Media massa perlu mengawal praktek politik uang menjelang pelaksanaan
pemilihan kepala daerah di ratusan kabupaten pada 9 Desember mendatang,
demikian kata seorang pengamat media.
“Praktek politik uang sudah jamak terjadi dalam proses pemilihan
umum. Media diharapkan menjadi alat untuk mengontrol praktek ini, demi
menghasilkan proses pilkada yang berkualitas,” kata Ignatius Haryanto,
Deputi Direktur Jaringan Indonesia untuk Jurnalisme Investigasi dalam
sebuah seminar di Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta, 10 Oktober.
Ia menegaskan, tantangan bagi media saat ini adalah menunjukkan peran
yang signifikan untuk mendorong proses demokratisasi atau jatuh pada
suatu pemihakan kepada calon tertentu dengan berbagai alasan di
belakangnya, misalnya karena mendapat sokongan dana.
“Ada tuntutan kuat agar media melakukan fungsi pendididkan politik
kepada warga, bersikap imparsial kepada para calom dan bersikap netral
dalam peliputan terhadap para calon” katanya.
Pada 9 Desember mendatang, pilkada serentak dilakukan di 269
kabupaten dan kota di seluruh Indonesia, di mana 167 di antara calon
yang maju adalah para inkumben.
Mengawal calon-calon inkumben, menurut Haryanto, adalah tantangan
terbesar, karena mereka umumnya memiliki dana yang besar serta
berpeluang memanfaatkan uang negara untuk menjalankan politik uang.
Ia menyebut contoh, ada beberapa bupati yang menaikkan jumlah dana
bantuan sosial hingga seribu persen pada tahun ini, dibanding tahun
sebelumnya.
“Ini dilakukan untuk menarik simpati pemilih. Dana-dana itu begitu
muda disalurkan ketika inkumben ingin maju lagi dalam Pilkada,” katanya.
“Hal-hal seperti ini perlu dibuka oleh media, agar publik bisa menimbang-nimbang sebelum mereka menentukan pilihan,” tegasnya.
Sementara itu, Alexander Seran, dosen Universitas Atma Jaya
mengatakan, kuasa dan uang palig kuat digunakan untuk mengendalikan
perilaku masyatakat demi kepentingan politik.
“Maka menjadi tugas warga negara dan secara khusus media massa untuk
melakuakan pekerjaannya secara independen dan profesional,” katanya.
Ia mengatakan, media massa harus berani mengungkap praktik-praktik kotor dalam penyelenggaraan pemilu.
Kecemasan terkait bahaya politik uang juga diungkap oleh Amas
Sjafrina, peneliti dari Indonesia Corruption Watch (ICW), di mana ia
mengatakan, hal ini terutama dipicu aturan baru tahun ini, di mana
Pilkada hanya berlangsung satu putaran.
Aturan tersebut, kata dia, membuat pasangan calon akan berusaha keras, bahkan dengan menggunakan segala cara, untuk menang.
“Kami menduga, mereka akan berupaya melanggar larangan untuk tidak
menggunakan politik uang, mengingat ini pertarungan sengit,” katanya.
Gereja Katolik sejauh ini juga memberi perhatian pada soal ini.
Mgr Hubertus Leteng, uskup Ruteng – Flores, di mana dua kabupaten di
keuksupan itu yaitu Manggarai dan Manggarai Barat menyenggarakan
Pilkada, meminta umat untuk tidak menerima uang dari kandidat.
“Saya meminta untuk menolak politik uang, Kalau praktek politik uang
masih terjadi, maka rakyat tidak dalam kondisi bebas memilih calon yang
terbaik,” katanya.
Hal itu, kata dia, menjauhkan masyarakat dari peluang untuk mendapat pemimpin yang benar-benar berkualitas.
“Saya meminta semua pihak bekerja sama untuk mencegah berbagai
praktek buruk semacam itu, terutama media dan penyelenggara pemilu,”
jelasnya. Ryan Dagur, Jakarta. (Sumber: http://indonesia.ucanews.com/2015/11/11/media-mesti-kawal-politik-uang)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin