Jumat, 17 Februari 2017

Gus Dur Manusia Biasa

Bondan Gunawan/ [HIDUP/Stefanus P. Elu]
“Di Indonesia tidak ada mayoritas dan minoritas. Saya adalah mereka, mereka adalah saya,” kata Gus Dur saat berjumpa Paus Yohanes Paulus II.

Abdurrahman Wahid alias Gus Dur adalah sahabat saya. Kami bersahabat jauh sebelum dia menjadi Presiden RI. Ia adalah teman diskusi, salah satunya di Forum Demokrasi, bahkan ketika kami sudah di Istana pun persahabatan kami tidak terganggu oleh kedudukan baru itu.

Dari keakraban itu, saya menilai bahwa Gus Dur tidak punya obsesi kekuasaan. Ia tidak menginginkan pengakuan, kedudukan atau penghormatan. Yang ia inginkan adalah menjadi manusia biasa, tidak lebih dari yang lain. Dalam berbagai kesempatan, kami mencari kalimat atau ungkapan-ungkapan dari para pendahulu yang bisa dijadikan cermin atau arah hidup bagi bangsa ini, misalnya Soekarno pernah mengatakan, “Jangan jadi diriku, jadilah dirimu sendiri.”

Ketika Gus Dur memimpin Nadlatul Ulama (NU) pendekatan yang ia gunakan adalah pendekatan egaliter. Ia ingin membangkitkan kesadaran di kalangan NU bahwa antara yang tua dan yang muda tidak ada gab, yang muda pun bisa bersahabat dengan yang tua.


Humoris
Gus Dur dikenal sebagai salah satu kiai NU yang kerap menyelipkan cerita-cerita humor saat menyampaikan ajaran. Salah satu yang dikenal luas oleh masyarakat adalah ungkapan, “Gitu aja kok repot”. Menurut saya, lewat ungkapan itu Gus Dur tidak bermaksud sama sekali untuk menggampangkan segala hal. Ia ingin mengatakan bahwa apapun yang terjadi atau berkembang di bangsa ini, sedapat mungkin diberi tempat untuk bertumbuh dan berkembang.

Ketika ia menyetujui Irian Barat berganti nama menjadi Papua, banyak orang protes. Gus Dur menjawab, itu keinginan masyarakat di sana. Kan masyarakat menginginkan nama itu dan memang mereka punya nama itu. Kenapa dilarang? Ketika orang-orang Papua mengibarkan bendera Bintang Kejora dan orang-orang protes, Gus Dur malah membolehkan. Karena menurut dia, bendera itu adalah simbol kedaerahan mereka. Setiap daerah, termasuk Jakarta punya bendera. Apa salahnya bendera dikibarkan? Meskipun Gus Dur tetap memberi catatan, bendera Merah Putih tetap lebih tinggi. Sikap Gus Dur ini mencerminkan keterbukaan dan kemauan untuk mengakomodasi segala yang tumbuh dan dikehendaki rakyat.

Humor yang dilontarkan Gus Dur di berbagai kesempatan juga merupakan metode atau cara dia mengajarkan keislaman yang ia hidupi. Ketika menyampaikan pidato resmi, Gus Dur hampir tak pernah mengutip ayat-ayat Al-Quran. Ia memakai kutipan Al-Quran hanya ketika ia menyampaikan ajaran di hadapan kalangan NU. Bukan karena ia tidak paham Al-Quran. Gus Dur ingin menyampaikan ajaran lewat bahasa sederhana dan universal yang bisa dimengerti semua kalangan. Maka jangan dilihat bahwa humor yang ia lontarkan hanya humor. Di baliknya ada nilai dan penghayatan keagamaan sangat dalam.

Mengayomi Semua
Gaya hidup dan tindakan Gus Dur ingin menunjukkan bahwa kalau Anda mau tahu Islam yang benar ya lihat Gus Dur. Islamnya Gus Dur adalah Islam yang mengayomi dan memberi tempat bagi semua agama, suku, dan ras. Saya ingat, suatu ketika Gus Dur datang berjumpa dengan Bapa Suci Yohanes Paulus II. Pada akhir pertemuan, Paus mengatakan kepada Gus Dur, “Saya menitipkan umat Nasrani yang minoritas di Indonesia.” Gus Dur menjawab, “Di Indonesia tidak ada mayoritas dan minoritas. Saya adalah mereka, mereka adalah saya.”

Bagi Gus Dur, bangsa kita tidak berdiri di atas paham siapa yang lebih banyak atau siapa yang lebih tinggi, yang ada adalah rasa kebanggaan akan perbedaan yang ada. Bagi Gus Dur, heterogenitas Indonesia adalah given dari Allah. Dari yang heterogen itulah, kita belajar menerima dan hidup bersama sebagai sebuah bangsa. Jika Gus Dur masih hidup hari ini dan melihat situasi Indonesia sekarang, dia akan mengatakan, Indonesia sedang krisis. Tenang saja, krisis ini akan berakhir. Setelah periode sulit ini akan muncul masyarakat yang sungguh bhinneka dan bersatu.

Disarikan dari refleksi bersama Bondan Gunawan, Menteri Sekretariat Negara era Presiden K.H. Abdurrahman Wahid. (Sumber Tulisan: Majalah HIDUP Edisi 3 Tanggal 15 Januari 2017)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin