Jumat, 27 November 2015

Media Mesti Kawal Politik Uang

Media massa perlu mengawal praktek politik uang menjelang pelaksanaan pemilihan kepala daerah di ratusan kabupaten pada 9 Desember mendatang, demikian kata seorang pengamat media.

“Praktek politik uang sudah jamak terjadi dalam proses pemilihan umum. Media diharapkan menjadi alat untuk mengontrol praktek ini, demi menghasilkan proses pilkada yang berkualitas,” kata Ignatius Haryanto, Deputi Direktur Jaringan Indonesia untuk Jurnalisme Investigasi dalam sebuah seminar di Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta, 10 Oktober.


Ia menegaskan, tantangan bagi media saat ini adalah menunjukkan peran yang signifikan untuk mendorong proses demokratisasi atau jatuh pada suatu pemihakan kepada calon tertentu dengan berbagai alasan di belakangnya, misalnya karena mendapat sokongan dana.

“Ada tuntutan kuat agar media melakukan fungsi pendididkan politik kepada warga, bersikap imparsial kepada para calom dan bersikap netral dalam peliputan terhadap para calon” katanya.

Pada 9 Desember mendatang, pilkada serentak dilakukan di 269 kabupaten dan kota di seluruh Indonesia, di mana 167 di antara calon yang maju adalah para inkumben.

Mengawal calon-calon inkumben, menurut Haryanto, adalah tantangan terbesar, karena mereka umumnya memiliki dana yang besar serta berpeluang memanfaatkan uang negara untuk menjalankan politik uang.

Ia menyebut contoh, ada beberapa bupati yang menaikkan jumlah dana bantuan sosial hingga seribu persen pada tahun ini, dibanding tahun sebelumnya.

“Ini dilakukan untuk menarik simpati pemilih. Dana-dana itu begitu muda disalurkan ketika inkumben ingin maju lagi dalam Pilkada,” katanya.

“Hal-hal seperti ini perlu dibuka oleh media, agar publik bisa menimbang-nimbang sebelum mereka menentukan pilihan,” tegasnya.

Sementara itu, Alexander Seran, dosen Universitas Atma Jaya mengatakan, kuasa dan uang palig kuat digunakan untuk mengendalikan perilaku masyatakat demi kepentingan politik.

“Maka menjadi tugas warga negara dan secara khusus media massa untuk melakuakan pekerjaannya secara independen dan profesional,” katanya.

Ia mengatakan, media massa harus berani mengungkap praktik-praktik kotor dalam penyelenggaraan pemilu.

Kecemasan terkait bahaya politik uang juga diungkap oleh Amas Sjafrina, peneliti dari Indonesia Corruption Watch (ICW), di mana ia mengatakan, hal ini terutama dipicu aturan baru tahun ini, di mana Pilkada hanya berlangsung satu putaran.

Aturan tersebut, kata dia, membuat pasangan calon akan berusaha keras, bahkan dengan menggunakan segala cara, untuk menang.

“Kami menduga, mereka akan berupaya melanggar larangan untuk tidak menggunakan politik uang, mengingat ini pertarungan sengit,” katanya.

Gereja Katolik sejauh ini juga memberi perhatian pada soal ini.

Mgr Hubertus Leteng, uskup Ruteng – Flores, di mana dua kabupaten di keuksupan itu yaitu Manggarai dan Manggarai Barat menyenggarakan Pilkada, meminta umat untuk tidak menerima uang dari kandidat.

“Saya meminta untuk menolak politik uang, Kalau praktek politik uang masih terjadi, maka rakyat tidak dalam kondisi bebas memilih calon yang terbaik,” katanya.

Hal itu, kata dia, menjauhkan masyarakat dari peluang untuk mendapat pemimpin yang benar-benar berkualitas.

“Saya meminta semua pihak bekerja sama untuk mencegah berbagai praktek buruk semacam itu, terutama media dan penyelenggara pemilu,” jelasnya. Ryan Dagur, Jakarta. (Sumber: http://indonesia.ucanews.com/2015/11/11/media-mesti-kawal-politik-uang)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin