadir dalam membangun kecukupan semua.

Bahan refleksi Bersama:
  • Hari Pangan Sedunia (HPS) atau World Food Day lahir dalam sidang ke 20 Organisasi Pangan Sedunia (Food and Agrculture Organization), dan sejak tahun 1981 setiap tanggal 16 Oktober, yang juga bertepatan hari jadi FAO, dunia memperingati HPS, demikian juga Gereja Katolik. Tujuan perayaan dan peringatan HPS adalah membangkitkan dan meningkatkan kesadaran, perhatian dan pemahaman umat manusia terhadap kesetiakawanan dan kerjasama nasional maupun internasional dalam mengatasi masalah-masalah pangan, gizi dan kemiskinan, selain itu menempatkan penghargaan dan penghormatan kepada para petani yang mengelola dan mengusahakan sumber-sumber pangan. Bagaimana Gereja Katolik memaknai perayaan dan peringatan HPS dalam konteks membangun kecukupan pangan bagi semua.
  • Belum semua semua orang berkecukupan pangan, baik dalam hal kuantitas pangan ataupan kualitas pangan. Gereja Katolik sebagai komunitas murid-murid Kristus selalu mengadakan perjamuan "Pangan Abadi" dalam Ekaristi. Bersumber dan mengalir dari Ekaristi, gerakan pemberdayaan umat yang bagaimana, yang dapat digali untuk membangun gerakan “Lumbung Pangan", "Komunitas Mandiri Pangan", "Keanekaragaman Pangan" dan "Hormat dan Hargailah Pangan" sehingga Gereja secara kongkret terlibat aktif dalam membangun kecukupan pangan bagi semua. Dengan demikian Gereja sebagai komunitas berbagi pangan dapat diwujudkan secara nyata dalam komunitas basis di lingkungan, di paroki, dan di Keuskupan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin